BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang
Logika lahir salah satunya berusaha mencoba membantah
pikiran-pikiran lain dengan cara menunjukan kesesatan penalarannya. Kesesatan
penalaran ini ada yang disengaja ada pula yang tidak disengaja. Kesesatan yang
tidak disengaja muncul sebagai bukti bahwa kemampuan berpikir manusia terbatas,
atau karena ketidaksadaran pelaku itu. Istilah kesesatan merupakan terjemahan
dar fallacia atau fallacy.
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar ujaran –
yang kalau dihayati secara logis – ternyata tidak benar atau menyesatkan.
Kesesatan berlogika ini bukan disebabkan oleh kesalahan data atau fakta,
melainkan kesalahan dalam mengambil konklusi. Konklusi yang diambil bukan atas
dasar logika atau penalaran yang sehat. Contoh pernyataan yang menyesatkan,
“Bertani itu menyehatkan, oleh karena itu, setiap petani pasti sehat”.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
kesesatan merpakan suatu akibat pengambilan konklusi yang bertentangan dengan
pikiran yang logis. Soekadijo menyebutkan bahwa kesesatan dalam penalaran dapat
terjadi karena yang sesa itu disebabkan oleh beberapa hal yang tampaknya masuk
akal. Jika seeorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan dia sendiri tidak
melihatnya sebagai sesuatu kesesatan, maka penalaran sasat seperti itu disebut
paralogis. Sebaliknya, jika penalaran yang sesat itu sengaja dilakukan untuk
menyesatkan orang lain disebut sofisme.
- Rumusan masalah
1.
Apa pengertian Kesesatan?
2.
Apa saja Bentuk Penalaran Induktif dan Diduktif?
3.
Apa Saja Bentuk Analogi?
4.
Apa saja Prinsip Dasar silogisme?
5.
Ap saja macam-macam kesesatan?
- Tujuan
1.
Agar penulis dan pembaca mengetahui penalaran Induktif dan Deduktif
2.
Agar penulis dan pembaca mengetahui arti Kesesatan Logika
3.
Agar penulis dan pembaca mengetahui macam-macam Analogi
4.
Agar penulis dan pembaca mengerti prinsip-prinsip
silogisme
5.
Agar penulis dan pembaca dapat mengetahui macam-macam Kesesatan
- Siastematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kesesatan
B.
Bentuk penalaran Induktif dan Deduktif
C.
Macam-macam Analogi
D.
Prinsip dasar Silogisme
E.
Macam,-macam Kesesatan
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Logika lahir salah satunya berusaha mencoba membantah
pikiran-pikiran lain dengan cara menunjukan kesesatan penalarannya. Kesesatan
penalaran ini ada yang disengaja ada pula yang tidak disengaja. Kesesatan yang
tidak disengaja muncul sebagai bukti bahwa kemampuan berpikir manusia terbatas,
atau karena ketidaksadaran pelaku itu. Istilah kesesatan merupakan terjemahan
dar fallacia atau fallacy.
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar ujaran –
yang kalau dihayati secara logis – ternyata tidak benar atau menyesatkan.
Kesesatan berlogika ini bukan disebabkan oleh kesalahan data atau fakta,
melainkan kesalahan dalam mengambil konklusi. Konklusi yang diambil bukan atas
dasar logika atau penalaran yang sehat. Contoh pernyataan yang menyesatkan,
“Bertani itu menyehatkan, oleh karena itu, setiap petani pasti sehat”.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
kesesatan merpakan suatu akibat pengambilan konklusi yang bertentangan dengan
pikiran yang logis. Soekadijo menyebutkan bahwa kesesatan dalam penalaran dapat
terjadi karena yang sesa itu disebabkan oleh beberapa hal yang tampaknya masuk
akal. Jika seeorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan dia sendiri
tidak melihatnya sebagai sesuatu kesesatan, maka penalaran sasat seperti itu
disebut paralogis. Sebaliknya, jika penalaran yang sesat itu sengaja dilakukan
untuk menyesatkan orang lain disebut sofisme.
Gagasan yang
diawali dengan hal-hal atau fakta yang bersifat khusus, yang dituangkan dalam
beberapa kalimat (berupa kalimat penjelasan) berdasarkan penjelasan itu
berakhir pada kesimpulan umum yang dinyatakan dengan kalimat topik.
B. Bentuk Gagasan / Penalaran Induktif dan Diduktif
Bentuk gagasan/ Penalaran Induktif
a.
Generalisasi ialah perihal
bentuk gagasan atau simpulan umum dari suatu kejadian hal, atau sebagainya.
Sahnya generalisasi bila gejala-gejala khusus yang diamati merupakan hasil
survei, sensus, penelitian, pengujian ataupun percobaan yang ruang tidak
terlalu luas, dapat memiliki keseluruhan. Dalam penyusunan paragraf pergunakan
ungkapan: cenderung, pada, umumnya rata-rata, pada mayoritasnya kasus yang
diamati, atau semacam itu. Contoh dalam paragaraf. Setelah tugas menggambar
kelas I B dikumpulkan, ternyata duapuluh anak perempuan menggambar bunga, dua
orang anak perempuan menggambar pemandangan, dan satu orang saja menggambar
binatang, sedangkan anak laki-laki bermacam-macam. Boleh dikatakan anak
perempuan kelas I B cenderung membuat gambar bunga.
b.
Analogi ialah suatu penalaran
yang bertolak dari peristiwa khusus mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan
apa yang berlaku untuk suatu hal akan bertolak pula untuk hal lain. (keraf,
1991:48) Dari difinisi di atas dapat diketahui bahwa hal yang diperbandingkan
tidak satu jenis, tetapi berlainan (dua kelas yang berbeda ) atau disebut
analogi deklaratif (penjelas) Contoh dalam paragraph Bila pohon dapat diuraikan
menjadi pokok (batang), dahan dan ranting karangan pun dapat pula diuraikan
menjadi tubuh (bodi), bab, anak bab, paragaraf, dan kalimat. Batang sebanding
dengan tubuh , dahan sebanding dengan bab, dan daun sebanding dengan paragarf.
Jadi, struktur karangan pada hakikatnya mirip atau bersamaan dengan struktur
suatu pohon.
c.
Kausalitas (sebab-akibat) ialah
memulai suatu penjelasan dari peristiwa atau hal yang merupakan sebab, kemudian
bergerak menuju ke suatu kesimpulan sebagai aspek (akibat) terdekat. Contoh
dalam paragaraf Penduduk dari daerah banyak hijrah ke Jakarta. Mereka tergiur
oleh gambaran kehidupan mewah di Jakarta dan kemudahan mencari kerja.
Akibatnya, Jakarta semakin penuh oleh pendatang.
Bentuk Gagasan / Penalaran Deduktif
a.
Silogisme ialah menarik
kesimpulan dari dua pernyataan(premis) yaitu premis umum/mayor(PU) dan premis
khusus/minor(PK).
PU : Semua A=B
PK : Semua C=A
S : Semua C=B
Contoh
PU : Semua makhluk hidup memiliki mata
PK : si Polan adalah makhluk hidup
S : maka si Polan mempunyai mata
b.
Entimen ialah silogisme yang di
pendekkan C=B karena C=A si Polan mempunyai mata karena si Polan adalah makhluk
hidup
C. Macam Analogi
Bermacam-macam cara orang membuat analogi. Analogi dapat
dibedakan atas: (1) analogi pinjaman; (2) analogi susunan; dan (3) analogi
metafora. Ketiganya akan dijelaskan berikut ini.
1.
Analogi Pinjaman Kita dapat
mengambil contoh masih term sehat. Kita dapat menerapkan pada orang sehat, obat
sehat dan udara sehat. Orang, obat dan udara memang dapat sehat, tetapi
kesehatan untuk ketiganya berlainan. Orang disebut sehat karena memang badannya
memiliki kesehatan. Udara dan obat bukan memiliki kesehatan, melainkan
mengakibatkan kesehatan. Kesamaan itu benar-benar terdapat dalam realita,
tetapi ada yang diutamakan, sedangkan yang lainnya hanya “pinjaman” udara dan
obat hanya meminjam sifat itu yang sebenarnya tidak menisbahkan kepadanya.
Itulah yang disebut dengan analogi pinjaman.
2.
Analogi Susunan Jika dikatakan,
“Manusia melihat”, dan “Binatang melihat” maka kenyataannya memang benar yakni
manusia dan binatang melihat dengan ssungguhnya. Namun dalam hal ini, keduanya
melihat dengan cara masing-masing. Ada kesamaan dan dalam kesamaan itu ada
perbedaan. Manusia melihat dengan “kemanusiaannya” sedangkan binatang melihat
dengan “kebinatangannya”. Ini bukan analogi pinjaman, melainkan analogi susunan
realita yang dirujuk oleh pengertian itu. Itulah yang dimaksud dengan analogi
susunan. Contoh lainnya, “Manusia ada”, “Hewan ada”, “Malaikat ada” dan “Allah
ada”. Meskipun semuanya sama-sama ada, tetapi berbeda satu sama lain. Adanya
manusia dan hewan sama dalam susunan fisiknya. Adanya manusia sama dengan
adanya malaikat dalam susunan rohaninya, tetapi bebeda dalam susunan rohaninya,
tetapi berbeda dalam susunan fisiknya. Akhirnya, adanya manusia dengan adanya
Allah berbeda susunan fisiknya maupun rohaninya.
3.
Analogi Metafora Analogi
metafora ini sebenarnya hanya digunakan dalam karya sastra. Oleh karena itu,
ada beberapa orang yang tidak sependapat terhadap keberadaan analogi metafora
ini. Alas an mereka, pengertian itu tidak menunjukan kesamaan dan kebedaan
dalam realita. Pada dasarnya hal yang dianalogikan tidak mungkin terjadi.
Misalnya, “Nyiur itu melambai-lambai”. Nyiur tidak mungkin dapat
melambai-lambai karena tidak mempunyai tangan. Yang dapat melambai-lambai yaitu
manusia dengan tangannya. Pernyataan itu sebenarnya hanya perasaan subjektif
bathin manusia.
D. Prinsip Dasar Silogisme
Ada dua prinsip dasar dalam silogisme.
1)
Terdapat dua buah term,
keduanya mempunyai hubungan dengan term lain, maka kedua term itu satu sama
lainnya memiliki hubungan pula (A = C; B = C; … A = C).
Contohnya : Pak Ewoy adalah ayah Ewey Pak Ewoy adalah guru SD Jadi,
ayah Ewoy adalah guru SD
2)
Terdapat dua buah term, satu di
antaranya mempunyai hubungan dengan sebuah term ketiga, sedangkan term yang
satu lagi tidak, maka kedua term itu tidak mempunyai hubungan satu sama lain (A
= C; B = C; … A = B).
Contoh : Ani bukanlah putrid Pak Ano Puteri Pak Ano sngatlah cantik
Jadi, Ani tidaklah cantik
Jadi, Ani tidaklah cantik
Bentuk Silogisme
Aristoteles mengemukakan tiga bntuk silogisme (bentuk I,
II dan III), Galen menambahkannya lagi satu bentuk (bentuk IV). Bentuk
silogisme ditentukan oleh kedudukan term menengah dalam hubungannya dengan
term-term yang terdapat pada premis-premis. Ada empat kemungkinan kedudukan
term menengah dalam dua buah premis, oleh karenanya terdapat pula empat bentuk
silogisme.
Bentuk I : Dalam bentuk I, term penengah adalah S premis
mayor dan P premis minor.
MP Semua mahasiswa Uninus mendapat tunjangan
SM Robet Ewoy adalah mahasiswa Uninus SP Robet Ewoy mendapat tunjangan
Bentuk II : Dalam bentuk II, term penengah P dari kedua
premisnya
PM Semua manusia bijaksana
SM Semua hewan tidak berotak
SP Semua hewan bukan manusia
Bentuk III : Dalam bentuk III, term penengah adalah S
dari kedua premisnya
MP Semua muslimat berjilbab
MS sebagian muslimat sudah naik haji
SP Sebagian yang sudah naik haji berjilbab
Bentuk IV: Dalam bentuk IV, term penengah adalah P dari
premis mayor dan S dari premis minor
PM Semua dosen menulis
MS Semua yang menulis pandai
SP Sebagian yang pandai adalah dosen
(1) Semua manusia pasti mati Semua monyet adalah
binatang Jelaslah bahwa dari dua premis
di atas, tidak terdapat konklusi yang dapat diambil.
(2) Kaki saya menyentuh sofa Sofa menyentuh lantai. Kaki
saya menyentuh lantai.
Dalam contoh (2) terdapat empat butir term yaitu kaki
saya, menyentuh sofa, sofa dan menyentuh lantai. Karena itu, tidak ada konklusi
yang dapat ditarik.
E. Macam-macam Kesesatan
1.
Kesesatan karena Bahasa
a.
Kesesatan karena term ekuivokal
Term ekuivokal yaitu term yang dialmbangkan oleh kata yang memiliki
struktur fonologis yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Jika dalam
suatu penalaran terjadi pergantian makna dari term yang sama, maka akan menimbulkan
kesesatan penalaran.
Contoh: (1) Abadi adalah sifat Allah
(2) Adam adalah mahasiswa abadi Jadi Adam
adalah mahasiswa yang memiliki sifat Allah.
b.
Kesesatan karena aksen atau
tekanan
Yang dimaksud dengan tekanan dalam bahas yaitu suatu
jenis unsur supresegmental bahasayang ditandai naik turunnya nada atau nyasing
pelannya nada suatu arus ujaran.
Contoh: (1a) Dia itu beruang (ber-u-ang)
(1b) Dia itu beruang (be-ru-ang)
(2a) Amir sedang memetik jambu monyet
(2b) Amir sedang memetik jambu/monyet (tanda / sebagai
jeda)
c.
Kesesatan karena makna kiasan
Contoh : (1a) Tangan Amir melambai-lambai
(1b) Nyiur di tepi pantai itu melambai-lambai.
Jadi: Tangan Amir sama denga Nyiur di tepi pantai.
d.
Kesesatan karena Amfiboli
Amfiboli akan terjadi jika sebuah struktur kalimat
mempunyai makna ganda atau bercabang. Perbedaan penfsiran itu karena aksen atau
jeda, tetapi karena pembicara atau penulis membuat kalimat yang memang
sedemikian rupa sehingga maknanya bercabang.
Contohnya: Mahasiswa yang duduk di atas kursi yang
paling belakang itu putra Pak Camat. Membaca kalimat tersebut kita mungkin akan
menafsirkan apa yang paling belakang itu? Mahasiswanya atau mejanya.
2.
Kesesatan Relevansi
Kesesatan relevansi timbul jika orang menurunkan suatu
konklusi yang tidak relevan dengan premisnya. Maksudnya, secara logis konklusi
tidak terkandung atau tidak merupakan imflikasi dari premisnya. Soekadijo,
selanjutnya memaparkan bentuk-bentuk kesesatan relevansi yang banyak terjadi
seperti berikut ini.
a)
Argumentum ad hominem Kesesatan
ini terjadi jika kita berusaha agar orang lain menerima atau menolak sesuatu
usulan, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alas an yang
berhubungan dengan kepentingan si pembuat usul.
b)
Argumentum ad Verecundiam atau
Argumentum Auctoritatis Kesesatan ini juga disebabkan oleh penolakan terhadap sesuatu
tidak berdasarkan nilai penalarannya, akan tetapi karena disebabkan oleh orang
yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya, seorang
pakar. Secara logis tentu dalam menerima atau menolak sesuatu tidak bergantung
kepada orang yang dianggap pakar. Kepakaran, kepandaian, atau kebenaran justru
harus dibuktikan dengan penalaran yang tepat. Pepatah latin berbunyi, “Tantum
valet auctoritas, quantum valet argumentation” ; yang maknanya, ‘Nilai wibawa
itu hanya setinggi nilai argumentasinya’.
c)
Argumentum ad baculum Baculum
artinya ‘tongkat’. Maksudnya, kesesatan ini timbul kalau penerimaan atau penolakan
suatu penalaran didasarkan atas adanya ancaman hukuman. Jika, kita tidak
menyetujui sesuatu maka dampaknya kita akan kena sanksi.kita menrima sesuatu
itu karena terpaksa, karena takut bukan karena logis.
d)
Argumentum ad misericordiam Penalaran
ini disebabkan oleh adanya belas kasihan. Maksudnya, penalaran ini ditujukan
untuk menimbulkan belas kasihan sehingga pernyataan dapat diterima. Argumen ini
biasanya berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Misalnya, seorang
pencuri yang tertangkap basah mengatakan bahwa ia mencuri karena lapar dan
tidak mempunyai biaya untuk menembus bayinya di rumah sakit, oleh karena itu ia
meminta hakim membebaskannya.
e)
Argumentum ad populum Argumentum
populum ditujukan untuk massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidak perlu.
Yang diutamakan ialah menggugah perasaaan massa sehingga emosinya terbakar dan
akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu. Yang seperti ini biasanya
terdapat pada pidato politik, demonstrasi, kampanye, propaganda dan sebagainya.
f)
Kesesatan non cause pro cause Kesesatan
ini terjadi jika kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya
bukan sebab, atau bukan sebab yang lengkap. Contohnya yaitu suatu peristiwa
yakni Amir jatuh dari sepeda dan meninggal dunia. Orang menyebutnya bahwa Amir
meninggal dunia karena jatuh dari sepeda. Akan tetapi menurut visum et repertum
dokter, Amir meninggal dunia karena serangan penyakit jantung.
g)
Kesesatan aksidensi Kesesatan
ini terjadi jika kita menerapkan prinsip-prinsip umum atau pernyataan umu
kepada peristiwa-peristiwa tertentu yang karena keadaanya yang bersifat
aksedential menyebabkan penerapan itu tidak cocok. Contohnya, seseorang member
susu dan buah-buahan kepada bayinya meskipun bayi itu sakit, dengan pengrtian
bahwa susu dan buah-buahan itu baik bagi bayi, maka si ibu itu melakukan
penalaran yang sesat karena aksidensinya. Contoh lain, yaitu makan itu pekerjaan
yang baik. Akan tetapi jika kita makan ketika berpuasa, maka penalaran kita
sesat karena aksidensi.
h)
Kesesatan karena komposisi dan
devisi Ada predikat-predikat yang hanaya mengenai individu-individu suatu
kelompok kolektif. Kalau kita menyimpulkan bahwa predikat itu juga berlaku
untuk kelompok kolektif seluruhnya, maka penlaran kita sesat karena komposisi. Misalnya,
ada beberapa anggota-anggota polisi yang menggunakan senjatanya untuk menodong,
kita simpulkan bahwa korps kepolisian itu terdiri atas penjahat. Sebaliknya,
jika ada predikat yang berlaku untuk kelompok kolektif dan berdasarkan hal itu
disimpulkan bahwa setiap anggota dari kelompok kolektif itu tentu juga
menyandang predikat itu, maka penalaran itu sesat karena devisi.
i)
Kesesatan karena pertanyaan
yang kompleks Sebuah pertanyaan atau perintah, sering kali bersifat kompleks
yang dapatdijawab oleh lebih dari satu pernyataan, meskipun kalimatnya sendiri
tunggal. Contohnya, jika ada pertanyaan, “Coba sebutkan macam-macam kalimat!”, maka
jawabannya anatara lain: Kalimat tunggal dan kompleks ; kalimat berita,
perintah, dan pertanyaan ; kalimat aktif dan pasif ; kalimat susun normal dan
inversi.
j)
Argumentum ad ignorantum Argumentum
ad ignorantum adalah penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi atas dasar
bahwa negasinya tidak terbukti salah, atau yang menyimpulkan bahwa sesuatu konklusi
itu salah karena negasinya tidak terbukti benar. Contohnya, jika kita menyimpulkan
bahwa mahluk “berbadan halus” itu tidak ada karena tidak dapat kita lihat, hal
ini sama saja dengan pernyataan bahwa di Kepulauan Paskah tidak ada piramida
karena kita tidak mengetahui adanya piramida di sana.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
KESESATAN BERPIKIR/LOGIKA Kesesatan
adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir karena penyalahgunaan
bahasa (verbal) dan/atau relevansi (materi). Kesesatan (fallacia, fallacy)
merupakan bagian dari logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan
penalaran sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan karena ketidaktepatan
bahasa antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi yang salah sedangkan
ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh:(1) pemilihan premis yang tidak
tepat (membuat premis dari proposisi yang salah), atau (2) proses penyimpulan
premis yang tidak tepat (premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang
akan dicari).
Klasifikasi KesesatanDalam sejarah
perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan yang dalam
penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang dianggap baku hingga saat
ini belum disepakati para ahli, mengingat cara bagaimana penalaran manusia
mengalami kesesatan, sangat bervariasi, namun secara sederhana kesesatan dapat
dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan
material.Kesesatan FormalKesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan
karena bentuk (formal) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih.
DAFTAR PUSTAKA
R. G. Soekadijo, Logika Dasar:
Tradisional, simbolik, dan induktif, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm.
139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar