BAB I
PENDAHULUAN
Kata Pengantar
Tuhan menciptakan setiap makhluk hidup dengan
kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar dirinya. Salah
satu ancaman terhadap manusia adalah penyakit, terutama penyakit infeksi yang
dibawa oleh berbagai macam mikroba seperti virus, bakteri, parasit, jamur.
Tubuh mempunyai cara dan alat untuk mengatasi penyakit sampai batas tertentu.
Beberapa jenis penyakit seperti pilek, batuk, dan cacar air dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pertahanan tubuh
(sistem imun) orang tersebut cukup baik untuk mengatasi dan mengalahkan
kuman-kuman penyakit itu. Tetapi bila kuman penyakit itu ganas, sistem
pertahanan tubuh (terutama pada anak-anak atau pada orang dewasa dengan daya
tahan tubuh yang lemah) tidak mampu mencegah kuman itu berkembang biak,
sehingga dapat mengakibatkan penyakit berat yang membawa kepada cacat atau
kematian.
Apakah yang dimaksudkan dengan sistem imun?
Kata imun berasal dari bahasa Latin ‘immunitas’ yang berarti pembebasan
(kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan
mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam
sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi
perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit
menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel
serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan
terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau
racunnya, yang masuk ke dalam tubuh.
Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali
antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat
anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk
membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai
"pengalaman." Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan seterusnya,
tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga
pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang
lebih banyak. Itulah sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap
berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan
sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau
seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal.
Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi
aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang
sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh
memproduksi antibodi sendiri. Contohnya adalah imunisasi polio atau campak.
Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar
antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus
Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang
terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis
antibodi dari ibunya melalui darah placenta selama masa kandungan, misalnya
antibodi terhadap campak.
PEMBAHASAN
MASALAH :
- Pengertian Imunisasi
- Penyakit – Penyakit Yang Ditimbulkan Pada Anak Yang Tidak Di Imunisasi
- Imuniasi Mmr
- Penyakit – Penyakit Yang Kemungkinan Akan Di Alami Bila Tidak Mendapat Imunisasi Mmr.
- Jadwal Pemberian Imunisasi
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh
tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi
terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada
penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan
imunisasi lainnya.
Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan
kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang
dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak
cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan
lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup
anak.
Tujuan
Pemberian Imunisasi
Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari
imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya.
Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis
B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, tbc, dan
lain sebagainya.
Jenis
– Jenis Imunisasi
- BCG
- Hepatitis B
- Polio
- DTP
- Campak
- Imunisasi BCG
Kepanjangan BCG ? Mungkin karena susah
mengucapkannya makanya jarang yang hafal kepanjangannya. Bacillus
Calmette-Guerin. BCG adalah vaksin untuk mencegah penyakit TBC, orang bilang
flek paru. Meskipun BCG merupakan vaksin yang paling banyak di gunakan di dunia
(85% bayi menerima 1 dosis BCG pada tahun 1993), tetapi perkiraan derajat
proteksinya sangat bervariasi dan belum ada penanda imunologis terhadap
tuberculosis yang dapat dipercaya.
Royan said : maksudnya, kekebalan yang dihasilkan
dari imunisasi BCG ini bervariasi. Dan tidak ada pemerikasaan laboratorium yang
bisa menilai kekebalan seseorang pada penyakit TBC setelah diimunisasi. Berbeda
dengan imunisasi hepatitis B, kita bisa memeriksa titer anti-HBsAg pada
laboratotrium, bila hasilnya > 10 μg
dianggap memiliki kekebalan yang cukup terhadap hepatitis B.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan proteksi BCG berkurang jika telah ada sensitisasi dengan mikobakteria
lingkungan sebelumnya, tetapi data ini tidak konsisten.
Royan said : maksudnya, kalau sih anak sudah
kemasukkan kuman TBC sebelum diimunisasi, proses pembentukan antibbodi setelah
diimunisasi kurang memuaskan.
Karena itu, BCG dianjurkan diberikan umur 2-3
bulan) atau dilakukan uji tuberkulin dulu (bila usia anak lebih dari 3
bulan.IDAI) untuk mengetahui apakah anak telah terinfeksi TBC atau belum (lihat
jadwal imunisasi) Dan lagi, kekebalan untuk penyakit TBC tidak diturunkan dari
ibu ke anak (imunitas seluler), karena itu anak baru lahir tidak punya kekebalan
terhadap TBC. Makanya ibu-ibu harus segera memberikan imunisasi BCG buat
anaknya.
Perlu diketahui juga, derajat proteksi
imunisasi BCG tidak ada hubungannya dengan hasil tes tuberkulin sesudah
imunisasi dan ukuran parut (bekas luka suntikan) dilengan. Jadi tidak benar
kalau parutnya kecil atau tidak tampak maka imunisasinya dianggap gagal.
Imunsasi BCG diberikan dengan dosis 0,05 ml
pada bayi kurang dari 1 tahun, dan 0,1 ml pada anak. Disuntikkan secara
intrakutan.
Royan said : maksudnya disuntikkan ke dalam
lapisan kulit (bukan di otot). Bila penyuntikan benar, akan ditandai kulit yang
menggelembung.
BCG ulang tidak dianjurkan karena manfaatnya
diragukan. BCG tidak dapat diberikan pada penderita dengan gangguan kekebalan
seperti pada penderita lekemia (kanker darah), anak dengan pengobatan obat
steroid jangka panjang dan penderita infeksi HIV.
(Sumber : system imun,imunisasi,dan penyakit
imun. Prof.Dr.dr. A. Samik Wahab, Spa(K). Widya Medika)
- Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B ini juga merupakan imunisasi
yang diwajibkan, lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program
nasionalnya. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit
disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virud hepatitis B (VHB) dapat
menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat
mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati.
Banyak jalan masuk virus hepatitis B ke tubuh
si kecil. Yang potemsial melalui jalan lahir. Cara lain melalui kontak dengan
darah penderita, semisal transfusi darah. Bisa juga melali alat-alat medis yang
sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum
suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga
bisa lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antar anggota keluarga.
Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak
secara kasat mata. Bahkan oleh dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak
terganggu meski sudah mengalami sirosis. Anak juga terlihat sehat, nafsu makan
baik, berat badan juga normal. Penyakit baru diketahui setelah dilakukan
pemeriksaan darah.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga
dicurigai kena Virus Hepatitis B, biasanya dilakukan screening terhadap
anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Selain itu,
imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya virus hepatitis B.
Jumlah Pemberian: Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara
suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
Usia Pemberian Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat,
kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan
pada usia 1 bulan, dan usia 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap
VHB, selain imunisasi tsb dilakukan tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis
B dalam waktu sebelum usia 24 jam.
Lokasi Penyuntikan: Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler.
Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero= otot-otot bagian
depan, lateral= otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan
karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
Tanda Keberhasilan: Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan.
Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan
mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di
atas 1000, berarti daya tahanya 8 tahun; diatas 500, tahan 5 tahun; diatas 200
tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang.
Sementara bila angkanya 0 berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
Tingkat Kekebalan: Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya setelah 3 kali
suntikan, lbih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
Indikator Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang sakit berat
- Polio
Imunisasi polio ada 2 macam, yang pertama
oral polio vaccine atau yang sering dilihat dimana mana yaitu vaksin tetes
mulut. Sedangkan yang kedua inactivated polio vaccine, ini yang disuntikkan.
Kalo yang tetes mudah diberikan, murah dan mendekati rute penyakit aslinya,
sehingga banyak digunakan. Kalo yang injeksi efek proteksi lebih baik tapi
mahal dan tidak punya efek epidemiologis. Selain itu saat ini MUI telah
mengeluarkan fatwa agar pemakaian vaksin polio injeksi hanya ditujukan pada
penderita yang tidak boleh mendapat vaksin polio tetes karena daya tahan
tubuhnya lemah
Polio atau lengkapnya poliomelitis adalah
suatu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat menyebabkan lumpuh pada
kedua kaki. Walaupun dapat sembuh, penderita akan pincang seumur hidup karena virus
ini membuat otot-otot lumpuh dan tetap kecil.
Di wikipedia dijelaskan bahwa Polio sudah
dikenal sejak zaman pra-sejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno
menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu yang berjalan dengan tongkat.
Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi
pincang seumur hidupnya.
Virus polio menyerang tanpa peringatan,
merusak sistem saraf menimbulkan kelumpuhan permanen, biasanya pada kaki.
Sejumlah besar penderita meninggal karena tidak dapat menggerakkan otot
pernapasan. Ketika polio menyerang Amerika selama dasawarsa seusai Perang Dunia
II, penyakit itu disebut ‘momok semua orang tua’, karena menjangkiti anak-anak
terutama yang berumur di bawah lima tahun. Di sana para orang tua tidak membiarkan
anak mereka keluar rumah, gedung-gedung bioskop dikunci, kolam renang, sekolah
dan bahkan gereja tutup.
Virus polio menular secara langsung melalui
percikan ludah penderita atau makanan dan minuan yang dicemari.
Pencegahannya dengan dilakukan menelan vaksin
polio 2 (dua) tetes setiap kali sesuai dengan jadwal imunisasi.
- DTP
Deskripsi Vaksin Jerap DTP adalah vaksin yang
terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri
pertusis yang telah diinaktivasi yang teradsorbsi ke dalam 3 mg / ml Aluminium
fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per
dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.
Indikasi Untuk Imunisasi secara simultan
terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.
Komposisi Tiap ml mengandung : Toksoid
difteri yang dimurnikan 40 Lf Toksoid tetanus yang dimurnikan 15 Lf B,
pertussis yang diinaktivasi 24 OU Aluminium fosfat 3 mg Thimerosal 0,1 mg
Dosis dan Cara Pemberian Vaksin harus dikocok
dulu untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara
intramuskuler atau secara subkutan yang dalam. Bagian anterolateral paha atas
merupakan bagian yang direkomendasikan untuk tempat penyuntikkan. (Penyuntikan
di bagian pantat pada anak-anak tidak direkomendasikan karena dapat mencederai
syaraf pinggul). Tidak boleh disuntikkan pada kulit karena dapat menimbulkan
reaksi lokal. Satu dosis adalah 0,5 ml. Pada setiap penyuntikan harus digunakan
jarum suntik dan syringe yang steril.
Di negara-negara dimana pertussis merupakan
ancaman bagi bayi muda, imunisasi DTP harus dimulai sesegera mungkin dengan
dosis pertama diberikan pada usia 6 minggu dan 2 dosis berikutnya diberikan
dengan interval masing-masing 4 minggu. Vaksin DTP dapat diberikan secara aman
dan efektif pada waktu yang bersamaan dengan vaksinasi BCG, Campak, Polio (OPV
dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan vaksin Yellow Fever.
Kontraindikasi Terdapat beberapa
kontraindikasi yang berkaitan dengan suntikan pertama DTP. Gejala-gejala
keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala-gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi dari komponen pertussis.
Imunisasi DTP kedua tidak boleh diberikan kepada anak yang mengalami
gejala-gejala parah pada dosis pertama DTP. Komponen pertussis harus dihindarkan,
dan hanya dengan diberi DT untuk meneruskan imunisasi ini. Untuk individu
penderita virus human immunodefficiency (HIV) baik dengan gejala maupun tanpa
gejala harus diberi imunisasi DTP sesuai dengan standar jadual tertentu.
- Campak
Imunisasi campak, sebenarnya bayi sudah
mendapatkan kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia,
antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat
pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang
daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan
virus Morbili ini. Untungnya campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi,
sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau
butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau
mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit
dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata
kemerahabn dan berair, si kecilpun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian,
disebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari.
Beberapa anak juga mengalami diare. satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi
yang turun naik, berkisar 38-40,5 derajat celcius.
Seiring dengan itu barulah muncul
bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak
terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Awalnya haya muncul di beberapa
bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam
waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tibih saja dan
tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam
akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah menjadi kehitaman
dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas
atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya dibutuhkan waktu hingga 2
minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini
tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi
makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati
berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang
efektif mengatasi virus campak.
Jika tak ditangani dengan baik campak bisa
sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat.
Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak
membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa
radang paru-paru dan radang otak. Komplikasi ini yang umumnya paing sering
menimbulkan kematian pada anak.
Usia dan Jumlah Pemberian Sebanyak 2 kali; 1
kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1
sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan,
penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum
mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR
(Measles Mump Rubella).
Efek
Imunisasi
- Efek Imunisasi
Imunisasi memang penting untuk membangun
pertahanan tubuh bayi. Tetapi, orangtua masa kini seharusnya lebih kritis
terhadap efek samping imunisasi yang mungkin menimpa Si Kecil.
Pertahanan tubuh bayi dan balita belum
sempurna. Itulah sebabnya pemberian imunisasi, baik wajib maupun lanjutan,
dianggap penting bagi mereka untuk membangun pertahanan tubuh. Dengan
imunisasi, diharapkan anak terhindar dari berbagai penyakit yang membahayakan
jiwanya.
Di lain pihak, pemberian imunisasi kadang
menimbukan efek samping. Demam tinggi pasca-imunisasi DPT, misalnya, kerap
membuat orangtua was-was. Padahal, efek samping ini sebenarnya pertanda baik,
karena membuktikan vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh tengah bekerja. Namun,
kita pun tidak boleh menutup mata terhadap fakta adakalanya efek imunisasi ini
bisa sangat berat, bahkan berujung kematian. Realita ini, menurut Departemen
Kesehatan RI disebut "Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi"(KIPI). Menurut
Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan (KN PP) KIPI, KIPI adalah semua
kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah
imunisasi.
-
Tidak Ada yang Bebas Efek Samping
Menurut Komite KIPI, sebenarnya tidak ada
satu pun jenis vaksin imunisasi yang aman tanpa efek samping. Oleh karena itu,
setelah seorang bayi diimunisasi, ia harus diobservasi terlebih dahulu
setidaknya 15 menit, sampai dipastikan tidak terjadi adanya KIPI (reaksi
cepat).
Selain itu, menurut Prof. DR. Dr. Sri Rejeki
Hadinegoro SpA.(K), untuk menghindari adanya kerancuan antara penyakit akibat
imunisasi dengan yang bukan, maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI
dibatasi dalam jangka waktu tertentu. "Gejala klinis KIPI dapat timbul
secara cepat maupun lambat. Dilihat dari gejalanya pun, dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya,"
terang Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.
Pada umumnya, semakin cepat KIPI terjadi,
semakin cepat gejalanya. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapai masa 42 hari (pasca-vaksinasi rubella), bahkan 42 hari
(pasca-vaksinasi campak dan polio). Reaksi juga bisa diakibatkan reaksi simpang
(adverse events) terhadap obat atau vaksin, atau kejadian lain yang bukan
akibat efek langsung vaksin, misalnya alergi. "Pengamatan juga ditujukan
untuk efek samping yang timbul akibat kesalahan teknik pembuatan, pengadaan,
distribusi serta penyimpanan vaksin. Kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul kebetulan," demikian Sri.
Penelitian Vaccine Safety Committee,
Institute of Medicine (IOM), AS, melaporkan, sebagian besar KIPI terjadi karena
faktor kebetulan. "Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah
akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan atau pragmatic errors),"
tukas dokter yang berpraktek di RSUPN Cipto Mangunkusumo ini.
Stephanie Cave MD, ahli medis yang menulis
"Yang Orangtua Harus Tahu tentang Vaksinasi Pada Anak" menyebutkan,
peluang terjadinya efek samping vaksin pada bayi dan anak-anak adalah karena
mereka dijadikan target imunisasi massal oleh pemerintah, pabrik vaksin, maupun
dokter. Padahal, imunisasi massal yang memiliki sikap "satu ukuran untuk
semua orang" ini sangat berbahaya. Karena, "Setiap anak adalah
pribadi tersendiri, dengan bangun genetika, lingkungan sosial, riwayat kesehatan,
keluarga dan pribadi yang unik, yang bisa berefek terhadap cara mereka bereaksi
terhadap suatu vaksin," demikian Cave.
-
Beberapa Kejadian Pasca-Imunisasi
Secara garis besar, tidak semua KIPI
disebabkan oleh imunisasi. Sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan
imunisasi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini beberapa faktor KIPI yang bisa
terjadi pasca-imunisasi:
- Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat
trauma tusukan jarum suntik, baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat
sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan
kemerahan pada tempat suntikan. Sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope atau pingsan.
- Reaksi vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan masuknya vaksin
ke dalam tubuh umumnya sudah diprediksi terlebih dahulu karena umumnya
"ringan". Misal, demam pasca-imunisasi DPT yang dapat diantisipasi
dengan obat penurun panas. Meski demikian, bisa juga reaksi induksi vaksin berakibat
parah karena adanya reaksi simpang di dalam tubuh (misal, keracunan), yang
mungkin menyebabkan masalah persarafan, kesulitan memusatkan perhatian, nasalah
perilaku seperti autisme, hingga resiko kematian.
- Faktor kebetulan
Seperti disebut di atas, ada juga kejadian
yang timbul secara kebetulan setelah bayi diimunisasi. Petunjuk "faktor
kebetulan" ditandai dengan ditemukannya kejadian sama di saat bersamaan
pada kelompok populasi setempat, dengan karakterisitik serupa tetapi tidak
mendapatkan imunisasi.
- Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan
belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab, maka untuk sementara
dimasukkan ke kelompok "penyebab tidak diketahui" sambil menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya, dengan kelengkapan informasi akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Imunisasi
itu Aman' Ilmu Pengetahuan atau Fiksi
Keraguan tentang aman-tidaknya imunisasi
bukan sesuatu yang mengada-ada. Saat ini sudah ada puluhan ribu kejadian buruk
akibat imunisasi yang dilaporkan, dan puluhan ribu lainnya yang tidak
dilaporkan. Pada anak-anak, imunisasi (dan antibiotik) bertanggung jawab untuk
sebagian besar reaksi negatif dibanding obat-obat resep lainnya. Jadi
realitanya, tidak ada obat yang aman untuk setiap anak. Dan, beberapa obat
lebih berbahaya daripada beberapa obat lainnya.
Keamanan imunisasi seharusnya berlandaskan
pada ilmu pengetahuan yang baik, bukan hipotesa, pendapat, keyakinan
perorangan, atau pengamatan. Namun faktanya, hingga kini banyak yang tidak
diketahui para ilmuwan tentang cara kerja imunisasi di dalam tubuh pada tingkat
sel dan molekul. Tes yang memadai untuk imunisasi juga tidak ada. Yang juga
kurang, adalah pengertian tentang efek jangka panjang dari imunisasi massal
bagi bayi dan anak-anak. Yang diketahui adalah, sejak akhir tahun 1950-an,
ketika imunisasi massal mulai diwajibkan di Amerika Serikat, telah terjadi
peningkatan kasus kelainan sistem imun dan persarafan, termasuk kesulitan
memusatkan perhatian, asma, autisme, diabetes anak-anak, sindroma keletihan
menahun, kesulitan belajar, rematoid artritis, multipel sklerosis, dan masalah
kesehatan yang menahun lainnya.
Di Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di
dunia, adanya peningkatan besar jumlah masalah medis yang terkait dengan
imunisasi yang dilaporkan orangtua dan profesional kedokteran, telah
mencetuskan suatu gerakan yang menuntut dilakukannya lebih banyak kajian yang
lebih baik tentang potensi efek buruk jangka panjang atau menahun dari
imunisasi.
Imunisasi kadang dapat mengakibatkan efek
samping. Ini adalah tanda baik yang membuktikan bahwa vaksin betuk-betul
bekerja secara tepat.
Efek samping yang biasa terjadi adalah
sebaagai berikut:
- BCG: Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil dan merah ditempat suntikan. Setelah 2–3 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil dan kemudian menjadi luka dengan garis tengah ±10 mm. Luka akan sembuh sendiri dengan meninggalkan luka parut yang kecil.
- DPT: Kebanyakan bayi menderita panas pada waktu sore hari setelah mendapatkan imunisasi DPT, tetapi panas akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari. Sebagian besar merasa nyeri, sakit, kemerahan atau bengkak di tempat suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu mendapatkan pengobatan khusus, akan sembuh sendiri.Bila gejala diatas tidak timbul tidak perlu diragukan bahwa imunisasi tersebut tidak memberikan perlindungan dan Imunisasi tidak perlu diulang.
- POLIO : Jarang timbuk efek samping.
- CAMPAK : Anak mungkin panas, kadang disertai dengan kemerahan 4–10 hari sesudah penyuntikan.
- HEPATITIS : Belum pernah dilaporkan adanya efek samping.
Perlu diingat efek samping imunisasi jauh
lebih ringan daripada efek penyakit bila bayi tidak diimunisasi.
Penyakit
– Penyakit Yang Ditimbulkan Pada Anak Yang Tidak Di Imunisasi
Imunisasi, tak hanya menjaga agar anak tetap
sehat, tapi juga ampuh untuk mencegah dan menangkal timbulnya penyakit serta
kematian pada anak-anak. Lalu mengapa kadangkala orangtua kerap mengabaikan
tindakan penting tersebut? Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?
Sesuai dengan yang diprogramkan oleh
organisasi kesehatan dunia WHO (Badan Kesehatan Dunia), Pemerintah Indonesia
menetapkan ada 12 imunisasi yang harus diberikan kepada anak-anak. 5
Diantaranya merupakan imunisasi yang wajib diberikan sebab fungsinya adalah untuk
mencegah anak dari serangan penyakit – penyakit seperti :
- Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan
masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara
maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju
faktor resiko infeksi dan faktor resiko
progresi infeksi menjadi penyakit ( resiko penyakit ).
Resiko Infeksi TB Faktor resiko terjadinya
infeksi TB antara lain adalah : anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa
dengan TB aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan,
serta lingkungan yang tidak sehat.
- Hepatitis B yang disebabkan virus hepatitis B yang berakibat pada hati
Penyakit hepatitis B pada bayi menjadi kronik
jauh lebih besar (lebih dari 90 persen) dibandingkan kemungkinan pada orang
dewasa. "Oleh karena itu, bagi bayi vaksin hepatitis B mutlak perlu.
Ciri-ciri penderita hepatitis B umumnya tak
diketahui secara jelas karena penderita seperti orang sehat. Akibatnya ia tak
segera menyadari dirinya telah tertular virus hepatitis B, bahkan sudah
menularkannya kepada orang lain. "Sebaiknya, mereka yang memiliki gejala
kuning pada mata, kulit, lesu, tak memiliki nafsu makan serta sakit lambung-seperti
maag yang tak sembuh dalam tempo enam bulan-segera periksa ke dokter.
Virus hepatitis B diketahui sebagai salah
satu virus yang paling mudah menular. Bahkan, penularan virus ini 100 kali
lebih menular daripada HIV (virus penyebab AIDS), dan diperkirakan menginfeksi
10 kali lebih banyak daripada HIV. Virus itu menyerang hati dan merusak organ
tubuh secara tak langsung melalui gangguan sistem kekebalan. Pada serangan
tahap awal masih bisa disembuhkan jika segera diobati. Namun, jika penyakit
berkembang lebih berat maka ia akan mencapai tahap hepatitis akut, sirosis
(pengerasan hati), sampai kemudian mengakibatkan munculnya kanker hati.
- Penyakit polio. Penyakit ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh.
Poliomyelitis atau Polio, adalah penyakit
paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini,
sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut,
mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke
sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Kata
Polio sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu πολιομυελίτις, atau bentuknya
yang lebih mutakhir πολιομυελίτιδα, dari πολιός "abu-abu" dan μυελός
"bercak". Virus Polio termasuk genus enteroviorus, famili
Picornavirus. Bentuknya adalah ikosahedral tanpa sampul dengan genome RNA
single stranded messenger molecule. Single RNA ini membentuk hampir 30 persen
dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein
kecil (Vpg). Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit
peradaban. Polio menular melalui kontak antarmanusia. Virus masuk ke dalam
tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang
terkontaminasi feses.
Poliovirus adalah virus RNA kecil yang
terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem
saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa
mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3
hingga 5 tahun. Penyebab penyakit polio terdiri atas tiga strain yaitu strain 1
(brunhilde) strain 2 (lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 adalah yang paling
paralitogenik atau yang paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian luar
biasa atau wabah. Strain ini sering ditemukan di Sukabumi.
Sedangkan Strain 2 adalah yang paling jinak.
Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu Polio non-paralisis, Polio
paralisis spinal, dan Polio bulbar. -Polio non-paralisis menyebabkan demam,
muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan
punggung, otot terasa lembek jika disentuh. -Polio Paralisis Spinal Jenis
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai.
Meskipun strain ini dapat menyebabkan
kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki.
Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler darah
pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh.
Poliovirus menyerang saraf tulang belakang
dan neuron motor -- yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul
gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau
belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang
saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem
saraf pusat menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya
virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan neuron motor.
Neuron motor tidak memiliki kemampuan regenerasi
dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari
sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas --
kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem
saraf pusat dapat menye-babkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada
toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia. -Polio Bulbar Polio jenis ini disebabkan
oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang
otak mengandung neuron motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang
mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf
trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata,
gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf
glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbgai fungsi di
kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke
jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima
hingga sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal
ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi
setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim ''perintah
bernapas'' ke paru-paru.
Penderita juga dapat meninggal karena
kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot
cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi
juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan ''paru-paru besi''
(iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan
mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah,
paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan
mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang
jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.
Penyakit Polio dapat ditularkan oleh infeksi
droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorokan) atau dari tinja penderita yang
telah terinfeksi selain itu juga dapat menular melalui oro-fecal (makanan dan
minuman) dan melalui percikan ludah yang kemudian virus ini akan berkembangbiak
di tengorokan dan usus lalu kemudian menyebar ke kelenjar getah bening, masuk
ke dalam darah serta menyebar ke seluruh tubuh.
Penularan terutama sering terjadi langsung
dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut) atau yang agak
jarang terjadi melalui oral-oral (mulut ke mulut). Virus Polio dapat bertahan
lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer
dari sumber penularannya.
Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya
lingkungan leh virus polio dari penderita yang telah terinfeksi, namun virus
ini hidup di lingkungan terbatas. Virus Polio sangat tahan terhadap alkohol dan
lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi
dapat cepat mematikan virus tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun masa
hidupnya.
- Penyakit campak (tampek)
Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari,
measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan
demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan
ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan
Paramyxovirus.
Penularan infeksi terjadi karena menghirup
percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu
2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.
Penyebab Campak, rubeola, atau measles Adalah
penyakit infeksi yang sangat mudah menular atau infeksius sejak awal masa
prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak
disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak). Penularan terjadi melalui
percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air
borne disease ). Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah
vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu
yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap
campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1 tahun - bayi yang tidak mendapatkan
imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.
Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari
setelah terinfeksi, yaitu berupa: - Panas badan - nyeri tenggorokan - hidung
meler ( Coryza ) - batuk ( Cough ) - Bercak Koplik - nyeri otot - mata merah (
conjuctivitis ) 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian
dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul
3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam
kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada
awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di
leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh,
lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat
sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari
kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa
segera menghilang.
Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang
radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang
mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.
5.
Difteri, pertusis
dan tetanus. Difteri disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat
menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal.
Difteri merupakan penyakit menular yang
sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah menular dan menyerang
terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi
melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat.
Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi.
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak
dan tidak membentuk spora. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya
bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran
sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama
di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan
pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin
yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf
(www.blogdokter.net).
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia
tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Pada tahun 2000,
di seluruh dunia dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal
karena penyakit ini
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu
tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit
infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus
(lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme
glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan (wikipedia.org).
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri
Clostridium tetani yang terdapat di tanah, kotoran hewan, debu, dan sebagainya.
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka yang tercemar kotoran. Di
dalam luka bakteri ini akan berkembang biak dan membentuk toksin (racun) yang
menyerang saraf.
UNICEF (United Nations Children’s Fund/Dana
PBB untuk Anak-Anak) menyebutkan dalam situsnya bahwa tetanus sangat berisiko
terkena pada bayi-bayi yang dilahirkan dengan bantuan dukun bayi di rumah
dengan peralatan yang tidak steril; mereka juga beresiko ketika alat-alat yang
tidak bersih digunakan untuk memotong tali pusar dan olesan-olesan tradisional atau
abu digunakan untuk menutup luka bekas potongan (www.unicef.org). Angka
kematian yang diakibatkan oleh tetanus berkisar antara 15-25%.
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit
infeksi bakterial yang menyerang sistem pernapasan yang melibatkan pita suara
(larinks), trakea dan bronkial. Infeksi ini menimbulkan iritasi pada saluran
pernapasan sehingga menyebabkan serangan batuk yang parah. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis yang bersarang di saluran
pernapasan dan sangat mudah tertular (www.warmasif.co.id).
Pertusis dapat menyerang segala umur, 60 %
menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun. Penyakit ini akan menjadi
serius jika menyerang bayi berumur kurang dari 1 tahun. Biasanya pada bayi yang
baru lahir dan keadaannya menjadi lebih parah. Pada tahun 2000 diperkirakan 39
juta kasus terjadi dan 297.000 kematian terjadi didunia yang diakibatkan oleh
pertusis.
Imuisasi
MMR
Defenisi
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi
untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian
vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah
gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara
terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin
kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton
atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup
Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur
Jerry Lynn atau Urabe AM-9.
Tujan
Tujuan diberikannya imunisasi MMR ini adalah
untuk mencegah atau mengurangi terjadinya infeksi pada anak yang disebabkan
penyakit-penyakit, gondongan dan rubela.
Efek
Samping
Beberapa ahli memang ada yang mengkhawatirkan
dengan pemberian MMR ini, dapat memberikan autisme yang disebabkan pelarut MMR
mengandung Tiomersal, tetapi dugaan tersebut tidak terbukti. Seperti yang
dikemukakan Andrew Wakefield tahun 1998, MMR tidak terbukti menyebabkan autisme
karena sampel yang diteliti hanya pada 12 pasien. “Itulah sebabnya hingga
sekarang, MMR tetap aman untuk diberikan pada anak mengingat pentingnya
imunisasi ini terhadap perlindungan anak,” ungkapnya.
Pencegahan sindrom rubela congenital
merupakan tujuan pemberian imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang cukup
berbahaya apabila terjadi diawal kehamilan, karena dapat menimbulkan kelainan
jiwa, kelahiran prematur, dan cacat bawaan.
Apabila cacat dari lahir, bayi dapat
mengalami cacat dalam bentuk, tuli, kelainan mata, kalainan jantung, kelainan
saraf, mikrosefali, dan retardasi mental. “Untuk menghindar penyakit ini,
ibu-ibu harus memiliki kekebalan rubela sejak kecil, sehingga diharapkan
penyakit tersebut tidak akan terjadi pada bayi yang akan dilahirkan.
Penyakit
Yang Kemungkinan Akan Ada Bila Tidak Mendapat Imunisasi MMR
Vaksin MMR merupakan vaksin yang diberikan
kepada anak untuk mencegah penyakit campak, gondongan, dan campak Jerman.
Bedanya
campak biasa dan campak jerman itu apa?
Campak biasa, berbeda dari campak Jerman atau
rubela. Campak Jerman umumnya memiliki dampak lebih ringan dan tidak fatal.
Umumnya pun terjadi pada anak usia 5 sampai 14 tahun.
Memang gejalanya hampir sama dengan campak
biasa, seperti flu, batuk, pilek dan demam tinggi. Yang membedakan, bercak
merah pada rubela tidak timbul terlalu banyak dan tidak separah campak biasa,
juga cepat menghilang dalam waktu 3 hari. Gejala lain, umumnya nafsu makan anak
akan menurun karena terjadi pembengkakan pada limpa.
Justru kita harus lebih khawatir bila rubela
menyerang wanita hamil karena virusnya bisa menular pada janin melalui
plasenta. Bila janin tertular maka anak yang dilahirkan akan mengalami sindrom
rubela kongenital dengan kelainan-kelainan, misalnya mata bayi mengalami
katarak, tidak bisa mendengar, terjadi pengapuran di otak, juga banyak terjadi
anak-anak tumbuh dengan keterbelakangan perkembangan.
Setiap anak perempuan harus mendapat
vaksinasi rubela. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya rubela serta
melindungi janin yang dikandungnya kelak. Tak hanya pada perempuan, vaksinasi
rubela pun penting bagi kaum pria. Gunanya mencegah agar tidak terserang rubela
dan menulari sang istri yang mungkin tengah hamil nanti.
Tidak Adanya Hubungan Antara Terjadinya
Autisme Dengan Imunisasi Mmr
- Akhir-akhir ini pada sebagian masyarakat tersebar informasi tentang dugaan adanya hubungan antara autisme dengan imunisasiMMR (Measles, Mumps, Rubella).
- Imunisasi adalah pemberian vaksin pada tubuh seseorang dengan tujuan untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Pemerintah telah melaksanakan Program Imunisasi sejak lebih dari 30 tahun yang lalu dan telah berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dari berbagai penyakit menular. Program Imunisasi di Indonesia mencakup antara lain pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan bayi terhadap penyakit tuberkolosa (vaksin BCG), difteria , batuk rejan, dan tetanus (vaksin DPT), poliomyelitis (vaksin Polio), campak (vaksin Campak), dan hepatitis B (vaksin Hepatitis B). Program Imunisasi juga mencakup pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan ibu dan bayi terhadap penyakit tetanus (vaksin TT) dan peningkatan kekebalan anak sekolah dasar terhadap penyakit difteri dan tetanus (vaksin DT).
- Autisme adalah gangguan petumbuhan anak yang kronik dengan gejala utama gangguan interaksi sosial, komunikasi, serta keterbatasan perhatian dan aktifitas, biasanya terjadi pada usia di bawah 3 tahun.
- Vaksin MMR merupakan vaksin yang diberikan kepada anak dengan maksud untuk mencegah penyakit campak, gondongan dan campak Jerman (German measles). Di Indonesia, vaksin MMR telah digunakan untuk imunisasi anak di berbagai rumah sakit dan klinik, walaupun belum termasuk dalam jenis vaksin yang digunakan dalam Program Imunisasi Nasional. Vaksin MMR yang dipasarkan di Indonesia telah mendapat izin edar setelah dilakukan evaluasi terhadap efektifitas, keamanan, dan mutu vaksin oleh Komite Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ). Di negara-negara maju, vaksin MMR digunakan secara luas untuk imunisasi anak.
- Keamanan vaksin MMR telah dibuktikan dengan berbagai penelitian di luar negeri. Penelitian yang dilakukan mencakup pengamatan pasca pemasaran (post marketing surveillance) selama 30 tahun terhadap 250 juta dosis vaksin MMR di lebih dari 40 negara di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Asia. Laporan terakhir mengenai keamanan vaksin telah pula dilakukan di Finlandia sejak tahun 1982 selama 14 tahun. Studi tersebut dilakukan pada 1,8 juta anak yang menggunakan 3 juta dosis vaksin MMR. Pemantauan dilakukan terhadap semua kejadian serius setelah imunisasi dan hasilnya menunjukkan tidak ada laporan kasus autisme yang berhubungan dengan penggunaan vaksin MMR. Hasil tersebut sesuai dengan Specific hypothesis driven studies yang pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan kajian tersebut diatas, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kaitan antara kejadian autisme pada anak dengan imunisasi MMR. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Badan Pengawas Obat Dan Makanan, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia akan terus memantau dan mengkaji efektifitas serta keamanan semua vaksin yang digunakan di Indonesia, termasuk vaksin MMR. Masyarakat dan segenap tenaga kesehatan di Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir mengenai keamanan vaksin MMR.
Imunisasi Penyebab Autis ? Kekawatiran Terhadap
Thimerosal Dan Autis
“Dr Widodo
Judarwanto SpA”
Dari waktu ke waktu jumlah penyandang
spektrum Autis tampaknya semakin meningkat pesat. Autis seolah-olah mewabah ke
berbagai belahan dunia. Di beberapa negara terdapat kenaikan angka kejadian
penderita Autisme yang cukup tajam. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif
pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Di Amerika Serikat
disebutkan Autis terjadi pada 60.000 – 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan
lain menyebutkan angka kejadian autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang.
Kontroversi yang terjadi akhir-akhir ini
berkisar pada kemungkinan hubungan Autis dengan imunisasi anak. Banyak orang
tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa beberapa jenis
imunisasi khususnya kandungan Thimerosal dapat mengakibatkan Autis. Akibatnya,
anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari
penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya. Penyakit tersebut adalah
hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya. Banyak penelitian
yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa Autis tidak berkaitan
dengan thimerosal. Memang terdapat teori atau kesaksian yang menunjukkan bahwa
Autis dan berhubungan dengan thimerosal.
Thimerosal atau Thiomersal adalah senyawa
merkuri organik atau dikenal sebagai sodium etilmerkuri thiosalisilat, yang
mengandung 49,6% merkuri. Bahan ini digunakan sejak tahun 1930, sebagai bahan
pengawet dan stabilizer dalam vaksin, produk biologis atau produk farmasi lainnya.
Thimerosal yang merupakan derivat dari etilmerkuri, sangat efektif dalam
membunuh bakteri dan jamur dan mencegah kontaminasi bakteri terutama pada
kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka. Selain sebagai bahan pengawet,
thimerosal juga digunakan sebagai agen inaktivasi pada pembuatan beberapa
vaksin, seperti pertusis aseluler atau pertusis ”whole-cell”. Food and Drug
Administration (FDA) menetapkan peraturan penggunaan thimerosal sebagai bahan
pengawet vaksin yang multidosis untuk mencegah bakteri dan jamur. Vaksin
tunggal tidak memerlukan bahan pengawet. Pada dosis tinggi, merkuri dan
metabolitnya seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis dan
neurutoksis. Senyawa merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak, dan
dapat merusak otak.
WHO (Worls Health Organization), FDA (Food
and Drug Administration), EPA (US Enviromental Protection Agency), dan ATSDR
Amerika Serikat (Agency for Toxis Substances and Disease Registry) mengeluarkan
rekomendasi tentang batasan paparan etilmerkuri yang masih bisa ditoleransi
antara 0,1 – 0,47 ug/kg berat badan/hari. Kandungan yang ada di dalam vaksin
adalah etilmerkuri bukan metilmerkuri. Etilmerkuri hanya mempunyai paruh waktu
singkat di dalam tubuh, sekitar 1,5 jam, selanjutnya akan dibuang melalui saluran
cerna. Sedangkan metilmerkuri lebih lama berada di dalam tubuh.
Pendapat yang mendukung Autis berkaitan
dengan Thimerosal : Terdapat beberapa teori, penelitian dan kesaksian yang
mengungkapkan Autisme mungkin berhubungan dengan imunisasi yang mengandung
Thimerosal. Toksisitas merkuri pertama kali dilaporkan tahun 1960 di Minamata
Jepang. Konsumsi ikan laut yang tercemari limbah industri, sehingga kadar
merkuri yang dikandung ikan laut tersebut mencapai 11 mcg/kg dan kerang 36
mcg/kg (batas toleransi kontaminasi sekitar 1 mcg/kg). Penelitian pada binatang
ditemukan efek neurotoksik etilmerkuri dan metil merkuri. Ditemukan kadarnya di
dalam otak cukup tinggi pada metil merkuri. Hal ini menunjukkan bahwa merkuri
dapat menembus sawar darah otak.
Saline Bernard adalah perawat dan juga orang
tua dari seorang penderita Autisme bersama beberapa orang tua penderita Autis
lainnya melakukan pengamatan terhadap imunisasi merkuri. Mereka bersaksi di
depan US House of Representatif (MPR Amerika) bahwa gejala yang diperlihatkan
anak Autis hampir sama dengan gejala keracunan merkuri. Beberapa orang tua
penderita Autis di Indonesiapun, berkesaksian bahwa anaknya terkena autis
setelah diberi imunisasi
Penelitian dan rekomendasi yang menentang
Thimerosal menyebabkan Autis Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa
Thimerosal tidak mengakibatkan Autis juga lebih banyak lagi. Kreesten M. Madsen
dkk dari berbagai intitusi di denmark seperti Danish Epidemiology Science
Centre, Department of Epidemiology and Social Medicine, University of Aarhus,
Denmark Institute for Basic Psychiatric Research, Department of Psychiatric
Demography, Psychiatric Hospital in Aarhus, Risskov, National Centre for
Register-Based Research, University of Aarhus, Aarhus,Denmark, State Serum
Institute, Department of Medicine, Copenhagen, Denmark mengadakan penelitian
bersama terhadap anak usia 2 hingga 10 tahun sejak tahun 1970 hingga tahun
2000.
Mengamati 956 anak sejak tahun 1971 hingga
2000 anak dengan autis. Sejak thimerosal digunakan hingga tahun 1990 tidak
didapatkan kenaikkan penderita auitis secara bermakna. Kemudian sejak tahun
1991 hingga tahun 2000 bersamaan dengan tidak digunakannya thimerosal pada
vaksin ternyata jumlah penderita Autis malah meningkat drastis. Kesimpulan
penelitian tersebut adalah tidak ada hubungan antara pemberian Thimerazol
dengan Autis.
Stehr-Green P dkk, Department of
Epidemiology, School of Public Health and Community Medicine, University of
Washington, Seattle, WA, bulan Agustus 2003 melaporkan antara tahun 1980 hingga
1990 membandingkan prevalensi dan insiden penderita autisme di California,
Swedia, dan Denmark yang mendapatkan ekposur dengan imunisasi Thimerosal.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa insiden pemberian Thimerosal pada
Autisme tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Geier DA dalam Jurnal
Americans Physicians Surgery tahun 2003, menungkapkan bahwa Thimerosal tidak
terbukti mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan karena
persarafan) dan penyakit jantung. Melalui forum National Academic Press tahun
2001, Stratton K dkk melaporkan tentang keamanan thimerosal pada vaksin dan
tidak berpengaruh terhadap gangguan gangguan neurodevelopment (gangguan
perkembangan karena persarafan).
Hviid A dkk dalam laporan di majalah JAMA
2004 mengungkapkan penelitian terhadap 2 986 654 anak pertahun didapatkan 440
kasus autis. Dilakukan pengamatan pada kelompok anak yang menerima thimerosal
dan tidak menerima thimerosal. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Disimpulkan bahwa pemberian thimerosal tidak berhubungan dengan terjadinya
autis.
Menurut penelitian Eto, menunjukkan
manifestasi klinis autis sangat berbeda dengan keracunan merkuri. Sedangkan
Aschner, dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat peningkatan kadar
merkuri dalam rambut, urin dan darah anak Autis. Pichichero melakukan
penelitian terhadap 40 bayi usia 2-6 bulan yang diberi vaksin yang mengandung
thimerosal dan dibandingkan pada kelompok kontrol tanpa diberi thimerosal.
Setelah itu dilakukan evaluasi kadar thimerosal dalam tinja dan darah bayi
tersebut. Ternyata thimerosal tidak meningkatkan kadar merkuri dalam darah,
karena etilmerkuri akan cepat dieliminasi dari darah melalui tinja. Selain itu
masih banyak lagi peneliti melaporkan hasil yang sama, yaitu thimerosal tidak
mengakibatkan Autis.
Bagaimana sikap kita sebaiknya ? Bila
menyimak dan mengetahu kontroversi tersebut tanpa memahami dengan jelas, maka
masyarakat awam bahkan beberapa klinisipun jadi bingung. Bila terpengaruh oleh
pendapat yang mendukung keterkaitan Autis dan imunisasi tanpa melihat fakta
penelitian lainnya yang lebih jelas. Maka, akan mengabaikan imunisasi dengan
segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak. Penelitian dalam jumlah
besar dan luas tentang Thimerosal tidak mengakibatkan Autis secara epidemiologis
lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat. Laporan beberapa
penelitian dan kasus jumlahnya relatif tidak bermakna dan dalam populasi yang
kecil. Hanya menunjukan kemungkinan hubungan tidak menunjukkan sebab akibat.
Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah
mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal
ini juga menambah keyakinan bahwa memang Thimerosal dalam vaksin memang benar
aman.
Walaupun paparan merkuri terjadi pada setiap
anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala Autis. Peristiwa
tersebut mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan
teori Metalotionin. Metalothionein merupakan suatu rantai polipeptida liner
tediri dari 61-68 asam amino, kaya sistein dan memiliki kemampuan untuk
mengikat logam. Pada penderita Autis tampaknya didapatkan adanya gangguan
metabolisme metalotionin. Gangguan metabolisme tersebut dapat mengakibatkan
gangguan ekskresi (pengeluaran) logam berat (merkuri dll) dari tubuh anak
autis. Gangguan itu mengakibatkan peningkatan logam berat dalam tubuh yang
dapat mengganggu otak, meskipun anak tersebut menerima merkuri dalam batas yang
masih ditoleransi.
Pada anak sehat bila menerima merkuri dalam
batas toleransi, tidak mengakibatkan gangguan. Melalui metabolisme metalotionin
pada tubuh anak, logam berat tersebut dapat dikeluarkan oleh tubuh. Tetapi pada
anak Autis terjadi gangguan metabolisme metalotionin.Kejadian itulah yang
menunjukkan bahwa imunisasi yang mengandung thimerosal harus diwaspadai pada
anak yang beresiko Autis, tetapi tidak perlu dikawatirkan pada anak normal
lainnya.
Penelitian atau pendapat beberapa kasus yang
mendukung keterkaitan Autisme dengan imunisasi, tidak boleh diabaikan bergitu
saja. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada, bila anak sudah mulai tampak
ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak dini. Dalam kasus
tersebut untuk mendapatkan imunisasi yang mengandung Thimerosal harus
berkonsutlasi dahulu dengan dokter anak. Mungkin harus menunda dahulu imunisasi
yang mengandung thimerosal sebelum dipastikan diagnosis Autis dapat
disingkirkan. Dalam hal seperti ini, harus dipahami dengan baik resiko, tanda
dan gejala autis sejak dini.
Bila anak tidak beresiko atau tidak
menunjukkan tanda tanda dini terjadinya Autis maka tidak perlu kawatir untuk
mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari
pemahaman yang baik, akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru pada
anak kita. Dengan menghindari imunisasi, beresiko terjadi akibat berbahaya dan
dapat mengancam jiwa. Bila anak terkena infeksi yang seharusnya dapat dicegah
dengan imunisasi.
Jadwal
Pemberian Imunisasi
- Jadwal pemberian Vaksin Hepatitis B diberikan dalam satu seri yang terdiri dari 3 kali suntik.
- Pertama : Bila ibu adalah pembawa virus dalam darahnya, maka vaksin harus diberikan paling lama 12 jam setelah lahir. Tetapi bila ibu bukan pembawa virus, bisa diberikan pada kontrol di bulan pertama atau kedua.
- Kedua : Kalau yang pertama diberikan segera setelah lahir, yang kedua diberikan antara bulan pertama dan kedua. Bila yang pertama diberikan setelah sebulan, maka yang kedua diberikan antara bulan ketiga dan keempat.
- Ketiga : Diberikan pada usia 6 bulan untuk yang mendapatkan vaksin pertama sebelum usia 1 bulan. Untuk yang mendapatkan vaksin pertama setelah usia 1 bulan, diberikan pada usia antara 6 s/d 18 bulan.
- Resiko yang mungkin timbul Resiko serius yang berkaitan dengan pemberian vaksin HBV sangat jarang terjadi. Biasanya efek samping hanya bagian bekas suntik menjadi kemerah-merahan.
- Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan. Bila ada reaksi alergi serius terhadap suntikan vaksin.
- Setelah pemberian Setelah vaksinasi panas badan anak mungkin naik, dan juga daerah sekitar bekas suntikan menjadi merah. Untuk itu anda bisa memakai obat penurun panas (Tempra, Sanmol, dll), dan kompres dengan air hangat bagian bekas suntikan.
- Jadwal pemberian Diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari 5 kali suntik. Yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 s/d 18 bulan dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Dianjurkan untuk mendapatkan vaksin Td (penguat terhadap difteri dan tetanus) pada usia 11 s/d 12 tahun atau paling lambat 5 tahun setelah imunisasi DTP terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk mendapatkan Td setiap 10 tahun.
- Resiko yang mungkin timbul Seringkali pemberian vaksin ini menimbulkan panas badan ringan atau panas di sekitar bekas suntikan yang diakibatkan oleh komponen pertussis dalam vaksin.
- Menunda pemberian : Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan. Bila anak memiliki kelainan syaraf atau tidak tidak tumbuh secara normal, komponen pertussis dari vaksin dianjurkan untuk tidak diberikan danhanya DT (difteri & tetanus) saja. Bila setelah mendapatkan vaksin DTP (DTaP) timbul gejala seperti dibawah konsultasikan dengan dokter anak sebelum mendapatkan vaksin lainnya : kejang-kejang dalam 3 s/d 7 hari setelah imunisasi kejang-kejang yang makin memburuk dibanding sebelumnya apabila pernah mengalaminya reaksi alergi kesulitan makan atau gangguan pada mulut, tenggorokan atau muka panas badan lebih dari 40 derajat Celcius (105 derajat Fahrenheit) pingsan dalam 2 hari pertama setelah imunisasi terus menangis lebih dari 3 jam di 2 hari pertama setelah imunisasi
- Setelah pemberian : Anak mungkin mengalami panas badan ringan dan atau kemerah-merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk mencegah panas badan kadangkala dokter anak memberikan resep obat sebelum imunisasi. Segera hubungi dokter anak anda apabila timbul gejala-gejala seperti diatas.
- HIB (Haemophilus Influenza Tipe B) Jadwal pemberian Diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan dan sekitar 6 bulan. Setelah itu diberikan sebagai penguat pada usia 12 s/d 15 bulan.
- Resiko yang mungkin timbul Sangat sedikit sekali efek sampingan yang pernah ditemukan, kecuali kemerah-merahan dan nyeri pada bagian bekas suntikan atau panas badan ringan.
- Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan. Bila ada reaksi alergi setelah imunisasi, maka pemberian vaksin Hib berikutnya harus dihentikan.
- Setelah pemberian Persiapkan obat-obatan untuk penurun panas badan ringan.
- POLIO Jadwal pemberian Diberikan pada usia 3 bulan, 4 bulan, 5 bulan, 12 s/d 18 bulan dan saat sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Imunisasi pertama dan kedua adalah IPV sedang dua terakhir dengan OPV. Namun apabila tidak ada gangguan dianjurkan untuk mendapatkan vaksin semuanya secara IPV. Untuk itu konsultasikan dengan dokter anak anda mana yang terbaik untuk kasus anak anda.
- Resiko yang mungkin timbul Bagi anda yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio pada saat balita dianjurkan untuk imunisasi dengan IPV sebelum anak anda mendapatkan vaksin polio secara OPV. Ini untuk mencegah penularan virus polio hidup yang terkandung dalam vaksin OPV ke anda.
- Menunda pemberian Apabila anak memiliki gangguan kekebalan tubuh, vaksin IPV lebih baik daripada OPV. Sebagai catatan, untuk anak-anak tipe ini harus dihindari kontak dengan anak lain yang baru saja menerima vaksin OPV sampai sekitar 2 minggu setelah vaksinasi. Vaksin IPV tidak boleh diberikan kepada anak yang memiliki alergi serius terhadap antibiotika neomycin atau streptomycin. Untuk itu sebaiknya diberikan vaksin tipe OPV.
- Setelah pemberian Untuk IPV, sering menimbulkan panas badan ringan dan nyeri atau kemerah-merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk OPV tidak ada gejala pasca imunisasi apapun.
- BCG Jadwal pemberian Diberikan satu kali pada usia 2 bulan.
- Resiko yang mungkin timbul Jarang ditemui adanya reaksi berlebihan terhadap vaksin ini.
- Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan.
- Setelah pemberian Seperti vaksin lainnya cukup siapkan obat penurun panas, apabila tidak ada gejala lain yang serius.
- MMR / CAMPAK Jadwal pemberian Diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari dua kali pemberian. Yaitu pada usia 12 s/d 15 bulan dan saat sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun) atau pada usia 11 s/d 12 tahun.
- Resiko yang mungkin timbul Jarang sekali timbul masalah serius akibat vaksin ini.
- Menunda pemberian Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan. Bila memiliki alergi terhadap telur atau antibiotika neomycin. Bila menerima gamma globulin dalam selang waktu 3 bulan sebelum imunisasi. Bila memiliki gangguan kekebalan tubuh akibat kanker atau sedang menjalani terapi kemo atau radiasi.
- Setelah pemberian Seperti vaksin lainnya cukup siapkan obat penurun panas, apabila tidak ada gejala lain yang serius.
Tabel jadwal imunisasi umum
JADWAL
PEMBERIAN
|
JENIS VAKSIN
|
Waktu Lahir
|
BCG, HEPATITIS
B (DOSIS I)
|
Umur 1 bulan
|
HEPATITIS B
(DOSIS II)
|
Umur 2 bulan
|
DPT dan
POLIO (DOSIS I)
|
Umur 3 bulan
|
DPT dan
POLIO (DOSIS II)
|
Umur 4 bulan
|
DPT dan
POLIO (DOSIS III)
|
Umur 5 bulan
|
POLIO (DOSIS
IV)
|
Umur 6 bulan
|
HEPATITIS
(DOSIS III)
|
Umur 9 bulan
|
CAMPAK
|
Umur 15
bulan
|
MMR
|
Umur 18
bulan
|
DPT (DOSIS
IV), POLIO (DOSIS V)
|
Kelas 1 SD
|
DT (DOSIS I
dan II)
|
BAB III
PENUTUP
Imunisasi merupakan hal yang terpenting dalam
usaha melindungi kesehatan anak anda. Imunisasi bekerja dengan cara merangsang timbulmya
kekebalan tubuh yang akan melindungi anak anda dari penyakit-penyakit sebagai
berikut: polio, campak, gondongan, campak Jerman, influenza, tetanus, difteri
dan pertusis (batuk rejan).
Tanpa pemberian vaksin, jumlah kematian
anak-anak yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut meningkat dan banyak orang
yang mengalami komplikasi kronik setelah menderita penyakit tersebut.
Kesimpulan
Imunisasi bertujuan untuk merangsang system
imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga dapat melindungi
tubuh dari serangan penyakit. (Musa, 1985). Walaupun cakupan imunisasi tidak
sama dengan 100% tetapi sudah mencapai 70% maka anal-anak yang tidak
mendapatkan imunisasi pun akan terlindungi oleh adanya suatu “herd immunity”.
Berdasarkan hasil penelitian Ibrahim (1991),
menyatakan bahwa bila imunisasi dasar dilaksanakan dengan lengkap dan teratur,
maka imunisasi dapat menguragi angka kesakitan dan kematian balita sekitar
80-95%. Pengertian teratur dalam hal ini adalah teratur dalam mentaati jadwal
dan jumlah frekuensi imunisasi, sedangkan yang dimaksud imunisasi dasar lengkap
adalah telah mendapat semua jenis imunisasi dasar (BCG 1 kali, DPT 3 kali,
Polio 4 kali dan Campak 1 kali) pada waktu anak berusia kurang dari 11 bulan.
Imunisasi dasar yang tidak lengkap, maksimal hanya dapat memberikan
perlindungan 25-40%. Sedangkan anak yang sama sekali tidak diimunisasi tentu
tingkat kekebalannya lebih rendah lagi.
Pemberian tetanus toksoid pada ibu hamil
dapat mencegah terjadinya tetanus neonatorum pada bayi baru lahir yang ditolong
dengan tidak steril dan pemotongan tali pusat memakai alat tidak steril.
Imunisasi terhadap difteri dan pertusis dimulai sejak umur 2-3 bulan dengan
selang 4-8 minggu sebanyak 3 kali akan memberikan perlindungan mendekati 100%
sampai anak berusia 1 tahun. Imunisasi campak diberikan 1 kali akan memberikan
perlindungan seumur hidup. Imunisasi poliomyelitis dapat memberikan
perlindungan seumur hidup apabila telah diberikan 4 kali. (Ibrahim, 1991).
Vaksin sebagai suatu produk biologis dapat
memberikan efek samping yang tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak selalu
sama reaksinya antara penerima yang satu dengan penerima lainnya. Efek samping
imunisasi yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau
Adverse Events Following Immunization (AEFI) adalah suatu kejadian sakit yang
terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga berhubungan dengan imunisasi.
Penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi terbagi atas empat macam, yaitu
kesalahan program/tehnik pelaksanaan imunisasi, induksi vaksin, faktor
kebetulan dan penyebab tidak diketahui. Gejala klinis KIPI dapat dibagi menjadi
dua yaitu gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal seperti nyeri, kemerahan,
nodelle/ pembengkakan dan indurasi pada lokasi suntikan. Gejala sistemik antara
lain panas, gejala gangguan pencernaan, lemas, rewel dan menangis yang
berkepanjangan.
Saran
- Tingkat pendidikan ibu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
- Jarak rumah ke Puskesamas tidak mempunyai pengaruh terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
- Pengetahuan ibu mempunyai pengaruh positip terhadap kelengkapan imunisasi dasar, yang berarti bahwa semakin baik pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi akan berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
- Motivasi ibu mempunyai pengaruh positip terhadap kelengkapan imunisasi dasar. Yang berarti bahwa semakin baik motivasi ibu akan berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
- Tenaga Kesehatan Berupaya untuk meningkatan pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi dasar bagi bayi sehingga ibu yang mempunyai bayi berusaha meningkatkan kelengkapan imunisasi bayi melalui penyuluhanpenyuluhan di masyarakat.
- Berupaya untuk meningkatan motivasi ibu dengan memberikan informasi tentang imunisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan bayi dan meningkatkan kelengkapan imunisasi bayi.
- Ibu yang mempunyai bayi Agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang manfaat imunisasi bagi anaknya. Agar mempunyai motivasi yang besar dalam meningkatkan kesehatan bayi dan keluarganya
- Peneliti selanjutnya Diharapkan dapat menambah jumlah responden, lebih mespesifikkan jenis imunisasi, meneliti dengan variabel bebas yang baru, dsb.
- Diharapkan peneliti selanjutnya agar meneliti dengan menggunakan metode eksperimen dalam bentuk penyuluhan kesehatan.
- Dapat menjadi informasi dan data sekunder dalam pengembangan penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Agung, I Gusti Ngurah, 2001. Statistika Analisis Hubungan Kausal Berdasarkan Data Kategorik. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
- http://eprints.ums.ac.id/888/1/2008v1n1-02.pdf
- http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=15&id=4
- http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/12/imunisasi-dan-faktor-yang-mempengaruhinya/
- http://www.ictjogja.net/kesehatan/C5_1.htm
- http://vinadanvani.wordpress.com/2008/02/20/jenis-imunisasi-yang-diawajibkan-dan-dianjurkan/
- http://m.infeksi.com/articles.php?lng=en&pg=15&id=13
- http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/documentation/vol.32_No.2/imunisasi.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar