BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari 17.508 buah pulau besar dan kecil
yang secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km.
Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter
sampai puluhan kilometer. Masing-masing kawasan pantai dan hutan mangrove pada
pulau-pulau diatas memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan
keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan
faktor campur tangan manusia.
Diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan
bermukim di daerah pantai. Dari 64.439 desa di Indonesia, terdapat 4.735 desa
yang dapat dikategorikan sebagai desa pantai. Bahkan, masyarakat yang bermukim
di wilayah kota pantai sudah mencapai sekitar 100 juta orang.
Secara
historis, penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk yang menguasai kawasan
pantai di Indonesia dimulai oleh para pedagang/nelayan atau para penyiar agama
yang sering berlayar baik dari negara lain maupun yang berpindah-pindah dari
pulau yang satu ke pulau-pulau lainnya. Secara berangsur-angsur sebagian dari
mereka menetap dan menguasai lahan pada kawasan pantai yang diantaranya berupa
hutan mangrove. Sampai saat ini sulit untuk melakukan pendataan kepemilikan
lahan di kawasan pantai, karena sejarah, kondisi sosial-budaya dan faktor lain
yang mengakibatkan masyarakat tradisional penghuni pantai berpindah-pindah.
Pada perkembangan kepemukiman masyarakat pantai tersebut, saat ini perubahan
status fungsi dan kepemilikan kawasan pantai dan hutan mangrove di
wilayah-wilayah pesisir dihadapkan pada masalah-masalah belum adanya pengaturan
oleh pemerintah tentang status kepemilikan lahan, pengerukan dan reklamasi
muara sungai dan pantai.
Pengetahuan
tentang satus fungsi dan kepemilikan lahan pada kawasan pantai dan hutan
mangrove sangat penting dalam mengupayakan koordinasi terpadu dalam pengelolaan
wilayah pesisir secara berkelanjutan. Berdasarkan perkembangan pembangunan
wilayah perkotaan dan desa pantai, peruntukan dan kepemilikan lahan pada
kawasan pantai dan hutan mangrove sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi
biofisik, sosial ekonomi dan tingkat peradaban masyarakat setempat. Oleh
karenanya, perubahan-perubahan fungsi dari status kepemilikan lahan tersebut harus
diluruskan dan didukung dengan penyempurnaan peraturan perundangan.
B. Permasalahan
1. Bagaimana
Perubahan Kondisi Kawasan Pantai ?
2. Status
Demografi Masyarakat Pantai ?
3. Status Fungsi Dan Kepemilikan Lahan Pantai ?
4. Bagaimana
Aspek Hukumnya ?
C. Manfaat Dan
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Perubahan Kondisi Kawasan Pantai.
2. Untuk
Mengetahuai Status Demografi Masyarakat Pantai.
3. Mengetahui
Status Fungsi Dan Kepemilikan Lahan Pantai.
4. Untuk
Mengetahui Aspek Hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERUBAHAN
KONDISI KAWASAN PANTAI
Dengan
17.508 pulau dan garis pantai yang panjangnya 81.000 km, Indonesia memiliki
kekayaaan sumberdaya alam yang tak terhitung. Proses perubahan keadaan kawasan
pantai dan hutan mangrove berlangsung baik secara alamiah maupun atas campur
tangan manusia.
Berbagai
bentuk bentang alam kawasan pantai, termasuk tipe hutan mangrove yang tumbuh di
sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi pasang surut perpaduan air sungai
dan air laut yang mengandung garam. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan
wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis kawasan
ini didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan
yang masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut, dengan lebar yang ditentukan
oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan
lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan kadang bercampur kerikil.
Ruang
kawasan pantai merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang
lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan terletak diatas dan dibawah
permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut
terendah. Sedangkan ruang lautan terletak diatas dan dibawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian
bumi di bawahnya.
Pantai
merupakan daerah datar, atau bisa bergelombang dengan perbedaan ketinggian
tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang
bersifat lepas, dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah
(rawa). Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan
dengan air laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan
dapat berpindah (walking land atau walking vegetation) sesuai dengan pasang-surut
air laut dan abrasi pantai atau pengendapan lumpur.
Secara umum
dapat dimengerti bahwa bentuk/tipe kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan
penyebaran hutan mangrove tergantung kepada karakteristik biogeografi dan
hidrodinamika setempat. Berbagai kawasan pantai di Indonesia memiliki persamaan
dan atau perbedaan atas faktor-faktor iklim, temperatur air, tingkat
sedimentasi, tingkat pasang surut air, relief, pelindung dari pengikisan ombak
dan angin, salinitas air dan sejarah geologis. Oleh karenanya, terdapat
berbagai kemampuan lahan dan kesesuaian penggunaannya.
Berdasarkan
kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk
memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan
pantai dan hutan mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya
alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung
lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan
ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis
yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit
manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang
ditimbulkannya.
Dampak-dampak
lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi pantai dan
semakin berkurangnya luas hutan mangrove, yang secara fisik kerusakan-kerusakan
lingkungan yang diakibatkannya berupa erosi pantai/abrasi, intrusi air laut,
hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati serta
musnahnya habitat dan satwa-satwa tertentu.
Masyarakat
yang hidup di sekitar hutan mangrove yang telah terdegradasi mengalami
kemunduran tingkat ekonomi dan kesejahteraannya. Degradasi hutan mangrove dan
rusaknya lingkungan kawasan pantai mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan
ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di desa-desa pantai. Hasil
sensus penduduk tahun 1991 mencatat bahwa pada umumnya desa-desa pantai
(kecuali wilayah perkotaan) adalah desa miskin.
Hutan
mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak-tambak udang dan ikan di
sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, Pantai Timur P. Sumatera, dan pantai-pantai
di Sulawesi Selatan, biasanya berproduksi secara optimal hanya dalam periode
lima tahun pertama. Setelah itu, tambak-tambak tersebut sudah tidak lagi produktif
dan akhirnya cenderung dibiarkan terbengkalai menjadi lahan kritis.
Berkurangnya
luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per tahun. Berdasarkan
perkembangan data kawasan hutan mangrove yang terakhir (Proyek Inventarisasi
Hutan Nasional, 1993), luas hutan mangrove pada tahun 1982 kurang lebih 4,25
juta hektar, dan pada tahun 1993, luas hutan mangrove tersebut tinggal 3,7 juta
hektar.
Setelah
timbulnya berbagai masalah akibat eksploitasi sumberdaya alam pada kawasan
pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang, ikan hias, hutan
mangrove, penyu serta jenis-jenis ikan yang dilindungi/langka, barulah disadari
bahwa diperlukan upaya-upaya pengenalan, pemahaman, kesadaran dan kecintaan
masyarakat pada lingkungan pantai dan ekosistem hutan mangrove, sehingga
keinginan untuk mendayagunakan kawasan pantai dapat semakin tumbuh dan
berkembang, tetapi tetap memperhatikan aspek keberlanjutan tersedianya sumber
alamnya serta kelestarian lingkungan.
Mengingat
sifat lingkungan kawasan pantai yang multifungsi dan tatanannya beraneka ragam,
maka keterpaduan pengelolaan secara prinsip kesatuan lingkungan harus tetap
dapat diselenggarakan dalam keseluruhan proses, dari tahap penelitian sampai
tahap pelaksanaan dan pengawasan. Untuk itu, diperlukan adanya alat yang dapat
memadukan kegiatan semua pihak terkait. Alat terbaik adalah adanya suatu
perencanaan dan pengelolaan terpadu kawasan pantai dan hutan mangrove dengan
jaringan informasi yang disusun secara menyeluruh dan cukup terperinci melalui
penyediaan informasi yang akurat. Penyediaan informasi tersebut disertai dengan
aplikasi teknologi Sistem Informasi Geografi (GIS) kawasan pantai (daratan dan
lautan) untuk pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pantai dan hutan mangrove
secara lestari.
Untuk
menterpadukan seluruh kegiatan di kawasan pantai dan hutan mangrove, telah
dilakukan upaya pemerintah, seperti melengkapi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RUTRW) Pantai, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah dipaduserasikan
dan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) dengan menyediakan
informasi geografis melalui kegiatan-kegiatan yang telah diintegrasikan dengan
Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP), Marine Resources
Evaluation Project (MREP), Coral Reef Rehabilitation and Management Project
(COREMAP), Indonesia Coastal Environment Management Planning (CEMP) dan
Indonesia Marine Biodiversity.
B. STATUS
DEMOGRAFI MASYARAKAT PANTAI
Secara
historis, berbagai suku di Indonesia seperti Bajo, Bugis, Banjar, Makasar,
Mandar, Muna, Buton dan Jawa terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Dengan kapal
"Pinisi"-nya masyarakat dari Sulawesi Selatan mengarungi berbagai
selat, teluk, dan samudera. Keperkasaan mereka dapat dikenali dengan keberadaan
suku-suku tersebut disepanjang garis-garis pantai dari pulau-pulau di
Indonesia, Malaysia, Philipina, Australia, dan bahkan sampai ke Benua Amerika
dan Afrika.
Suku Bajo
memiliki kultur/budaya dengan membangun rumahnya terapung di kawasan pantai
yang masih terpengaruh pasang dan surut air laut yang mendekati ruang lautan.
Sedangkan suku Bugis, Mandar, Makasar, Muna dan Buton lebih suka tinggal di
kawasan pantai yang lebih ke arah pantai-ruang daratan. Untuk membangun
rumahnya, mereka menggunakan bahan-bahan kayu yang ditebang dari hutan
mangrove. Walaupun mata pencaharian sebagian suku-suku tersebut sebagai
pedagang, mereka tetap menghuni rumahnya yang terletak di kawasan pantai. Bagi
mereka yang mata pencahariannya sebagai nelayan, penghidupannya sangat
tergantung kepada kondisi perairan pantai dan keberadaan hutan mangrove sebagai
tempat berpijahnya ikan dan udang.
Berdasarkan
sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk di wilayah pesisir pantai,
keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara
besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan
perkembangan ekonomi. Masyarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara subsisten
dan tradisional kini sudah banyak yang berubah menjadi petani-petani tambak dan
pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi-tingginya.
Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan peradaban manusia dari
berbagai benua dan kepulauan yang dialami oleh masyarakat pantai Indonesia,
telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam pantai dan hutan mangrove. Masyarakat tersebut semakin
berantusias untuk merombak hutan-hutan mangrove menjadi tambak ikan dan udang.
Pengaruh aktivitas suku-suku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk
mengkonversi kawasan pantai dan hutan mangrove semakin meningkat.
C. STATUS FUNGSI DAN KEPEMILIKAN
LAHAN PANTAI
Sejarah
demografi suku-suku dan penyebaran penduduk di pesisir pantai di Indonesia
merupakan kronologis awal pengelolaan dan penguasaan lahan pada kawasan itu.
Secara turun-temurun masyarakat pantai menguasai lahan, baik penguasaan secara
perorangan maupun adat. Sejak tahun 1982, sebagian daratan kawasan pantai dan
hutan-hutan mangrove telah ditetapkan fungsi peruntukannya dalam Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK). Berdasarkan TGHK tersebut, pembangian fungsi hutan
meliputi : hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, hutan produksi yang
dapat dikonversi dan areal peruntukan lainnya.
Berdasarkan
konsepsi pendekatan terpadu didalam pengelolaan ruang kawasan pantai dan hutan
mangrove, terdapat pembagian dua kelompok besar kawasan pantai, yaitu kawasan
pantai berhutan (bervegetasi) dan kawasan pantai tak berhutan. Selanjutnya
berdasarkan daya dukung dan daya topang masing-masing kelompok kawasan ini
dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Yang termasuk
didalam kawasan lindung adalah:
·
Hutan produksi terbatas
·
Hutan Lindung :
o
Kawasan lindung pantai/hutan lindung
mutlak
o
Bantaran sungai dan jalur hijau
sepanjang pantai dan sekeliling danau dan sekitar sumber air di wilayah pesisir
o
Kawasan pelindung pantai dari
ancaman bencana alam
o
Lahan gambut pesisir yang peka akan
degradasi lingkungan
·
Kawasan suaka alam dan suaka
margasatwa
·
Kawasan konservasi alam lainnya,
seperti :
o
Taman nasional
o
Taman hutan raya
o
Taman wisata alam
o
Cagar biosfir
o
Cagar budaya dan laboratorium
lapangan
Pengklasifikasian
fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya
mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai
pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai.
Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada
pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya.
Pengelolaan
kawasan budidaya pantai tidak dapat dipisahkan dari status fungsi dan
kepemilikan lahan pada kawasan tersebut. Pemberian hak atas tanah, baik yang
dikuasai secara perorangan maupun yang dikuasai secara adat untuk lahan-lahan
daratan yang tidak dipengaruhi pasang surut air laut lebih mudah diselesaikan,
karena sudah diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan perundangan.
Lain halnya
dengan kawasan pantai seperti bekas habitat mangrove dan pertambakan yang
keberadaannya sangat labil dan dipengaruhi perpaduan air tawar dan air laut.
Lahan-lahan semacam ini sulit ditelusuri kepemilikannya. Sebagai contoh,
baru-baru ini di Irian Jaya ada fasilitas KPR rumah nelayan yang terapung.
Masyarakat dapat memiliki rumah tersebut dengan mengangsurnya (kredit). Namun
demikian developer rumah panggung di atas air tersebut mendapatkan kesulitan
untuk pengurusan sertifikat tanahnya. Hal ini dikarenakan belum adanya
peraturan perundangan yang mendukungnya.
Masalah
lain, yang sangat menonjol adalah daratan-daratan di kawasan pantai tersebut
bergerak secara labil dan tak terduga. Pergeseran daratan ini dapat diakibatkan
oleh adanya tanah longsor atau adanya tanah timbul akibat sedimentasi seperti
yang terjadi di pantai utara Jakarta dan hutan mangrove Cilacap.
Dalam usaha
memanfaatkan tanah timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada
"tanah" yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk
"tanah", melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Adapula
sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih
belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam
tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh
masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud "tanah".
Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian
yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.
Pantai Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa yang dulu berkesan tenang dan tak terusik dan
sangat alami itu, belakangan ini menunjukan perubahan yang sangat cepat.
Sebagian arealnya tak lagi hanya menjadi milik penduduk setempat, yang umumnya
bermata pencaharian sebagai nelayan, tetapi orang kota pun rupanya berminat
mengubah wajah pantai-pantai itu. Sebagai contoh, di Pantai Utara Jawa sebelah
barat yang membentang dari Pelabuhan Laut Merak sampai Taman Nasional Ujung
Kulon, dengan panjang lebih dari 115 km itu, kini berbagai jenis kegiatan olah
raga maupun wisata meramaikan kawasan tersebut. Disamping itu, deretan bangunan
Villa, Cottage, dan hotel pun menghiasi sepanjang pantai. Keindahan pantai
seolah-olah hanya menjadi milik penghuni bangunan-bangunan tersebut. Bahkan
tempat tambat perahu nelayan pun sulit dicari.
D. Aspek Hukum
Lahan di
kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik, dikuasai oleh negara dan digunakan
sesuai peruntukan/fungsinya untuk kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan
dari lahan negara menjadi lahan yang dilekati hak yang bukan tanah negara dapat
ditempuh dengan proses pelepasan atau pembebasan hak sebagaimana diatur dalam
UU Pokok Agraria.
Peraturan
yang secara khusus mengatur tanah timbul secara alami memang belum ada. akan
tetapi, mungkin dapat digunakan PP No. 8/1953 yang mengatur tentang pengusahaan
tanah-tanah negara, sebelum ada peraturan lain yang baru.
Peraturan
tersebut mengatur hal-hal tentang benda-benda milik negara yang tidak bergerak,
termasuk tanah-tanah negara. Didalam peraturan ini dicantumkan bahwa
benda-benda yang tidak bergerak dan milik negara itu ada dibawah wewenang suatu
Departemen, yang biaya pemeliharaannya dikeluarkan dari anggaran instansi yang
bersangkutan. Tetapi, kemudian menjadi tidak jelas, kalau ada benda tidak
bergerak milik negara, tetapi tidak ada Departemen yang menganggarkan
pemeliharaannya.
Selain PP
No. 8/1953 di atas, kiranya perlu juga diperhatikan UU No. 51/1960, tentang
larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak
memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 1/1960 melarang
penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih
berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud
tanah padat. Dengan adanya UU No. 51/1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang
mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti
tersebut di atas.
Tanah
timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Kalau
ada yang menebangi pohon-pohon tetapi tidak langsung memanfaatkan tanahnya,
orang tersebut dapat juga dituntut sebagai pelanggar hukum berdasarkan UU No.
5/967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Apabila sampai terjadi pencemaran ataupun
kerusakan lingkungan hidup, tuntutan dapat juga didasarkan UU No. 4/1982.
Reklamasi
pantai yang sudah dilakukan di Jakarta selama ini memang belum menimbulkan
masalah dalam hukum tanah positif. Sebab reklamasi tersebut belum dalam arti
yang sebenarnya, yakni menimbun pantai untuk menciptakan daratan baru. Sebagian
reklamasi yang dilakukan adalah memunculkan kembali daratan yang terkikis
abrasi. Sehingga tanah timbul tersebut tetap sama dengan peta wilayah yang lama
sebelum abrasi. Dan juga sebagian lain merupakan daerah rawa atau ekosistem
mangrove yang kebetulan berstatus tanah negara.
Hal diatas
akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah
hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat dilekati
dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan
oleh "Konvensi Hukum Laut PBB" yang telah diratifikasi Indonesia
dengan UU No. 17 Tahun 1985 adalah negara. Jadi, seluruh kawasan perairan laut
Indonesia dikuasakan kepada Departemen Perhubungan untuk kepentingan pelayaran.
Masalah yang
dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama
belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalah itu dapat dipecahkan dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada. Kalau diurut
tahap-tahap kemunculan tanah baru itu adalah sebagai berikut:
Pertama, berbentuk
laut yang dikuasai oleh negara.
Kedua,
direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu
dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP nomor 51 tahun 1993.
Ketiga, muncul
tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi
semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah
hasil reklamasi.
Setelah
tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas
tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang
ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang
mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.
Melihat
dinamika pembangunan nasional saat ini, tidak berkelebihan jika dikatakan bahwa
reklamasi pantai akan menjadi trend pengembangan wilayah kota di masa depan, setidaknya
bagi kota-kota besar di Jawa yang berbatasan dengan laut. Tidak saja didorong
oleh laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena dunia usaha akan lebih
memiliki reklamasi pantai sebagai upaya mendapatkan lahan yang strategis, meski
dengan investasi yang lebih tinggi.
Suatu saat
Jawa, karena kepadatan penduduk dan aktivitas pembangunannya, akan menyerupai
Singapura atau Hongkong yang terpaksa menimbun laut untuk menambah luas
daratan. Karean itu, perlu diantisipasi sejak sekarang dengan menyiapkan peraturan
perundangan yang relevan dengan trend demikian.
Sudah
waktunya dirumuskan peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur kegiatan
reklamasi/pengerukan Danau/Sungai serta seluruh aspek dan masalah terkait, agar
dapat diberikan kepastian hukum terhadap pekerjaan yang begitu besar. Sebab,
kepastian hukum, dalam hal ini hukum tanah, juga suatu syarat mutlak bagi
kesuksesan pembangunan nasional.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Mangrove
adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman dikotil
adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon mangga adalah contoh
pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon kelapa. Kelompok pohon
di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau
sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove
biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32°
Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Hutan
mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah
pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air
pasang dan surut. Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang
laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai
alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material
dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut
oleh arus.
B.
Saran
Penulis sadar bahwa makalah singkat
ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak sisi yang belum dibahas tuntas oleh
penulis. Hal ini mudah-mudahan menginspirasi para pembaca untuk membahas topik ini
supaya lebih mendalam lagi. Status kepemilikan lahan pada kawasan pantai dan hutan
mangrove merupakan ide penulis yang belum didukung oleh referensi
yang mendalam. Ide ini dilatarbelakangi tanaman mangrove
itu berperan sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan
menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai
dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus dan melindungi garis pantai
dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Mudah-mudahan selanjutnya penulis
dan juga para pembaca bisa lebih memperjelas ide tersebut dengan disertai
referensi yang mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Barlia,
Lily. 2006. Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar. DEPDIKNAS DIKTI
DIREKTORAT KETENAGAAN 2006
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/STS_MAngrove.HTM
http://titalama.wordpress.com/2010/10/07/esensi-pklh/
www.geogle.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar