Senin, 25 November 2013

MAKALAH STATUS KEPEMILIKAN LAHAN PADA KAWASAN PANTAI DAN HUTAN MANGROVE



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari 17.508 buah pulau besar dan kecil yang secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai puluhan kilometer. Masing-masing kawasan pantai dan hutan mangrove pada pulau-pulau diatas memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia.
Diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di daerah pantai. Dari 64.439 desa di Indonesia, terdapat 4.735 desa yang dapat dikategorikan sebagai desa pantai. Bahkan, masyarakat yang bermukim di wilayah kota pantai sudah mencapai sekitar 100 juta orang.
Secara historis, penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk yang menguasai kawasan pantai di Indonesia dimulai oleh para pedagang/nelayan atau para penyiar agama yang sering berlayar baik dari negara lain maupun yang berpindah-pindah dari pulau yang satu ke pulau-pulau lainnya. Secara berangsur-angsur sebagian dari mereka menetap dan menguasai lahan pada kawasan pantai yang diantaranya berupa hutan mangrove. Sampai saat ini sulit untuk melakukan pendataan kepemilikan lahan di kawasan pantai, karena sejarah, kondisi sosial-budaya dan faktor lain yang mengakibatkan masyarakat tradisional penghuni pantai berpindah-pindah. Pada perkembangan kepemukiman masyarakat pantai tersebut, saat ini perubahan status fungsi dan kepemilikan kawasan pantai dan hutan mangrove di wilayah-wilayah pesisir dihadapkan pada masalah-masalah belum adanya pengaturan oleh pemerintah tentang status kepemilikan lahan, pengerukan dan reklamasi muara sungai dan pantai.
Pengetahuan tentang satus fungsi dan kepemilikan lahan pada kawasan pantai dan hutan mangrove sangat penting dalam mengupayakan koordinasi terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Berdasarkan perkembangan pembangunan wilayah perkotaan dan desa pantai, peruntukan dan kepemilikan lahan pada kawasan pantai dan hutan mangrove sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan tingkat peradaban masyarakat setempat. Oleh karenanya, perubahan-perubahan fungsi dari status kepemilikan lahan tersebut harus diluruskan dan didukung dengan penyempurnaan peraturan perundangan.
B. Permasalahan
1. Bagaimana Perubahan Kondisi Kawasan Pantai ?
2. Status Demografi Masyarakat Pantai ?
3.  Status Fungsi Dan Kepemilikan Lahan Pantai ?
4. Bagaimana Aspek Hukumnya ?
C. Manfaat Dan Tujuan
1.  Untuk Mengetahui Perubahan Kondisi Kawasan Pantai.
2. Untuk Mengetahuai Status Demografi Masyarakat Pantai.
3. Mengetahui Status Fungsi Dan Kepemilikan Lahan Pantai.
4. Untuk Mengetahui Aspek Hukumnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A. PERUBAHAN KONDISI KAWASAN PANTAI
Dengan 17.508 pulau dan garis pantai yang panjangnya 81.000 km, Indonesia memiliki kekayaaan sumberdaya alam yang tak terhitung. Proses perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove berlangsung baik secara alamiah maupun atas campur tangan manusia.
Berbagai bentuk bentang alam kawasan pantai, termasuk tipe hutan mangrove yang tumbuh di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi pasang surut perpaduan air sungai dan air laut yang mengandung garam. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis kawasan ini didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan kadang bercampur kerikil.
Ruang kawasan pantai merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan terletak diatas dan dibawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Sedangkan ruang lautan terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.
Pantai merupakan daerah datar, atau bisa bergelombang dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas, dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan air laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah (walking land atau walking vegetation) sesuai dengan pasang-surut air laut dan abrasi pantai atau pengendapan lumpur.
Secara umum dapat dimengerti bahwa bentuk/tipe kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran hutan mangrove tergantung kepada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berbagai kawasan pantai di Indonesia memiliki persamaan dan atau perbedaan atas faktor-faktor iklim, temperatur air, tingkat sedimentasi, tingkat pasang surut air, relief, pelindung dari pengikisan ombak dan angin, salinitas air dan sejarah geologis. Oleh karenanya, terdapat berbagai kemampuan lahan dan kesesuaian penggunaannya.
Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan hutan mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi pantai dan semakin berkurangnya luas hutan mangrove, yang secara fisik kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkannya berupa erosi pantai/abrasi, intrusi air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati serta musnahnya habitat dan satwa-satwa tertentu.
Masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove yang telah terdegradasi mengalami kemunduran tingkat ekonomi dan kesejahteraannya. Degradasi hutan mangrove dan rusaknya lingkungan kawasan pantai mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di desa-desa pantai. Hasil sensus penduduk tahun 1991 mencatat bahwa pada umumnya desa-desa pantai (kecuali wilayah perkotaan) adalah desa miskin.
Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak-tambak udang dan ikan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, Pantai Timur P. Sumatera, dan pantai-pantai di Sulawesi Selatan, biasanya berproduksi secara optimal hanya dalam periode lima tahun pertama. Setelah itu, tambak-tambak tersebut sudah tidak lagi produktif dan akhirnya cenderung dibiarkan terbengkalai menjadi lahan kritis.
Berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per tahun. Berdasarkan perkembangan data kawasan hutan mangrove yang terakhir (Proyek Inventarisasi Hutan Nasional, 1993), luas hutan mangrove pada tahun 1982 kurang lebih 4,25 juta hektar, dan pada tahun 1993, luas hutan mangrove tersebut tinggal 3,7 juta hektar.

Setelah timbulnya berbagai masalah akibat eksploitasi sumberdaya alam pada kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang, ikan hias, hutan mangrove, penyu serta jenis-jenis ikan yang dilindungi/langka, barulah disadari bahwa diperlukan upaya-upaya pengenalan, pemahaman, kesadaran dan kecintaan masyarakat pada lingkungan pantai dan ekosistem hutan mangrove, sehingga keinginan untuk mendayagunakan kawasan pantai dapat semakin tumbuh dan berkembang, tetapi tetap memperhatikan aspek keberlanjutan tersedianya sumber alamnya serta kelestarian lingkungan.
Mengingat sifat lingkungan kawasan pantai yang multifungsi dan tatanannya beraneka ragam, maka keterpaduan pengelolaan secara prinsip kesatuan lingkungan harus tetap dapat diselenggarakan dalam keseluruhan proses, dari tahap penelitian sampai tahap pelaksanaan dan pengawasan. Untuk itu, diperlukan adanya alat yang dapat memadukan kegiatan semua pihak terkait. Alat terbaik adalah adanya suatu perencanaan dan pengelolaan terpadu kawasan pantai dan hutan mangrove dengan jaringan informasi yang disusun secara menyeluruh dan cukup terperinci melalui penyediaan informasi yang akurat. Penyediaan informasi tersebut disertai dengan aplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi (GIS) kawasan pantai (daratan dan lautan) untuk pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pantai dan hutan mangrove secara lestari.
Untuk menterpadukan seluruh kegiatan di kawasan pantai dan hutan mangrove, telah dilakukan upaya pemerintah, seperti melengkapi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Pantai, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah dipaduserasikan dan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) dengan menyediakan informasi geografis melalui kegiatan-kegiatan yang telah diintegrasikan dengan Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP), Marine Resources Evaluation Project (MREP), Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP), Indonesia Coastal Environment Management Planning (CEMP) dan Indonesia Marine Biodiversity.
B. STATUS DEMOGRAFI MASYARAKAT PANTAI
Secara historis, berbagai suku di Indonesia seperti Bajo, Bugis, Banjar, Makasar, Mandar, Muna, Buton dan Jawa terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Dengan kapal "Pinisi"-nya masyarakat dari Sulawesi Selatan mengarungi berbagai selat, teluk, dan samudera. Keperkasaan mereka dapat dikenali dengan keberadaan suku-suku tersebut disepanjang garis-garis pantai dari pulau-pulau di Indonesia, Malaysia, Philipina, Australia, dan bahkan sampai ke Benua Amerika dan Afrika.
Suku Bajo memiliki kultur/budaya dengan membangun rumahnya terapung di kawasan pantai yang masih terpengaruh pasang dan surut air laut yang mendekati ruang lautan. Sedangkan suku Bugis, Mandar, Makasar, Muna dan Buton lebih suka tinggal di kawasan pantai yang lebih ke arah pantai-ruang daratan. Untuk membangun rumahnya, mereka menggunakan bahan-bahan kayu yang ditebang dari hutan mangrove. Walaupun mata pencaharian sebagian suku-suku tersebut sebagai pedagang, mereka tetap menghuni rumahnya yang terletak di kawasan pantai. Bagi mereka yang mata pencahariannya sebagai nelayan, penghidupannya sangat tergantung kepada kondisi perairan pantai dan keberadaan hutan mangrove sebagai tempat berpijahnya ikan dan udang.
Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk di wilayah pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Masyarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara subsisten dan tradisional kini sudah banyak yang berubah menjadi petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan peradaban manusia dari berbagai benua dan kepulauan yang dialami oleh masyarakat pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam pantai dan hutan mangrove. Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak hutan-hutan mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas suku-suku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk mengkonversi kawasan pantai dan hutan mangrove semakin meningkat.
C. STATUS FUNGSI DAN KEPEMILIKAN LAHAN PANTAI
Sejarah demografi suku-suku dan penyebaran penduduk di pesisir pantai di Indonesia merupakan kronologis awal pengelolaan dan penguasaan lahan pada kawasan itu. Secara turun-temurun masyarakat pantai menguasai lahan, baik penguasaan secara perorangan maupun adat. Sejak tahun 1982, sebagian daratan kawasan pantai dan hutan-hutan mangrove telah ditetapkan fungsi peruntukannya dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Berdasarkan TGHK tersebut, pembangian fungsi hutan meliputi : hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, hutan produksi yang dapat dikonversi dan areal peruntukan lainnya.
Berdasarkan konsepsi pendekatan terpadu didalam pengelolaan ruang kawasan pantai dan hutan mangrove, terdapat pembagian dua kelompok besar kawasan pantai, yaitu kawasan pantai berhutan (bervegetasi) dan kawasan pantai tak berhutan. Selanjutnya berdasarkan daya dukung dan daya topang masing-masing kelompok kawasan ini dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Yang termasuk didalam kawasan lindung adalah:
·      Hutan produksi terbatas
·      Hutan Lindung :
o  Kawasan lindung pantai/hutan lindung mutlak
o  Bantaran sungai dan jalur hijau sepanjang pantai dan sekeliling danau dan sekitar sumber air di wilayah pesisir
o  Kawasan pelindung pantai dari ancaman bencana alam
o  Lahan gambut pesisir yang peka akan degradasi lingkungan
·      Kawasan suaka alam dan suaka margasatwa
·      Kawasan konservasi alam lainnya, seperti :
o  Taman nasional
o  Taman hutan raya
o  Taman wisata alam
o  Cagar biosfir
o  Cagar budaya dan laboratorium lapangan
Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya.
Pengelolaan kawasan budidaya pantai tidak dapat dipisahkan dari status fungsi dan kepemilikan lahan pada kawasan tersebut. Pemberian hak atas tanah, baik yang dikuasai secara perorangan maupun yang dikuasai secara adat untuk lahan-lahan daratan yang tidak dipengaruhi pasang surut air laut lebih mudah diselesaikan, karena sudah diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan perundangan.
Lain halnya dengan kawasan pantai seperti bekas habitat mangrove dan pertambakan yang keberadaannya sangat labil dan dipengaruhi perpaduan air tawar dan air laut. Lahan-lahan semacam ini sulit ditelusuri kepemilikannya. Sebagai contoh, baru-baru ini di Irian Jaya ada fasilitas KPR rumah nelayan yang terapung. Masyarakat dapat memiliki rumah tersebut dengan mengangsurnya (kredit). Namun demikian developer rumah panggung di atas air tersebut mendapatkan kesulitan untuk pengurusan sertifikat tanahnya. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundangan yang mendukungnya.
Masalah lain, yang sangat menonjol adalah daratan-daratan di kawasan pantai tersebut bergerak secara labil dan tak terduga. Pergeseran daratan ini dapat diakibatkan oleh adanya tanah longsor atau adanya tanah timbul akibat sedimentasi seperti yang terjadi di pantai utara Jakarta dan hutan mangrove Cilacap.
Dalam usaha memanfaatkan tanah timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada "tanah" yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk "tanah", melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Adapula sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud "tanah". Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.
Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa yang dulu berkesan tenang dan tak terusik dan sangat alami itu, belakangan ini menunjukan perubahan yang sangat cepat. Sebagian arealnya tak lagi hanya menjadi milik penduduk setempat, yang umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, tetapi orang kota pun rupanya berminat mengubah wajah pantai-pantai itu. Sebagai contoh, di Pantai Utara Jawa sebelah barat yang membentang dari Pelabuhan Laut Merak sampai Taman Nasional Ujung Kulon, dengan panjang lebih dari 115 km itu, kini berbagai jenis kegiatan olah raga maupun wisata meramaikan kawasan tersebut. Disamping itu, deretan bangunan Villa, Cottage, dan hotel pun menghiasi sepanjang pantai. Keindahan pantai seolah-olah hanya menjadi milik penghuni bangunan-bangunan tersebut. Bahkan tempat tambat perahu nelayan pun sulit dicari.
D. Aspek Hukum
Lahan di kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik, dikuasai oleh negara dan digunakan sesuai peruntukan/fungsinya untuk kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan dari lahan negara menjadi lahan yang dilekati hak yang bukan tanah negara dapat ditempuh dengan proses pelepasan atau pembebasan hak sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria.
Peraturan yang secara khusus mengatur tanah timbul secara alami memang belum ada. akan tetapi, mungkin dapat digunakan PP No. 8/1953 yang mengatur tentang pengusahaan tanah-tanah negara, sebelum ada peraturan lain yang baru.
Peraturan tersebut mengatur hal-hal tentang benda-benda milik negara yang tidak bergerak, termasuk tanah-tanah negara. Didalam peraturan ini dicantumkan bahwa benda-benda yang tidak bergerak dan milik negara itu ada dibawah wewenang suatu Departemen, yang biaya pemeliharaannya dikeluarkan dari anggaran instansi yang bersangkutan. Tetapi, kemudian menjadi tidak jelas, kalau ada benda tidak bergerak milik negara, tetapi tidak ada Departemen yang menganggarkan pemeliharaannya.
Selain PP No. 8/1953 di atas, kiranya perlu juga diperhatikan UU No. 51/1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 1/1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 51/1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas.
Tanah timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Kalau ada yang menebangi pohon-pohon tetapi tidak langsung memanfaatkan tanahnya, orang tersebut dapat juga dituntut sebagai pelanggar hukum berdasarkan UU No. 5/967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Apabila sampai terjadi pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup, tuntutan dapat juga didasarkan UU No. 4/1982.
Reklamasi pantai yang sudah dilakukan di Jakarta selama ini memang belum menimbulkan masalah dalam hukum tanah positif. Sebab reklamasi tersebut belum dalam arti yang sebenarnya, yakni menimbun pantai untuk menciptakan daratan baru. Sebagian reklamasi yang dilakukan adalah memunculkan kembali daratan yang terkikis abrasi. Sehingga tanah timbul tersebut tetap sama dengan peta wilayah yang lama sebelum abrasi. Dan juga sebagian lain merupakan daerah rawa atau ekosistem mangrove yang kebetulan berstatus tanah negara.
Hal diatas akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat dilekati dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan oleh "Konvensi Hukum Laut PBB" yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 1985 adalah negara. Jadi, seluruh kawasan perairan laut Indonesia dikuasakan kepada Departemen Perhubungan untuk kepentingan pelayaran.
Masalah yang dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalah itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada. Kalau diurut tahap-tahap kemunculan tanah baru itu adalah sebagai berikut:
Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara.
Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP nomor 51 tahun 1993.
Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi.
Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.
Melihat dinamika pembangunan nasional saat ini, tidak berkelebihan jika dikatakan bahwa reklamasi pantai akan menjadi trend pengembangan wilayah kota di masa depan, setidaknya bagi kota-kota besar di Jawa yang berbatasan dengan laut. Tidak saja didorong oleh laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena dunia usaha akan lebih memiliki reklamasi pantai sebagai upaya mendapatkan lahan yang strategis, meski dengan investasi yang lebih tinggi.
Suatu saat Jawa, karena kepadatan penduduk dan aktivitas pembangunannya, akan menyerupai Singapura atau Hongkong yang terpaksa menimbun laut untuk menambah luas daratan. Karean itu, perlu diantisipasi sejak sekarang dengan menyiapkan peraturan perundangan yang relevan dengan trend demikian.
Sudah waktunya dirumuskan peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur kegiatan reklamasi/pengerukan Danau/Sungai serta seluruh aspek dan masalah terkait, agar dapat diberikan kepastian hukum terhadap pekerjaan yang begitu besar. Sebab, kepastian hukum, dalam hal ini hukum tanah, juga suatu syarat mutlak bagi kesuksesan pembangunan nasional.



BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus.
B. Saran
Penulis sadar bahwa makalah singkat ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak sisi yang belum dibahas tuntas oleh penulis. Hal ini mudah-mudahan menginspirasi para pembaca untuk membahas topik ini supaya lebih mendalam lagi. Status kepemilikan lahan pada kawasan pantai dan hutan mangrove merupakan ide penulis yang belum didukung oleh referensi yang mendalam. Ide ini dilatarbelakangi tanaman mangrove itu berperan sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus dan melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Mudah-mudahan selanjutnya penulis dan juga para pembaca bisa lebih memperjelas ide tersebut dengan disertai referensi yang mendukung.



DAFTAR PUSTAKA

Barlia, Lily. 2006. Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar. DEPDIKNAS DIKTI DIREKTORAT KETENAGAAN 2006
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/STS_MAngrove.HTM
http://titalama.wordpress.com/2010/10/07/esensi-pklh/
www.geogle.co.id



comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar