PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang
bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia
global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat
akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting
kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru
yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk
kepentingan kehidupan. Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul
sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi
baru sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi
begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia.
Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia
secara mendasar. Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai
dari para pakar ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata globalisasi tersebut
mengandung suatu pengetian akan hilangnya satu situasi dimana berbagai
pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas
dan terbuka dalam perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara
lain, yang masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola
konsumsi, pendidikan, nilai budaya dan lain-lain. Konsep akan globalisasi
menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan
peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi
global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia
dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran
dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya.
Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang.
Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau
menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian
lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia
dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Pengertian lain dari globalisasi
seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan
koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke
berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita.
Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global Globalisasi
adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia
yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan
masyarakat di belahan dunia yang lain.(A.G. Mc.Grew, 1992). Proses perkembangan
globalisasi pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi dan
komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi. Dari kemajuan
bidang ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Contoh sederhana dengan
teknologi internet, parabola dan TV, orang di belahan bumi manapun akan dapat
mengakses berita dari belahan dunia yang lain secara cepat. Hal ini akan
terjadi interaksi antarmasyarakat dunia secara luas, yang akhirnya akan saling
mempengaruhi satu sama lain, terutama pada kebudayaan daerah,seperti kebudayaan
gotong royong,menjenguk tetangga sakit dan lain-lain. Globalisasi juga
berpengaruh terhadap pemuda dalam kehidupan sehari-hari, seperti budaya
berpakaian, gaya rambut dan sebagainya
B.
Permasalahan
1.
Bagaimana sejarah wayang kulit di Indonesia?
2.
Pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan wayang
kulit?
3.
Cara menanggulangi pengaruh globalisasi terhadap
kebudayaan wayang kulit?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Melestarikan kebudayaan jawa khususnya wayang kulit
2.
Mengenalkan kebudayaan wayang kulit agar tidak
hilang
3.
Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap eksistensi
budaya wayang kulit
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH WAYANG KULIT
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni
peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat,
dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke
zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman
filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis
masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam
pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan
seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa
jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para
budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep
filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang
benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan
kejahatan.Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan
keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang
dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah
Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika
kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi
bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.
Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada
masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari
Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga
Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa
Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah
Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang
merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih
nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya
Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan
Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
B. PENGARUH
GLOBALISASI TERHADAP KEBUDAYAAN WAYANG KULIT
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari
nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social
merupakan salah satu
dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah
dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa
cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan
manusia secara menyeluruh.
Misalnya saja khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang
bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini
setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan lain-lain melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi
siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin
banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer
lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara
pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita.
Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negara-negara
penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi
budaya khususnya di negara ke tiga. Peristiwa transkultural seperti itu mau
tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian
tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu
dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang
semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran
hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika
dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa
menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari
berbagai belahan bumi.
Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian
tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan
pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi
kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat
dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial
yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan
globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian
yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai
tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua
kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih
menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus
tertindas proses modernisasi. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi
komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga
alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas.
Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni
pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya
saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang
Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal
ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian
tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan
salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya. Contoh
lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di
Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk
merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat
globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa
tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di
berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian
tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi. Di sisi lain, ada beberapa
seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi.
Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri
dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat,
misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang dipopulerkan ke layar kaca
oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak
sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan
dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk
pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah
terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain ketoprak masih ada
kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi
mutakhir yaitu wayang kulit.
Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki
Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya,
maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang
sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup
sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah
kebudayaan nasional kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan
eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan
pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan
tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa,
Museum Nasional.
C. CARA
MENANGGULANGI PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP BUDAYA WAYANG KULIT
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada
pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapat dikatakan
merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995) dalam bukunya
yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’,
mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif
mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur
tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak
ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks
kultural. Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku
aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana
banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai
dengan tuntutan pembangunan.
Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi
hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, aparat
pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan
dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan.
Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian
secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan
bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan. Dengan demikian,
kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai
untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsung
kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan
yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh dari permasalahan ini
dapat kita lihat, misalnya.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadap keaslian
dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, maka pemerintah
perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengayom
kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses
estetikanya. Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan
bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan
bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat
keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan
para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus ‘melakoni’
dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan
perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan
menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik.
Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium
baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus
beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui
bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat
besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya. Kontak budaya melalui
media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai
budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak
budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan
pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang
terlibat dalam proses ini.
Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai
macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan
pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan
lokal atau etnis. Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi
dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional
yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya
menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah,
dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan
pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih
sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian
yang bersangkutan.
Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan
lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat. Dengan demikian, tantangan
yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan
komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada
banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun
selera. Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat
dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan
kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk
mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman
rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan
pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan
pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk
pembangunan dalam bidang ekonomi saja.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang
negatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalam
kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuan
teknologi disertai nilai-nilai interinsik yang diberlakukan di dalamnya, telah
menimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan nilai baru
tentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion and
Western Though (1924) menyatakan “untuk pertama kalinya dalam sejarah umat
manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka
atau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah.
Artinya adalah bahwa antara barat dan timur tidak ada lagi perbedaan. Atau
dengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan asing.
Oleh karena itu perlu
dipertahanan aspek sosial budaya Indonesia sebagai identitas bangsa. Caranya
adalah dengan penyaringan budaya yang masuk ke Indonesia dan pelestarian budaya
bangsa. Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni tradisional menjadi
bagian dari kehidupan modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi
bentuk-bentuk seni yang masih berpolakan masa lalu untuk dijadikan komoditi
yang dapat dikonsumsi masyarakat modern salah
satunya adalah kesenian wayang kulit. Karena sebenarnya seni itu
indah dan mahal. Kesenian adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai
harganya dan tidak dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai
generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni
budaya kita demi masa depan anak cucu.
B. SARAN
Dari hasil pembahasan diatas, dapat dilakukan
beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya pergeseran kebudayaan yaitu :
1. Pemerintah
perlu mengkaji ulang perturan-peraturan yang dapat menyebabkan pergeseran
budaya bangsa
2. Masyarakat
perlu berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing khususnya
dan budaya bangsa pada umumnya
3. Para
pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita,
hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya
4. Masyarakat
perlu menyeleksi kemunculan globalisasi kebudayaan baru, sehingga budaya yang
masuk tidak merugikan dan berdampak negative.
5. Masyarakat
harus berati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh
globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang
merupakan jati diri bangsa kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuntowijoyo,Mizan.1997. Budaya
Elite dan Budaya Massa dalam Ecstasy Gaya Hidup. Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia.
Sapardi Djoko Damono.1997. Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil dalam
Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia.
Fuad,Hassan.
“Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”. Dalam http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm,
didownload 7/15/04.
Adeney, Bernard T. 1995. Etika Sosial Lintas
Budaya. Yogyakarta: Kanisius. Al-Hadar Smith, “Syariah dan Tradisi Syi’ah
Ternate”, dalam http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm
, didown load 7/15/04.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar