logika deduktif,
kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut
homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya
disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula
disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai
cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan
mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal,
menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah universal atau partikular.
Dapat juga dengan konotasi subyektif yang berlaku khusus atau obyektif yang
bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika
induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang
tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan
karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur
aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat
meragukan yang bertentangan dengan fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab
adalah antiseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup
meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikannya suatu kecenderungan
homogen, masih pula terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesalahan
juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru.
Kesalahan juga terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang
tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang
premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang
“salah” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar.
Berikut
macam – macam kesesatan atau kekeliruan dalam berpikir yang sering terjadi :
A. KEKELIRUAN
FORMAL
Adalah kesesatan
yang dilakukan karena bentuk penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih.
Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika
mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen. Macam – macam kesesatan formal
:
1.
Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena
Menggunakan Empat Term)
Kesesatan berfikir
karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term penengah
diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya tiga term.
Contoh :
Orang yang
berpenyakit menular harus diasingkan. Orang berpenyakit panu adalah
membuat penularan penyakit, jadi harus diasingkan.
2. Fallacy
of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak Mencakup)
Contoh :
Orang yang terlalu
banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak belajar.
3.
Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena
Proses Tidak Benar)
Kekeliruan berfikir
karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup.
Contoh
:
Kura-kura adalah
binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena iitu ia bukan binatang melata.
4.
Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan
Karena Menyimpulkan daru Dua Premis yang Negatif)
Kekeliruan berfikir
karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian
sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi.
Contoh :
Tidak satu pun
barang yang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak
murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.
5.
Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan
Karena Mengakui Akibat)
Kekeliruan berfikir
dalam silogisme hipoteka karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula
akibatnya.
Contoh :
Bila pecah perang
harga barang-barang baik. Sekarang harga naik, jadi perang telah pecah.
6.
Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena
Menolak Sebab)
Kekeliruan berfikir
dalah silogisme hipoteka karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa
akibat juga tidak terlaksana.
Contoh :
Bila datang elang
maka ayam berlarian, sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak berlarian.
7.
Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk
Disyungtif)
Kekeliruan berfikir
terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama,
kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran
alternative pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain.
Contoh
:
Dia lari ke Jakarta
atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung,berarti dia ada di Jakarta.(Dia
bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)
8.
Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena
tidak Konsisten)
Kekeliruan berfikir
karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui
sebelumnya.
Contoh :
Tuhan adalah Maha
kuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan lain yang lebih kuasa
dari Dia.
B.
KEKELIRUAN INFORMAL
1) Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan
Karena Membuat Generalisasi yang Terburu-buru)
Kekeliruan berfikir
karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari
kasus individual yang terlampau sedikit, sehinggga kesimpulan yang ditarik
melampau batas lingkungannya.
Contoh :
Dia orang Islam
mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat.
2)
Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena
Memaksakan Praduga)
Kekeliruan berfikir
karena menetapkan kebenaran suatu dugaan.
Contoh :
Seorang pegawai
datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa
istrinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahuinya selama ini
orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya
karena goresan besi pagar.
3)
Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan
Kerna Mengundang Permasalahan)
Kekeliruan berfikir
karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu
kebenarannya.
Contoh :
Surat kabar X
merupaka sumber informasi yang reliable, karena beritanya tidak pernah
basi. (Di sini orang hendak membuktikan bahwa surat kabar X memang merupakan
sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan pemberitaannya yang
up to date, tanpa dibuktikan pemberitaannya memang dapat diuji kebenarannya).
4)
Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena
Menggunakan Argumen yang Berputar)
Kekeliruan berfikir
karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan
premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya.
Contoh :
konomi Negara X
tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang
korupsi? Jawabnya karena ekonomi Negara kurang baik.
5)
Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena
Berganti Dasar)
Kekeliruan berfikir
karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya.Jadi mengambil
kesimpulan melompat dari dasar semula.
Contoh :
Ia kelak menjadi
mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya. Pantas ia cantik karena
pendidikannya tinggi. Bentuk tulisannya bagus, jadi ia
adalah anak yang pandai.
6)
Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan
Karena Mendasarakan pada Otoritas)
Kekeliruan berfikir
karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi
dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut.
Contoh :
Bangunan ini sungguh
kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (Dokter Haris adalah ahli
kesehatan, bukan insinyur bangunan).
7)
Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena
Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)
Kekeliruan berfikir
karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak
pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan: Kau masih juga membantah
pendapatku. Kau baru satu tahun duduk dibangku perguruan tinggi, aku sudah lima
tahun.
8)
Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang
Pribadi)
Kekeliruan berfikir
karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.
Contoh :
Jangan dengarkan
gagasan dia tentang konsep kemajuan desa ini. Waktu ia menjabat kepala desa di
sini ia menyelewengkan uang Bandes (Bantuan Desa).
9)
Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang
Tahu)
Kekeliruan berfikir
karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan
argumentasinya, dengna sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar.
Contoh :
Kalau kau tidak bisa
membuktikan bahwa hantu itu ada maka teranglah pendapatku benar, bahwa
hantu itu tidak ada.
10)
Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena
Pertanyaan yang Ruwet)
Kekeliruan berfikir
karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak.
Contoh :
Jam berapa kau
pulang semalam? (Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak
memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi).
11)
Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena
Alasan Terlalu Sederhana)
Kekeliruan berfikir
karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti.
Contoh :
Kendaraan buatan
Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya.
12)
Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena
Menetapkan Sifat)
Kekeliruan berfikir
karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat
itu tetap ada selamanya.
Contoh :
Daging yang kita
makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalag daging
mentah. Jadi hari ini kita makan daging mentah.
13)
Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan
Karena Argumen yang Tidak Relevan)
Kekeliruan berfikir
karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang
menjadi pokok pembicaraan.
Contoh :
Kau tidak mau
mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkau mau telanjang berangkat
ke perjamuan itu?
14)
Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena
Salah Mengambil Analogi)
Kekeliruan berfikir
karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi
sebenarnya berbeda secara mendasar.
Contoh :
Seniman patung
memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun memerlukan
bahan dalam menciptakan alam semesta.
15)
Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena
Mengundang Belas Kasihan)
Kekeliruan berfikir
karena menggunakan uarain yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan
konklusi yang diharapkan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan
uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain. Padahal
masalahnya berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasan inilah letak
kekeliruannya. Kekeliruan pikir ini sering digunakan dalam peradilan oleh
pembela atau terdakwa, agar hakim memberikan keputusan yang sebaik-baiknya,
seperti pembelaan Clarence Darrow, seorang penasihat hukum terhadap Thomas I
Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan criminal dengan
mengatakan sebagai berikut :
Saya sampaikan pada
anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi menyangkut
permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke
depan masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya
katakan pada anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi
sebelum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit
diteraingi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan dan kesenangnnya, bekerja
berat demi terselenggarakannya kemakmuran dan kebesaran, saya sampaikan pada
anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.
C.
KEKELIRUAN DALAM BAHASA
Setiap kata dalam
bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata dalam sebuah kalimat
mempunyai arti yang sesuai dengan keseluruhan arti kalimatnya. Maka, meskipun
kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut
dapat bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti
kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Berikut ini adalah beberapa
bentuk kesesatan karena penggunaan bahasa.
a.
Ekuivokasi
Adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Ekuivokasi terdiri dari dua macam, yaitu ekuivokasi verbal dan non verbal.
Adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Ekuivokasi terdiri dari dua macam, yaitu ekuivokasi verbal dan non verbal.
Contoh Ekuivokasi
verbal
Seorang pasien
berkebangsaan Malaysia memeriksakan diri kepada seorang dokter Indonesia.
Setelah diperiksa, dokter membeeri nasihat, “Ibu perlu menjaga makannya.” Sang
pasien bertanya, “Boleh saya makan ayam?” Sang dokter menjawab, “Bisa.” Sang
pasien bertanya, ”Boleh saya makan ikan?” Sang dokter menjawab, “Bisa.” Sang
pasien bertanya, ”Boleh saya makan sayur?” Sang dokter menjawab, “Bisa.” Sang
pasien merasa marah lalu membentak, ”Kalau semua bisa (beracun), apa yang saya
hendak makan???”
Yang jadi masalah di
sini adalah kata “bisa” yang berarti “dapat” dan yang juga berarti “racun
ular”.
b.
Ekuivokasi non – verbal
Menggelengkan kepala
umunya menunjukkan ketidak setujuan, namun di India menggelengkan kepala dari
satu sisi ke sisi yang lain menunjukkan kejujuran.
1. Amfibologi
(gramatikal)
Adalah
kesesatan yang dikarenakan konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga artinya
menjadi bercabang. Ini dikarenakan letak sebuah kata atau term tertentu dalam
konteks kalimatnya. Akibatnya timbul lebih dari satu penafsiran mengenai
maknanya, padahal hanya satu saja makna yang benar sementara makna yang lain
pasti salah.
Contoh
:
Ali
mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya!
Arti
1 : Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai
kekasih Ali.
Arti
2 : Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai
kekasih saya.
2.
Kesesatan Aksentuasi
Adalah kesesatan
ekuivokasi yang disebabkan perubahan aksentuasi atau tekanan. Perubahan dalam
tekanan terhadap suku kata dapat menyebabkan perubahan arti. Karena itu
kurangnya perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti
sehingga penalaran mengalami kesesatan. Terdiri dari dua macam yaitu aksentuasi
verbal dan non verbal.
Contoh :
·
Aksentuasi Verbal
Apel (buah) dan apel
bendera (menghadiri upacara bendera) Mental (kejiwaan) dan mental
(terpelanting) Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu)
·
Aksentuasi Non verbal
Pada kata “apa” dan
“ha”.Akan berbeda maknanya jika diucapkan dalam keadaan marah, menjawab
panggilan dan dalam keadaan bertanya.
c.
Metaforis
Disebut juga (fallacy
of metaphorization) adalah kesesatan yang terjadi karena pencampur-adukkan
arti kiasan dan arti sebenarnya. Artinya terdapat unsur persamaan dan sekaligus
perbedaan antara kedua arti tersebut. Tetapi bila dalam suatu penalaran arti
kiasan disamakan dengan arti sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis,
yang dikenal juga kesesatan karena analogi palsu.
Contoh :
Pemuda adalah
tulang punggung negara.
Penjelasan kesesatan : Pemuda
disini adalah arti sebenarnya dari orang-orang yang berusia muda,
sedangkan tulang punggung adalah arti kiasan karena negara tidak memiliki tubuh
biologis dan tidak memiliki tulang punggung layaknya mahluk vertebrata.
Ungkapan ini sering kali disengaja seperti yang terjadi dalam dunia lawak.
d. Komposisi
Adalah kesesatan yang terjadi dikarenakan menetapkan sifat yang ada pada suatu bagian untuk menyifati keseluruhannya.
Adalah kesesatan yang terjadi dikarenakan menetapkan sifat yang ada pada suatu bagian untuk menyifati keseluruhannya.
Contoh :
Setiap kapal perang
telah siap, maka keseluruhan angkatan laut Negara itu sudaH siap bertempur.
A.
Kesesatan Berpikir Deduktif
1. Kesesatan
Ekuivoka
Suatu kesesatan
karena anggapan bahwa kata-kata selalu dapat dipakai dalam pengertian yang sama
sedangkan sebenarnya terdapat ambiguitas. Kesesatan seperti ini dapat diatasi
dengan cara menyusun definisi secara hati-hati.
2. Kesesatan
Amfiboli
Amfiboli itu
merupakan kesalahan dalam susunan kalimat atau proposisi. Seluruh argument
terkena penafsiran ganda. Penafsiran ganda seperti itu menyebabkan ketidak
jelasan karena susunan kalimatnya begitu sulit dipahami. Untuk keraguan, sering
kali ditempuh jalan dengan membuat pertanyaan terhadap kalimat yang disusun itu.
3. Kesesatan
Komposisi
Kesesatan itu
mungkin sekali terjadi, bila kata atu sekumpulan kata yang disebut. Term di
dalam satu bagian dipandang “secar distributive”, dan pada bagian lain term sebagai akibatnya adalah bahwa uraian
penjelas yang disusun itu berangkat dari pola piker “masing-masing” atau
particular, dipergunakan secar distributive itu berfungsi sebagai proposisi
individual. Proposisi individual adalah suatu proposisi yang menyatakan masing
masing anggota suatu golongan dan secara individual.Sedangkan term “semua” itu
dipergunakan secara kolektif apabila dipergunakan untuk menyatakan seluruh
ataupun semua anggota golongan secara bersama-sama.
4. Kesesatan
dalam Pembagian
Kesesatan ini
berkebalikan dari kesesatan komposisi, yang telah dibicarakan di atas. Hal ini
bisa terjadi karena mempergunakan istilah atau pengertian dalam arti kolektif
pada sebuah proposisi, dan tetap saja mempergunakannya secara distributive pada
premis lain atau dalam suatu konskuens. Hal itu akan membawa akibat bahwa
uraian dari “semua” akan menjadi masing-masing atau dari universal ke
individual. Kesesatan ini karena orang menganggap apa yang benar bagi
keseluruhan, juga benar bagi setiap orang secara individual. Suatu kebenaran
yang berlaku bagi keseluruhan terjadi juga akan benar bagi bagian-bagiannya.
Sebaliknya terjadi pula apa yang tidak benar bagi keseluruhan juga dianggap
tidak benar bagi bagian-bagiannya.
5. Kesesatan
Aksentuasi
Semula berarti bahwa
kata-kata yang ambiguitas yaitu pengertiannya akan berbeda, bila aksen ataupun
tekanan dalam bicaranya berbeda pula. Sehingga aksen itu yang menyebabkan
ambiguitas.Anak-anak sering mengalami kesulitan dalam hal seperti ini. Agar
ambiguitas itu dapat dihindari, seharusnya diberikan porsi tekanan yang cukup
pada waktu pengucapannya, sehingga tidak ada yang luput dari perhatian.
Kesalahan terjadi pada pembicaraan verbal.
B. Kesesatan
Yang Bersifat Materiil
1.
Kesesatan Aksidensia
Aksidensia adalah
hal-hal yang ditambahkan ke dalam hal ang substansial (hakikat). Aristoteles
dengan teori 10 kategorialnya, mengajarkan tentang 1 substansi dan 9 aksidensia
bagi semua yang “ada”. Kesesatan ini biasa terjadi karena orang mengira bahwa
apa yagn dianggap benar dalam substansi itu, juga benar dalam aksidensinya atau
sifat sifastnya, maupun keadaan-keadaan yang eksistensinya secara kebetulan
(aksidensi). Sedangkan setiap subyek tertenu itu mempunyai cirri-ciri khusus
yang telah menjadi kodratnya sejak adanya eksistensi diri dan yang
membedakannya dengan subyek lain
2. Kesesatan
sebaliknya tentang aksidensia
Kesesatan terjadi
oleh karena kebenaran yang hanya kebetulan (aksidensia), dianggapnya sebagai
hal yang kebenarannya substansial.
3. Kesesatan
tentang Hal-hal yang Tidak Relevan
Kesesatan tentang
hal-hal yang tidak relevan sering kali disengaja guna membangkitkan emosi atau
mengalihkan perhatian seseorang ataupun sekelompok orang dari masalah yang
dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk memperdayakan lawan
bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tertapi faktanya justru
sangat kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Keterpedayaan seseorang atau
sekelompok orang itu karena memang sudah tidak tahu lagi bagaimana akan
membantah suatu pernyataan. Kesesatan itu dapat dibedakan atas :
a) Argumentum
Ad Hominem (ditujukan kepada orangnya)
b) Argumentum
Ad Populum (ditujukan kepada masyarakat, guna mempengaruhi pendapat umum)
c) Argumentum
Ad Mesericundiam (belas kasihan)
d) Argumentum
Ad Verecundiam (menggunakan ketenaran seseorang untuk pembenaran argument)
e) Argumentum
Ad Ignorantiam (pembuktian tanpa dasar, tetapi lawan bicara juga tidak dapat
membuktiakan sebaliknya).
f) Argumentum
Ad Baculum (berwujud suatu paksaan)
g) Kesesatan
Berdasarkan Anggapan yang Tidak Benar
Kesesatan
Karena Menganggap Bahwa Kebenarnnya telah terbukti Sering pula disebut sebagi
“petition principii” atau “fallacy of begging the question”. Ksesesatan ini
terjadi oleh karena tidak memberi bukti yang seharusnya diterangkan dalam
proses penalarannya. Pembicara hanya mengulang-ulangi pernyataannya itu dengan
kata-kata lain yang sama artinya.
Sangatlah disayangkan bahwa dengan demikian itu, ia yakin telah menciptakan
kemajuan-kemajuan dalam penalaran.
Kesesatan
karena sebab yang salah Tidak jarang kesesatan ini sulit dibedakan dengan
kesesatan dalam induksi, yang menyatakan “post hoc propter ohc”. Post hoc
propter artinya adalah sesuatu memang terjadi setelahnya, tetapi bukanlah
sebagai akibatnya. Kesesatan ini dapat terjadi, karena adanya anggapan, bahwa
lebih dari satu peristiwa yang terjadi secara berturut-turut, lalau dianggap
mempunyai hubungan sebab akibat.
Kesesatan
atas dasar konsekuens ataupun atas dasar nonsequitur Dalam pengertian yang luas,
nonesequitur itu bisa diartikan suatu argumen non-selogisme. Suatu kesimpulan
yang ditarik, tidak berdasarkan premis-premis,ataupun seandainya dari premis,
namun premisnya tidak relevan. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa
kesimpulan itu benar.Kesesatan berdasarkan pertanyaan yang kompleks Pengajuan
pertanyaan yang kompleks dan bersifat pancingan, sehingga jawabnnya dapat
mengandung salah satu pengakuan, atau juga mungkin dua-duanya sebagai
pengakuan, yang sebenarnya hal itu tidak dikehendaki oleh yang ditanyai. Hal
semacam itu sering kali dilakukan untuk merugikan dirinya dalam suatu
pemeriksaan.
C.
Kemungkinan Kesesatan Berpikir Induktif
1. Kesesatan
Dalam Pengamatan
Pengamatan yang
tidak lengkap Bahwa pengamatan yang telah dilakukan itu tidak lengkap memang
besar sekali peluangnya, hal itu sering kali disebabkan karena terbatasnya
waktu dan dana. Atau memang sengaja hanya memperhatikan hal-hal tertentu yang
relevan saja.Pengamatan yang tidak teliti Sering kali para ilmuwan menghadapi
jalan buntu dalam membenarkan cara kerja induktif yang akan diterapkan dalam
ilmu pengetahuan itu. Ketatnya logika deduktif dipakai oleh Popper untuk
memperlihatkan cara kerja ilmu alam yang
bentuk perjalanannya secara induktif. Dasarnya sederhana, yang dapat
dicontohkan sebagai berikut :
Ada beberapa sebab
mengapa pengamatan itu dapat disebut tidak teliti. Sebab-sebab ketidaktelitian
itu diidentifikasi sebagai sebab kejiwaan, sebab indrawi, sebab alamiah sebagai
obyek pengamatan, dan ditambah dengan pengotoran lapangan.
2. Kesesatan
Dalam Penggolongan
a. Penggolongan
yang tidak lengkap
b. Penggolongan
yang tumpang tindih
c. Penggolongan
yang campur aduk
3. Kesesatan
Dalam Penentuan Hipotesis
a) Hipotesis
yang meragukan Sebenarnya ada suatu keinginan bahwa di dalam menyusun hipotesis
itu, kita memperoleh kebebasan sebesar-sebesarnya, namun bila tidak
memperhatikan pedoman yang telah ditentukan, dapat mengakibatkan kekeliruan.
b) Hipotesis
yang bertentangan dengan fakta Hipotesis disusun sesuai dengan apa yang
benar-benar terjadi dan bukan spekulasi
4. Kesesatan-kesesatan
Dalam Penentuan Sebab
a. Post
Hoc Propter Hoc
Arti kalimat di atas
itu adalah bahwa sesuatu itu memang terjadi setelahnya, tetapi tidak disebabkan
olehnya. Hal itu menunjukkan bahwa tanpa ada panelitian yang cukup, kemudian
dengan tergesa-gesa telah mengambil kesimpulan. Sekalipun cara demikian itu
banyak juga dilakukan, tetapi tetap merupakan kesesatan. Bila ada 2 peristiwa
atau lebih terjadi secara berturut-turut maka tidak selamanya merupakan “sebab
akibat” dan tidak selamanya mesti “memiliki hubungan”.
b. Analisis
yang tidak cukup
Antedennya Untuk
mendukung suatu analisis agar mudah mendapat pengukuhan, haruslah dilakukan
dengan menyebutkan anteseden-anteseden secara lengkap dan mereduksi
factor-faktor yang tidak relevan. Bila tidak demikian maka kesimpulan yang
diambil tidak akan merupakan akibat atau tidak ditarik dari antesedennya.
c. Analisis
tanpa perbedaan-perbedaan
Bila membuat
analisis tentan perbedaan-perbedaan tetapi justru tidak mengemukakan
perbedaan-perbedaannya maka analisisnya tidak sah. Terutama bila menggunakan
metode ataupun perbandingan.
d. Keseiringan
untuk sementara yang kebetulan Hal-hal
yang terjadi secara seiring kali menimbulkan kesesatan dalam menafsirkan atau
dalam usaha untuk memahaminya. Kesesatan ini oleh karena tergoda oleh metode
berpikir sebab akibat.
e. Generalisasi
yang tergesa-gesa
Kesesatan ini
sebenarnya sederhana. Oleh karena hanya merupakan penyimpulan yang berkelebihan
dari yang dapat dijamin oleh bukti yang diajukan. Mungkin catatan peristiwa
atau faktanya belum tuntas tetapi telah menyusun kesimpulan secara final.
f. Kesesatan
Analogi
Kesesatan dalam
analogi itu banyak dilakukan oleh suku-suku primitive pada masa-masa silam.
Mereka belum mampu membedakan secara tajam barang-barang yang satu dengan yang
lainnya. Menurut logikanya, barang-barang yang serupa itu tidak ada satu sama
lain. Kesesatan itu akan tampak bila diterapkan penyusunan analogi tentang
sifat-sifat manusia.
5. Kesesatan
Dalam Statistik
a) Sampling
yang tidak mewakili populasi
Bentuk generalisasi
yang sangat tergesa-gesa dalam statistic adalah bentuk kesesatan utama.
Kesesatan ini terjadi karena sampling yang diambil tidak mewakili populasi,
sehingga generalisasinya juga tidak benar.
b) Penerapan
gejala individual yang tidak bersifat umum Kesesatan ini berwujud salah tafsir
statistic yang lazimnya berlaku bagi oran awam.
c) Kepercayaan
kepada statistic
Hasil perhitungan
statistic merupakan suatu ketelitian dan kecermatan serta mengikuti metode
analisis yang telah terbukti dan pasti. Stastik mempergunakan juga
istilah-istilah tertentu seperti : mean, penyimpangan, korelasi yang dapat
dipercaya dan pasti. Namun demikian statistic itu tidak dapat melepaskan diri
dari probalitas dan kadar sebenarnya menunjukkan suatu derajat kemungkinan
tertentu.
d) Kesesatan
korelasi secara kebetulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar