BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pengertian
konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Undang-Undang
Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua undang-undang dan
peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi
dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis
sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh
karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut
cara suatu pemeritahan diselenggarakan
Konstitusi model Amerika (yang
tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan diundangkannya
UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan
deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua dokumen
tersebut selain memberikan model yang kemudian diikuti oleh para perancng UUD
yang lain, dalam hal bentuk maupun substansi, juga memberikan berbagai wawasan
mengenai mengapa dan bagaimana UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi
tertulis di berbagai negara di Eropa.
Undang-Undang Dasar berkedudukan
sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang selanjutnya ditentukan
sebagai ideologi yang melandasi negara. UUD menentukan cara-cara bagaimana
pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain; UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar
tertulis (basiclaw), konstitusi
pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam
praktik ketatanegaraan
2. Bagaimana peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3. Seperi apa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Mendeskripsikan
peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik ketatanegaraan
2. Mendeskripsikan peranan konvensi dalam praktik
ketatanegaraan
3. Mendeskripsikan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Pertumbuhan Konstitusi
Secara etimologis
antara kata” konstitusi” ,”konstitusional”, dan,”konstitusionalisme” inti
maknanya sama, namun penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah
segala ketentuan da aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan
sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala
tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang
didasarkan atau tidak menyimpangi konstitusi, berarti tindakan ( kebijakan)
tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitualisme,
yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak – hak rakyat
melalui konstitusi.
Catatan
historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah
yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka
kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak jaman
sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (secara
kitab hukum). Pada masa kejayaannya ( antara tahun 624-404 S.M.) Athena pernah
mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Pemahaman
awal tentang”konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma,
pengertian constitusionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator.
Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli
hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang.
Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana
konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma, telah
menjelma dalam bentuk L’Etat general di prancis, bahkan kegandrungan orang
Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham:”
demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme” . dua paham inilah merupakan cikal
bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada zaman
abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser kearah feodalisme.
Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para
tuan tanah. Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap
orang harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi dari pada tuan tanah, menjadi tidak
mendapat tempat.
Pada abad VII
(zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah. Piagam Madinah adalah
konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam, tepat nya
sekitar tahun 622 M.
Di Eropa
kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai dengan
semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan Austria
pada abad ke 15. Gejala ini dimahkotai
oleh ucapan L’Etat C’est moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis.
Lain halnya
dengan di inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan sebagai
puncak kemenangannya di tandai dengan pecahnya The Glorious Revolution (1688).
Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan
berakhirnya absolutisme di inggris, serta munculnya parlemen sebagai pemegang
kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni inggris mengeluarkan Declarations
of Independence dan menetapkan
konstitusi-konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat yaitu tepatnya
pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan bentuk konkretisasi dari berbagai
teori perjanjian.
Perjalanan
sejarah berikutnya, pada tahun 1789 meletus revolusi dalam monarki absolutisme
di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan dimasyarakat dan
terganggunya stabilitas keamanan negara. Sampai pada akhirnya, 20 juni 1789
Estats Generaux memproklamirkan dirinya konstituante, walaupun baru pada
tanggal 14 septembr 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI.
Sejak itu, sebagia besar dari negara – negara di dunia, baik monarki maupun
republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan atas suatu
konstitusi.
Di Prancis
muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract Social karya J.J. Rousseau. Dalam
buku ini Rosseau mengatakan “ manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam
hak-haknya “, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat).
Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des Droit de I’Homme et du
Citoyen, karena deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan konstitusi Prancis
(1791) khusus nya yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Pada masa inilah awal
dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti yang ada di
Amerika.
Konstitusi model
Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan
diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun
1789 dan deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789. Kedua
dokumen tersebut selain memberikan model yang kemudian diikuti oleh para
perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk maupun substansi, juga memberikan
berbagai wawasan mengenai mengapa dan bagaimana UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi
tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812),
konstitusi di Nerwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di
Belgia (1831), konstitusi di Itali (1848), konstitusi di Australia (1861), dan
konstitusi di Swedia (1866), sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria
dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis. Tapi perlu diingat
bahwa konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting.
Konstitusi
sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau
sering disebut dengan “konstitusi modern”, baru muncul bersamaan dengan semakin
berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme” . demokrasi
perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran lembaga
legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-undang untuk mengurangi
serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah yang mendudukan konstitusi
(yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi dari pada raja,
sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.
Pada giliran
berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak memberikan dorongan
yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan menghancurkan
pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan negara-negara baru dengan
konstitusi yang berasarkan demokrasi dan nasionalisme. Upaya itu di konkretkan
dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia. Tiga tahun
kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik yang ditandai
dengan Revolusi Rusia (1917), di ikuti meletusnya fasisme di Italia, dan
pemberontakan Nazi di Jerman, sampai pada akhirnya meletus perang dunia ke II.
2.2 Pengertian
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Francis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Pengertian
konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Sedangkan
pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar
semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk,
sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan
pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi
dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis
sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh
karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut
cara suatu pemeritahan diselenggarakan
Berikut
ini para ahli hukum yang mendukung antara yang membedakan dan yang menyamakan
pengertian konstitusi dengan UUD.
Penganut
paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan dengan UUD antara lain
sebagai berkiut:
1. Herman Heller
Herman
Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu:
1) Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik didalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan
sosiologis.
2) Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai
undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Dari
pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian
undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya
UUD itu baru merupakan sebagian dari konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis
saja. Disamping itu konstitusi tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi
mengandung pengertian logis dan poitis.
2. F. Lassalle
F.
Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungwesen, membagi konstitusi dalam dua
pengertian, yaitu:
1) Pengertian sosiologis atau politis. Konstitusi adalah
sintesis faktor-faktor kekuatan nyata dalam masyarakat. Jadi konstitusi
menggambarkan hubungan antara kekuatan yang terdapat dengan nyata dalm suatu
negara. kekuasaan tersebut diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure
groups, partai politik, dan lain-lain; itulah konstitusi yang sesungguhnya.
2) Pengertian yuridis. Konstitusi adalah suatu naskah yang
memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Dari pengertian
sosiologis dan politik, ternyata Lassale menganut paham bahwa konstitusi
sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar UUD. Namun
dalam pengertian yuridis, Lassale terpengaruh pula oleh paham kodifikasi yang
menyamakan konstitusi dengan UUD.
Kelihatannya para
penyusun UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis diatas, sebab dalam penjelasan
UUD 1945 dikatakan: “UUD suatu negara adalah hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. UUD adalah hukum dasar yang tertulis , disamping UUD itu berlaku
juga hukum dasar yang tidak tetulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelengaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Adapun
penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan konstitusi dengan UUD antara
lain sebagai berkut:
1. 1. C.F. Strong.
Pendapat
James Bryce sebagaimana dikutip C.F Strong dalam bukunya: Modern
Poitikal Constittion menyatakan konstitusi adalah:
“ Konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai
kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum
menetpakan:
1) Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2) Fungsi dari alat-alat perlengkapan
3) Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian
C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri yang
menyatakan bahwa konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas
yang menyelenggarakan:
1) Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas)
2) Hak-hak yang diperintah
3) Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut
didalamnya masalah hak asasi manusia)
2. K.C. Wheare
K.C.
Wheare mengartiakn konstitusi sebagai: “keseluruhan sistem ketatanegaraan dari
suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur, atau
memerintah dalam pemerintahan suatu negara”. peraturan disini merupakan
gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan tidak
memiliki sifat hukum (nonlegal).
Konstitusi
dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian,
sebagaimana dikemukakan oleh K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitusions: pertama,
dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan suatu negara dan
merupakan suatu himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan
dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan didalamnya
terdapat campuran tataperaturan baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang
bukan peraturan hukum (nonlegal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni
sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang
dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama
lain.
Berangkat
dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian konstitusi diatas, dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi yang
tertulis dan tidak tertulis. UUD merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun
batasannya dapat dirumuskan dalam
pengertian sebagai berikut:
1) Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan
kekuasaan kepada para penguasa.
2) Suatu dokumen tentang pembagian tugasdan sekaligus
petugasnya dari suatu sistem politik.
3) Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara
4) Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi
manusia.
2.3 Undang-Undang
Dasar dan Konstitusionalisme
UUD
sebenarnya tidak bisa dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu
konsep yang telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan. Ide pokok dari
konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya, agar
penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang.Dianggap suatu UUD adalah
jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dengan
demikian timbul konsep the constitusinal state, dimana UUD dinggap sebagai
institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of
the Law atau Rechtsstaat.
Dengan demikian telah terbukti
sepanjang sejarah bahwa manusia atau golongan yang mempunyai kekuasaan tidak
terbatas akan menyalahgunakan atau menyelewengkannya sehingga berakibat
diinjak-injaknya hak-hak asasi manusia. Maka dari itu tepatlah diktum yang
dikemukakan oleh Lord Acton: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah
pasti akan menyalahgunakannya”.
Mulai akhir abad ke-18 muncul
berbagai rumusan UUD dalam bentuknya seperti yang kita kenal dewasa ini. UUD
dianggap sebagai jaminan yang paling efektif bahwa kekuasaan tidak
disalahgunakan dan hak warga negara tidak dilanggar. Untuk itu perlu dicari
suatu sistem asas pokok yang menentukan kekuasaan itu dan hak baik bagi yang
memerintah (penguasa), maupun bagi yang diperintah (rakyat).
Dinegara-negara komunis UUD
mempunyai fungsi ganda, disatu pihak mencerminkan kemenangan-kemenangan yang
telah dicapai dalam perjuangan ke arah tercapainya masyarakat komunis,
sekaligus merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah
dicapai.
Negara-negara yang timbul di Asia
dan Afrika semuanya mempunyai UUD sebagai salah satu atribut kenegaraan yang
melambangkan kemerdekaan yang baru diperoleh itu. Dinegara-negara itu yang
menganggap UUD sebagai suatu dokumen yang mempunyai arti yang khas
(Konstitusinalisme), seperti misalnya India, Filipina, dan juga Indonesia.
Sebaliknya negara-negara komunis di Asia seperti China dan Korea Utara
menganggap UUD sebagai suatu registrasi belaka dari perkembangan yang telah
dicapai, serta rangka legal untuk masa depan, sesuai dengan anggapan Uni
Soviet.
2.4 Sifat
Dan Fungsi Undang-Undang Dasar
Pada umumnya
sifat dan fungsi undang-undang dasar itu merupakan suatu perangkat peraturan
yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD
juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan
hubungan-hubungan diantara mereka.
Menurut sarjana hukum EC.S. Wade
dalam buku Constitusional Law, UUD adalah “ naskah yang memaparkan rangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut” jadi pada dasarnya setiap sistem
pemerintahan diatur dalam UUD.
UUD menentukan cara-cara bagaimana
pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain; UUD merekam hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Definisi UUD
dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Ricard S. Kay. seorang ahli yang
ahli dalam bidang kontemporer. Menurut Kay “maksud diadakannya UUD adalah untuk
meletakan aturan-aturan yang pasti yang mempengaruhi prilaku manusia dan dengan
demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik.
Di dalam
negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang
Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak-hak warga negara
akan terlindungi.
2.5
Kedudukan dan Tujuan Undang-Undang Dasar
Undang-Undang
Dasar berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara.
Sedangkan
tujuan Undang-Undang Dasar adalah sebagai berikut:
1. Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang
maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan
dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan
rakyat banyak
2. Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain
dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
3. Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi
negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
2.6 Materi Muatan Dalam
Undang-Undang Dasar
Menurut Mr. J.G. Steenbeek pada umumnya Undang-Undang Dasar
berisi tiga hal pokok, yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental
Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang
Dasar memuat ketenttuan-ketentuan mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif atau juga pembagian kekuasaan antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian
2. Hak-hak asasi manusia
3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sfat tertentu dari Undang-Undang
Dasar
2.7 Ciri-ciri Undang-Undang Dasar
Walaupun UUD satu negara berbeda dengan negara lain, kalau
diperhatikan secara cermat ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan antara ketiganya. UUD juga
memuat bentuk negara (Misalnya Federal atau kesatuan), serta pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal degan pemerintah negara-negara bagian atau
antara pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan negara atau pemerintah dan
sebgainya. Dalam arti UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang
khusus.
2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebtu Bill of Right kalau
berbentuk naskah tersendiri)
3. Prosedur mengubah UUD (amandemen)
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin menghindari
terulangnya kembali hal-hal yang abru saja diatasi, seperti misalnya munculnya
seorang diktator atau kembalinya suatu monarki, misalnya UUD federasi Jerman
melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan bahwa sifat
unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator
seperti Hitler.
5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua
warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali.
2.8 Nilai
Penting Undang-Undang Dasar
Struycken dalam
bukunya Het Staatsrecht van Het
Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi tentang
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu
yang lampau
2. Tingkat-tingkat perkembangan
ketatanegaraan bangsa
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang
4. Suatu keinginan, dengan
mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin
2.9 Perubahan
Undang-Undang Dasar (Amandemen)
Selain
pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula negara mengadakan perubahan
sebagian dari UUD nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. UUD biasanya memuat prosedur
untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial tersebut. Pada umumnya
dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu
akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan
pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi
mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.
Terdapat prosedur yang berbeda-beda
di antara satu negara dengan yang lain dalam melakukan perubahan UUD, namun
secara umum bisa disebutkan sebagai berikut:
1. Melalui sidang badan legislatif, kadang-kadang dengan
ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan kuorum untuk sidang yang
membicarakan usul amandemen dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk
menerimanya (contoh: Inggris, Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia
Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa
parlemenlah yang paling berwenang untuk mengubah atau tidak mengubah UUD.
Demikian pula Israel, Knessetlah yang mempunyai wewenang tersebut.
2. Referendum atau plebisit (contoh: Swiss, Australia, Denmark,
Irlandia, dan Spanyol). Di negara-negara ini referendum dilaksanakan untuk
memintakan persetujuan atas usul
peubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
3. Negara – negara bagian dalam negara federal ( contoh:
Amerika Serikat: ¾ dari lima puluh negara bagian harus menyetujui; contoh lain
India). Di Jerman, untuk mengubah BasicLawharus
ada persetujuan 2/3 dari anggota Bundesrat.
4. Musyawarah khusus (specialconvention)
seperti yang diberlakukan di beberapa negara Amerika latin.
Di Indonesia
perubahan Undang-undang Dasar dapat dilakukan dengan cara:
1. Usul perubahan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan rakyat
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian
yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal
Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan rakyat dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaran Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
2.10 Supremasi
Undang-Undang Dasar
UUD berbeda
dengan undang-undang biasa. Undang-Undang Dasar dibentuk menurut cara yang
istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan undang-undang biasa.
Demikian pula
badan membuat UUD berbeda dengan badan yang membuat undang-undang biasa. Karena
dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap sesuatu yang luhur. Ditinjau
dari sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih
sempurna dan lebih tinggi dari pada undang-undang biasa.
Dengan adanya gagasan bahwa UUD
adalah hukum tertinggi (Supremes law)
yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan negara.
Yang akan menjamin bahwa ketentuan-ketentuan UUD benar-benar diselenggarakan
menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif maupun oleh
badan-badan pemerintahan lainnya. Di sini ada beberapa pikiran yang berbeda.
Di inggris,
parlemenlah yang diangga sebagai badan yang tertinggi (Parliamentary supremacy atau legislative
supremacy) dan oleh karena itu hanya parlemenlah yang boleh menafsirkan
ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan
peraturan sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
konstitusional itu. Ini berarti bahwa parlemen merupakan satu-satunya badan
yang boleh mengubah ataupun membatalkan undang-undang yang dianggapnya tidak
sesuai dan bertentangan dengan ketentuan UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa
kedaulatan rakyat diwakilkan kepada parlemen sehingga badan itu merupakan
pemegang kedaulatan yang tertinggi. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian
kekuasaan yang terlalu terpusat pada parlemen ini menuai kritik. Sebab keadaan
demikian dapat menimbulkan apa yang disebut oleh Lord Hailsham (1976) electivedictatorship, dalam arti bahwa
pemerintah dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu memegang kontrol
mayoritas di parlemen. Kritik-kritik demikian pada gilirannya mengarah ke
berkembangnya keinginan untuk merevisi struktur UUD yang lebih menjamin
terdistribusinya kekuasaan pemerintah, misalnya melalui reformasi sistem
pemilihan umum; atau dengan mengodifikasikan UUD yang lebih menjamin
terlindunginya hak-hak asasi.
Berbeda
halnya dengan paham yang berlaku di negara-negara yang berbentuk federasi.
Paham yang berlaku di sana adalah bahwa perlu ada satu badan di luar badan
legislatif yang berhak meneliti apakah sesuatu undang-undang bertentangan atau
tidak dengan UUD. Di Amerika Serikat, India, dan Jerman barat wewenang itu ada
ditangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu berlaku asas judicialsupremacy dan Mahkamah Agung
dianggap sebagai pengaman UUD (Guardian
of theConstitution). Wewenang Mahkamah Agung ini antara lain berdasarkan
anggapan bahwa anggota badan legislatif terlalu mudah terpengaruh oleh pihak
lain dan kedudukanya pun terpengaruh oleh oleh fluktuasi politik, sehingga
lebih wajarlah wewenang ini diberikan kepada hakim-hakim Mahkamah Agung. Mereka
dianggap lebih bijak dan profesional karena pendidikan dan pengalamannya di
bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari tekanan dan
fluktuasi politik.
Di beberapa
negara lain dibentuk suatu badan khusus untuk itu. Misalnya di Prancis ada
Mahkamah UUD yang terdiri dari hakim-hakim mahkamah Agung ditambah dengan
beberapa hakim lain.
Di
negara yang mempunyai UUD tak tertulis (seperti di Inggris da Israel) adalah
sukar untuk membedakan antara hukum UUD dan hukum biasa, oleh karena setiap
ketentuan konstitusional – apakah berupa undang-undang biasa atau keputusan
hakim – dapat diubah atau ditinjau kembali oleh parlemen ; jadi statusnya tidak
berbeda dengan undang-undang biasa. Di negara-negara lain yang mempunyai UUD
tertulis, UUD dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat
mengikat daripada undang-undang biasa.
Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 yang di amandemen, juga
telah dibentuk satu mahkamah konstitusi. Lembaga inilah yang berwenang menguji
apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.
Dasar pertimbangan supremasi Undang-Undang Dasar
dalam suatu negara adalah karena beberapa hal yaitu:
1. Undang-Undang Dasar dibuat oleh Badan
Pembuat Undang-Undang
2. Undang-Undang Dasar
dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin
oleh rakyat, dan harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
3. Dilihat dari sudut hukum
yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, Undang-Undang Dasar diteteapkan
oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.
2.11 Konvensi Dalam Praktik Ketatanegaraan
Istilah konvensi berasal dari bahasa
Inggris yaitu convention. Konvensi diartikan sebagai kebiasaaan yang dilakukan
oleh pemerintah yang berlaku dan dihormati dalam praktik ketatanegaraan..
A.V.
Dicey mengemukakan bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Konvensi itu berkenaan dalam hal-hal bidang ketatanegaraan
2. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti, dan dihormati dalam
praktik penyelenggaran negara
3. Konvensi bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran
dari terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan
Dari ketentuan diatas dapat
diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktik
penyelenggaraan negara. Konvensi dapat terjadi melalui suatu praktik
berulang-ulang yang tumbuh menjadi kewajiban yang harus ditaati oleh
penyelenggara negara.
2.12 Konvensi dan UUD 1945
Penjelasan
Umum UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar
suatu negara ialah hanya sebagaian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang
Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu
berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak
tertulis (konvensi).
Menggarisbawahi Penjelsan Umum UUD 1945 tersebut dapat
disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia selain
dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan
kaidah-kaidah hukum yang tertulis (konvensi). Kaidah-kaidah hukum yang tak
tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan
kaidah-kaidah hukum yang tertulis.
Di Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan
kebutuhan negara Indonesia. Peranan konvensi dalam rangka melengkapi hukum
dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat, maka kiranya konvensi merupakan
salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima secara
konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia.
Kehadiran konvensi dalam praktik penyelenggaraan di
Indonesia bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu konvensi tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah
sistem UUD 1945.
Berikut contoh-contoh beberapa praktik ketatanegaraan yang
dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengakapi dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Praktik dilembaga tertinggi negara bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan
musyarawah untuk mufakat.
2. Pidato presiden pada tanggal 16 Agustus didepan sidang
paripurna DPR yang disatu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah
dalam tahun anggaran yang lewat, dan dilain pihak mengandung arah kebijaksanaan
tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan
presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu dihadapan sidang
paripurna DPR.
3. Jauh dari sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang
presiden telah menyampaikan rancangan bahan-bahan untuk sidang umum MPR yang
akan datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur bahkan menurut pasal 3 UUD
1945 MPR lah yang harus merumuskan dan
akhirnya menetapkan garis-garis besar haluan negara. namun untuk memudahkan
MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran
presiden sebagai mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantikan
anggota-anggota MPR.
4. Pada setiap minggu pertama bulan Januari, presiden Republik
Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran pendapatan dan belanja Negara dihadapan DPR, pebuatan presiden
tersebut termasuk kedalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam UUD 1945
dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa “anggaran pendapatan dan
belanja ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
5. Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik
ketatanegaraan dibawah pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945
menyebutkan bahwa “menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan”. Jika
ditinjau dari ketentuan pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu
harus memimpin departemen. Namun demikian prktik ketatanegaarn dimasa Orde baru
dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan. Adanya menteri Nondepartemen
berkaitan dengan kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya
menteri Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan
negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita
dewasa ini.
6. Pengesahan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh
DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak
mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah dietujui DPR, sebagaimana
diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum
pernah mengguanakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu
mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetuji oleh DPR, meskipun
Rancanagn Undang-Undang itu telah mengalami berbagai pembahsan dan amandemen di
DPR. Rancanagn Undang-Undang kebanyakan berasal dari pemerintah (presiden)
sebagai bagaimana ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam
pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q.
pemerintah. Maka pengesahan RUU oleh presiden sangat dimungkinkan karena RUU
tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan pemerintah.
Kemudian ada
beberapa seputar masalah konvensi dimasa datang adalah sebagai berikut:
1. Pertanggung jawaban wakil presiden terhadap MPR
Pasal
4 ayat 2 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan
negara, presiden dibantu oleh wakil presiden. Secara konstitusional wakil
presiden adalah juga pembantu presiden disamping menteri-menteri. Kendatipun
wakil presiden dipilih oleh MPR tetapi UUD 1945 secara eksplisit tidak mengatur
pertanggung jawaban wakil presiden kepada MPR. Penjelasan UUD 1945 hanya
memberi keterangan tentang pertanggung jawaban presiden “bertunduk dan
bertanggung jawab kepada majelis”. Presiden adaah mandataris majelis. Karena
kedudukan wakil presiden adalah pembantu presiden, maka akhirnya presiden yang
juga bertanggung jawab atas segala tindakan pemerintahan, termasuk pelanggaran
haluan negra atau Undang-Undang oleh wakil presiden.
Tetapi
dengan demikian apakah wajar kalau presiden ditarik mandatnya atau
diberhentikan oleh MPR karena kesalahan wakil presiden?selanjutnya secara
konstitusional dikatakan bahwa apabila presiden diberhentikan, wakil presiden
akan menjadi presiden (Pasal 8 UUD 1945). Dengan demikian berarti wakil
presiden yang melanggar haluan negara menjadi presiden menggantikan presiden
yang sebenarnya menjalankan tugas dengan baik dan tidak melanggar haluan
negara.
Karena
itu sangat wajar apabila dalam peangaran haluan negara atau Undang-Undang
dasar, wakil presiden bertanggung jawab sendiri kepada MPR, meskipun UUD tidak
mengaturnya, tetapi juga UUD 1945 tidak mencegahnya, karena pertanggung jawaban
wakil presiden termausuk kategori melengkapi UUD 1945 secara tidak bertentangan
dengan makna yang terkandung didalamnya.
Berdasarkan pikiran diatas, dapat ditumbuhkan praktik
(konvensi) yang memungknkan wakil presiden bertanggung jawab sendiri kepada
MPR.
2. Komposisi menteri-menteri kabinet berdasarkan pertimbangan
kekuatan Sospol.
Pasal
17 UUD 1945 menyatakan bahwa menteri-menteri adalah pembantu presiden. Dengan
demikian presiden bebas untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Dalam
mengangkat menteri, presiden adalah formatur tunggal. Ini adalah sebagai salah
satu konsekuensi dari asas yang dianut oleh UUD 1945 yakni kekuasaan dan
tanggung jawab ditangan prsiden. namun demikian tanpa mengurangi wewenang
tersbut, perlu juga dipikirkan agar dalam praktik ketatanegaraan yang akan
datang penempatan menteri-menteri kabinet disamping mementingkan unsur keahlian
dan keesamaan pandangan politik, perlu juga dipertimbangkan basis politik menteri-menteri
yang mencerminkan kekuatan sosial yang terdapat di masyarakat. Sehingga dengan
demikian pemerintah atau kabinet akan mendapat dukungan dari seluruh kekuatan
sosial/politik yang diakui. Hal ini sesuai pula dengan konsep negara
integralistik yang dicita-citakan.
3. Sebuah undang-undang sebelum disahkan oleh presiden terlebih
dahulu disampaikan kepda Mahkamah Agung
Pasal
5 ayat 1 UUD 1945 mengatur bahwa UUD 1945 merupakan produk bersama antara
presiden dengan DPR. Persoalannya adalah terhadap undang-undang yang telah
diproduk oleh presiden dan DPR.
UUD 1945 tidak mengatur hak menguji
material Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan UUD 1945 tidak mengenal teori
Trias Politika. Sedangkan hak menguji material hanya dijumpai dinegara-negara
yang menganut teori Trias Politika. Namun praktik ketatanegaraan yang akan
datang untuk menjaga pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, agar
tidak terjadi penyimpangan dalam perbuatan berbagai undang-undang, maka kiranya
perlu dipertimbangkan cara-cara untuk menjaga konstitualitas sebuah
undang-undang. Salah satu alternatif sebelum presiden mengundangkan suatu
undang-undangyang telah disetujui oleh DPR, undang-undang tersebut telah
terlebih dahulu perlu disampaikan ke Mahkamah Agung, tidak diperiksa ada dan tidak
adanya hal yang bertentangan dengan UUD. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 11
ayat 2 TAP MPR No. III/MPR/1978 yang menyatakan “Mahakamah Agung dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun
tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara”.
Dengan demikian bebrapa praktik
ketatanegaraan (konvensi) atau kemungkinan-kemungkinan yang dapat tumbuh untuk
menjadi konvensi dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.
2.13 Undang-Undang
yang Berlaku di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45,
adalah hukum dasar
tertulis (basiclaw), konstitusi
pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
A.
Sejarah Awal UUD 1945
Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa
sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang
"Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni1945, 38 anggota
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan
UUD 1945.
Setelah
dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan
UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang
pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Nama
Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk
tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua
tanggal 10-17 Juli1945. Tanggal 18 Agustus1945, PPKI mengesahkan
UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Sejarah
ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam Undang-Undang
Dasar (konstitusi), adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang
Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2.
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat, yang berlaku antara 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950
3.
Undang-Undang
Dasar Sementara, yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai 05 Juli 1959
4.
Undang-Undang
dasar 1945, yang berlaku sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 05 Juli 1959
B.
Fungsi dan Tujuan UUD 1945
Tujuan dan
fungsi UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, adalah sebagai
berikut:
1. Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
C.
Naskah
Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum
dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat
dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah
dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam
Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu
Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
D.
Amandemen
UUD 1945
Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 adalah mengklasifikasi beberapa kelemahan
UUD 1945, antara lain: UUD 1945 telah memposisikan kekuasaan presiden begitu
besar (executive power), sistem check and balances tidak diautr secara tegas
diadalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir,
tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak asasi manusia, sistem kepresidenan,
dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
Alasan lain
yang dapat dijadikan dasar pertimbangan perlunya mengamandemen UUD 1945, karena
secara historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai
konstitusi yang bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa.
Secara filosofis, ide dasar dan substansi UUD 1945 telah mencampuradukkan
antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik. Padahal antara
keduanya bertolak belakang, bahkan paham integralistiklah yang memberangus
demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena UUD 1945 sendiri
telah mengatur prinsip dalam mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun
dasar pertimbangan praktis-politisnya sesuai dengan sinyalemen Mochtar
Pabottinggi bahwa konstitusi/UUD 1945-nya sudah lama tidak dijalankan secara
murni dan konsekuen.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan
UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staatstructuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
E.
Analisis Kritis Atas Hasl Amandemen Tahap I Dan II
Mecermati
hasil kinerja Ad-Hoc Badan pekerja MPR RI berupa amandemen tahap I (melalui
sidang Umum MPR RI tertanggal 9 Oktober 1999) dan amandemen tahap II (melalui
Sidang Tahunan MPR RI tertanggal 18 Agustus 2000), terdapat sisi kelebihan dan
kelemahannya.
1. Kelebihan dari hasil amandemen (tahap I dan II) dapat
diinformasikan sebagai berikut:
1) Momentum Amandemen ini merupakakan
langkah dan strategi desakralisasi UUD 1945 yang selama ini dikeramatkan.
2) Terjadi peralihan kekuasaan
legislatif dari eksekutif (Presiden) kepada legislatif (DPR). Dalam arti kalau
semula Pasal 5 ayat (1) presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang,
diubah menjadi presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR.
Sedangkan amandemen pasal 20 ayat (1) DPR beralih sebagai pemegang kekuasaan
membentuk UU.
3) Periodisasi jabatan presiden menjadi
lebih tegas yaitu masa jabatan presiden lima tahun dan dibatasi hanya dua
periode.
4) Hak prerogratif presiden sedikit
diperjelas sekaligus dibatasi (dalam arti positif). Sebagai contoh: dalam hal
mengangkat duta dan menerima dua dari negara lain presiden memperhatikan
pertimbangan DPR (pasal 13), begitu juga dalam memberikan amnesti dan abolisi
perlu pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2). Sedangkan untuk pemberian grasi dan
rehabilitasi presiden perlu memperhatikan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1).
5) Penegasan susunan negara kasatuan RI
terdiri dari pusat, propinsi, kabupaten, dan kota atas dasar penyelenggaraan
prinsip otonomi dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah, daerah
yang bersifat khusus atau istimewa, serta menghargai/menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Meskipun
dalam implementasinya hasil amandemen pasal 18 ini masih belum seragam dan
membingungkan.
6) Terdapat atribusi langsung dari
amandemen pasal 22 A akan perlunya UU yang mengatur tentang teknik dan tata
cara pembentukan Undang-undang, yang selama ini masih diatur dengan Keppres No.
188 Tahun 1998 dan Keppres No. 44 Tahun 1999. Harapannya kekaburan mengenai hal
ini dapat dihilangkan.
7) Ketentuan mengenai wilayah negara
diatur lebih lanjut dengan UU. Hal ini penting, karena bisa jadi jika tidak
segera diatur, maka nasib pelepasan wilayah Timor Timur dari wilayah RI akan
sangat memungkinkan diikuti oleh daerah yang lain (pasal 25E).
8) Pengaturan mengenai hak asasi
manusia menjadi lebih rinci dan luas (seperti pasal 28A- 28J dan 30), meskipun
tidak ada konssistensi penggunaan istilah anatar hak asasi, kebebasan, dan
kewajiban asasi.
9) Terdapat pemisahan secara tegas
mengenai posisi kelembagaan, struktur, dan ruang lingkup anatar TNI sebagai
alat negara yang bertugas mempertahankan, memelihara, dan melindungi keutuhan
dan kedaulatan negara, dengan kepolisian Negara sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta unsur penegak hukum (pasal
30).
10) Penetapan atas lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa
Indonesia yang selama ini belum dimasukkan dalam konstitusi (pasal 36A- 36C).
2. Kelemahan dari proses dan hasil
amandemen (tahap I dan II) kurang lebih sebagai berikut:
1)
Terlihat sekali dalam proses awal
amandemen UUD 1945 ini kurang memenuhi kaidah penyiapan dan penyusunan UUD
(kaidah-kaidah legislative drafting).
2)
Misalnya pada tahap perencanaan
penyusunan draf amandemen, seyogyanya didahului dengan pembuatan naskah
akademik amandemen yang disusun atas dasar hasil penelitian yang mendalam.
Pengguanan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah bahasa yang baku, tidak
sistematik, dan menimbulkan tumpang tindih norma, contoh ketentuan tersendiri
mengenai HAM pada Bab XA pasal 28A – 28J, utamanya pasal 28E.
3)
Proses penyiapan dan pembahasan draf
amandemen kurang melibatkan rakyat (partisipasi publik) dan kalaulah panitia
Ad-Hoc (PAH) I BP MPR RI melakukan, itu
hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan legitimasi rakyat. Lebih-lebih
proses pembahasannya cenderung elitis, karena perdebatan yang sebenarnya
terdiri dari MPR tidak diketahui oleh rakyat banyak, sehingga keputusannya pun
sangat elitis sifatnya.
4)
Hasil amandemen (tahap I dan II)
belum menyentuh beberapa persoalan ketatanegaraan secara mendasar sehingga
belum membawa kepada arah perubahan fundamental. Contoh soal mengenai negara
hukum, asas rekomendasi, dan asas berketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas
fundmental bernegara belum terakomodasi.
5)
Beberapa pasal yang rawan konflik
(misal: tentang bentuk negara dan pemerintahan, sistem perekonomian, kebebasan
beragama dan sebagainya) yang ditangguhkan mengamandemen hingga tahun 2002,
mestinya sejak dini dilakukan penelitian secara mendalam terebih dahulu, kemudian
disosialisasikan kepada rakyat secara arif, bijak, dan transparan. Penulis
yakin akan membawa hasil yang lebih memuaskan dan bisa diterima oleh semua
pihak.
6)
Beberapa ketentuan amandemen masih
banyak yang belum diikuti dengan pembaharuan peraturan pelaksanaannya sehingga
terkesan terjadi antinomi norma hukum antara hukum dasar dengan peraturan
dibawahnya. Contoh adanya pergeseran kekuasaan bidang legislatif kepada dewan
(pasal 5 dan 20 amandemen), namun dalam praktik eksekutif masih dominan (lihat
ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah).
7)
Masih banyak persoalan
ketatanegaraan yang belum terakomodasi oleh hasil amandemen (tahap I dan II),
sehingga menimbulkan kekosongan dan kemadekkan konstitusi. Contoh soal mengenai
hak angket DPR, proses impeachment presiden yang sedang ramai menjadi
perdebatan politik dan opini publik dewasa ini.
8)
Tentang lembaga kepresidenan, perlu
dipertegas dalam UUD, meskipun secara lebih detil akan diatur lebih lanjut
dalam sebuah UU tersendiri. Banyak hal yang bisa dikaji dan selanjutnya
dinormatifkan dalam konstitusi, misalnya: menyangkut sistem pemerintahan yang
“quasi presidensial parlementer”, pembagian tugas presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan, mengenai tugas, fungsi, dan tanggung jawab
wakil prsiden, dan masalah suksesi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstitusi model Amerika (yang
tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad UUD” dimulai dengan diundangkannya
UUD tertulis yang pertama yaitu UUD Amerika Serikat pada tahun 1789 dan
deklarasi francis tentang hak-hak manusia dan warga negara 1789.
Konstitusi
dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga yang
menyamakan dengan pengertian UUD. Istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih
luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan pengertian Undang-Undang
Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua undang-undang dan
peraturan lain dalam suatu negara
Keterkaitan
konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak
tertulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat
oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi
menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.
Di dalam
negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional,
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan
tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak warga negara akan
terlindungi.
3.2 Saran
Konstitusi tertulis negara Indonesia mengamanatkan dalam
dalam pembukaan UUD 1945 sesuai dengan tujuan dan fungsi negara, oleh karena
itu agar kepada para penyelenggara negara supaya lebih menfokuskan kebijakannya
sesuai dengan amanat UUD 1945 supaya dapat memberikan kesejahteraan yang
sebesar-besarnya bagi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.
Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Jazim hamidi, S.H., M.Hum, Hj. Ni’matul huda, S.H.,
M.Hum. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta. PT. Rajagrafindo Persada.
Prof. Miriam
Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Ikrar Mandiri Abadi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi
http://wennduut.blogspot.com/2011/05/konstitusi-negara-indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang
http://indopedia.gunadarma.ac.id/content/12/127/id/undang_undang-dasar-1945.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar