BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sepuluh tahun sudah momentum reformasi
yang ditandai dengan mundurnya Suharto dan kursi presiden setelah bentahta 1,5
tahun pada kurun Pelita yang ke-7 menurut tarikh kekuasaan yang dibuatnya
sendiri, dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak juga beranjak
lebih maju. Pasca-gerakan reformasi 1998 kehidupan sosial—politik menjadi
riuh-rendah dan gegap gempita. Namun demikian, kehidupan sektor riil tidak
beranjak maju.
Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi 2
matra; yakni matra demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang
lebih bebas dan demokrasi partisipatif yang diletakan di matra pengambilan
kebjakan eksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh
mengasyikan. Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi
sebuah teladan demokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh
individu-individu wakil rakyat yang kita pilih metalui proses Pemilihan Umum.
Faktor kepentingan individu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak
yang lebih dominan di ranah proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk
menjamin hajat hidup rakyat. Setelah runtuhnya Sistem yang dibangun oleh masa
Pemerintahn Soeharto maka sitem yang dibuat juga lebih terbuka, dan pemilhan
legislatife pun dilakukan dengan pemilihan langsung begitu pun pemilhan kepala
daerah, dan terlihat pada tahun 2004. PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG sudah
menjadi konsensus politik nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah sistem politik di Indonesia?
2.
Bagaimana proses politik di Indonesia?
3. Bagaimanakah Pemilihan Kepala Daerah
dan Otonomi Daerah dalam Dinamika Teoretis?
4.Bagaimanakah Problem Pilkada Langsung
yang diselenggarakan di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan
pembentukan makalah ini antara lain :
1. Untuk
melengkapi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
2. Untuk
mengetahui kondisi perpolitikan di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui kebijakan-kebijakan perpolitikan yang ada di Indonesia.
4. Untuk
melatih kemampuan mahasiswa dibidang perpolitikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
SISTEM
POLITIK DI INDONESIA
A. SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA
Sejarah Sistem Politik Indonesia
bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi
diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di
dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar
menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena
sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa
dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian,
tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan
proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem,
pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Proses politik mengisyaratkan harus
adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk
menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam
menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik
zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal
abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan
pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance
level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat,
lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan
perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau
dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi
aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output
dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat
5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu
kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya
masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh
pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang
para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah
berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang
dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat
didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat
merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai
pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan).
Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka
dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan
pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi
diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. Kapabilitas simbolik, artinya
kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang
akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah
maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. Kapabilitas responsif, dalam proses
politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan
pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi
masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan
internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang
mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas
ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas
internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan
hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara
berkembang.
Ada
satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu
pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
1. Pembangunan politik masyarakat
berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan
masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan
di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau
tradisionalistik.
2. Pembangunan politik pemerintah berupa
stabilitas politik.
B. PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah
Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari
masa-masa berikut ini:
a. Masa prakolonian
b. Masa kolonial (penjajian)
c. Masa Demokrasi Liberal
d. Masa Demokrasi terpimpin
e. Masa Demokrasi Pancasila
f. Masa Reformasi
Masing-masing
masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
a.
Penyaluran
tuntutan
b.
Pemeliharaan
nilai
c.
Kapabilitas
d.
Integrasi
vertical
e.
Integrasi
horizontal
f.
Gaya
politik
g.
Kepemimpinan
h.
Partisipasi
massa
i.
Keterlibatan
militer
j.
Aparat
Negara
k.
Stabilitas
Bila
diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
Masa
prakolonial (Kerajaan)
Penyaluran
tuntutan – rendah dan terpenuhi
Pemeliharaan
nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
Kapabilitas
– SDA melimpah
Integrasi
vertikal – atas bawah
Integrasi
horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
Gaya
politik – kerajaan
Kepemimpinan
– raja, pangeran dan keluarga kerajaan
Partisipasi
massa – sangat rendah
Keterlibatan
militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
Aparat
negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
Stabilitas
– stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
Masa
kolonial (penjajahan)
Penyaluran
tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
Pemeliharaan
nilai – sering terjadi pelanggaran ham
Kapabilitas
– melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
Integrasi
vertikal – atas bawah tidak harmonis
Integrasi
horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
Gaya
politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
Kepemimpinan
– dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
Partisipasi
massa – sangat rendah bahkan tidak ada
Keterlibatan
militer – sangat besar
Aparat
negara – loyal kepada penjajah
Stabil
tapi dalam kondisi mudah pecah
Masa
Demokrasi Liberal
Penyaluran
tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
Pemeliharaan
nilai – penghargaan HAM tinggi
Kapabilitas
– baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
Integrasi
vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
Integrasi
horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
Gaya
politik – ideologis
Kepemimpinan
– angkatan sumpah pemuda tahun 1928
Partisipasi
massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
Keterlibatan
militer – militer dikuasai oleh sipil
Aparat
negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
Masa
Demokrasi terpimpin
Penyaluran
tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
Pemeliharaan
nilai – Penghormatan HAM rendah
Kapabilitas
– abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
Integrasi
vertikal – atas bawah
Integrasi
horizontal – berperan solidarity makers,
Gaya
politik – ideolog, nasakom
Kepemimpinan
– tokoh kharismatik dan paternalistik
Partisipasi
massa – dibatasi
Keterlibatan
militer – militer masuk ke pemerintahan
Aparat
negara – loyal kepada negara
Masa
Demokrasi Pancasila
Penyaluran
tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
Pemeliharaan
nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
Kapabilitas
– sistem terbuka
Integrasi
vertikal – atas bawah
Integrasi
horizontal – Nampak
Gaya
politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
Kepemimpinan
– teknokrat dan ABRI
Partisipasi
massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
Keterlibatan
militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
Aparat
negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
Stabilitas
stabil
Masa
Reformasi
Penyaluran
tuntutan – tinggi dan terpenuhi
Pemeliharaan
nilai – Penghormatan HAM tinggi
Kapabilitas
–disesuaikan dengan Otonomi daerah
Integrasi
vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
Integrasi
horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
Gaya
politik – pragmatik
Kepemimpinan
– sipil, purnawiranan, politisi
Partisipasi
massa – tinggi
Keterlibatan
militer – dibatasi
Aparat
negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
C. Pemilihan Kepala Daerah dan Otonomi Daerah dalam Dinamika Teoritis
Hampir
di semua negara, politik Iokal memiliki keterkaitan dengan otonomi daerah.
Sebagaimana didefinisikan oleh Mawhood otonomi daerah merupakan “a Freedom
which is assumed by local government in both making and implementing its own
decision” (Mawhood, 1985). Kebebasan yang dimiliki oleh daerah untuk membuat
dan mengimplementasikan sendiri keputusannya adalah hakekat dan otonomi daerah.
Dalam kandungan pengertian ini daerah memiliki kebebasan politik lokal untuk
untuk menentukan cara memilih wakil-wakilnya baik di legislatif (sebagai
councilor) maupun di eksekutif (sebagai mayor). Tentu saja setiap daerah
menikmati kebebasan yang berada dalam koridor kebijakan pemerintah pusat.
Terlebih dalam Negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh daerah bukanlah
suatu yang original, melainkan pemberian dan pemerintah pusat. Esensi pemberian
otonomi sebagaimana dimaksud oleh Mawhood tidaklah sekadar memenuhi ruang
administratif, lebih dan otonomi daerah dalam pengertian mi memiliki makna
politik, khususnya dalam konteks politik lokal. Berbeda dengan politik
nasional, politik ditingkat lokal adalah sesuatu yang khas oleh karena setiap
daerah memiliki ciri-ciri dan kharakteristik yang berbeda, danjuga kedekatan
hubungan antara pemilih (constituent) dengan wakilnya (elected). Kebebasan
untuk membuat peraturan dan melaksanakan keputusan tersebut dapat dilakukan
baik secara langsung dalam demokrasi Iangsung (plebiscite democracy) maupun dalam
demokrasi tidak langsung (representative democracy). Pilihan mana terhadap
kedua bentuk demokrasi tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dan karakter
otonomi daerah. Lebih-Iebih dalam suatu negara federal, municipal, city, dan
commune sangat menikmati otonomi yang dimilikinya untuk memilih apakah
penyelenggaraan pemenintahan dilakukan secara perwakilan atau secara langsung. Dalam
khasanah literatur pemerintahan daerah (local government), representasi
kepentingan masyarakat lokal seringkali sudah menjadi kesepakatan terhadap
esensi demokrasi lokal dan regional yang modern (Norton, 1993). Kepentingan
masyarakat lokal dilakukan oleh waki-wakil rakyat yang dipilih secara
demokratis. Dengan pengecualian Swiss, di mana demokrasi langsung melalui
referendum telah hidup dan berakar dalam politik lokal masyarakatnya.
Sistem
partai politik di tingkat lokal pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu multy
party system yang dicerminkan oleh keberadaan banyak partai dan bahkan di
Negara-negara federal dimungkinkan hidupnya partai lokal yang tidak memiliki
hubungan dengan salah satu partai di tingkat nasional dan single party system.
Dalam single party system, biasanya partai politik di tingkat lokal dikuasai
oleh satu partai politik yang memiliki hubungan atau merupakan perwakilan dan
salah satu partai politik di tingkat nasional. Di negara-negara berkembang
keterkaitan partai lokal terhadap partai nasional seringkali menyebabkan
kooptasi kebebasan partai politik di tingkat lokal. Hal ini dilakukan melalui
intervensi terhadap calon-calon kepala daerah dan anggota-anggota DPRD. Terkait
dengan masalah partai politik di tingkat lokal adalah apakah calon kepala
daerah atau anggota DPRD hanya dapat dicalonkan melalui partai politik atau
dapat juga dicalonkan secara independent. Pemilihan langsung Kepala Daerah
diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala Daerah sekaligus mengurangi
intenvensi DPRD agar “transaksi politik” yang melahirkan “money politics” dapat
diminimalisasi. Melalui cara ini, diharapkan praktek money politics yang
terjadi di daerah selama ini dapat diperkecil. Meskipun demikian, berkurangnya
praktek money politics dan penguatan local democracy adalah dua hal yang
berbeda. Di negara-negara demokrasi modern, pemilihan langsung kepala daerah
(mayor, Oberbuergermeister) dimaksudkan sebagai salah satu instrumen untuk
memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Masyarakat
menentukan dan memilih secara langsung kepala daerahnya. Di beberapa
negara-negara berkembang, praktek pemiihan Iangsung kepala daerah dan pemisahan
kekuasaan antara kepala daerah dan DPRD justru menjadi penyebab kasus-kasus
korupsi dan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala daerah
tidak akuntabel terhadap DPRD. Pada sisi llainnya, masyarakat (baik individual
maupun kolektif) sebagai pemilih belum berperan secara efektif dalam
pengawasan. Evaluasi kinerja kepala daerah hanya dilakukan dalam kurun waktu 5
tahun, saat dilakukan pemilihan berikutnya. Faktor penting lainnya yang
berkontribusi sebagai penyebab bad governance adalah ciri-ciri elit politik
lokal di Negara berkembang yang disebut oleh Crook dan Manor sebagai close knit
power. Elite politik lokal tersebut selalu berupaya untuk mempertahankan
posisinya dan menutup rapat-rapat semua pintu bagi masuknya oposisi dan
elit-elit di luar lingkar kekuasaan. Segala cara akan diupayakan untuk
mempertahankan status quo, sekalipun melalui cara-cara yang ilegal dan tidak
etis. Pada sisi lainnya, ciri-ciri elite close knit power adalah hubungan yang
erat antara sektor publik dan sektor bisnis dalam pembuatan kebijakan,
pemberian lisensi dan penyediaan barang dan jasa. Praktek yang seringkali
muncul adalah upaya membeli suara rakyat dengan iming-iming uang dan kèkuasaan
(money politics). Biaya mahal (high cost) dalam proses pemilihan harus dibayar
mahal pula dengan cara semaksimal mungkin untuk memenangkan pertarungan dalam
pemilihan. Dalam perjalanan pemerintahan Seorang kepala daerah, transaksi
politik yang melibatkan uang dan kekuasaan ekonomi pada proses pemilihan harus
dibayar dengan tender-tender proyek yang koruptif, nepotis dan kolutif. Semua
itu harus dibayar oleh uang rakyat yang dilegalisasi oleh mandat yang diperoleh
secara legitimatif dan langsung dan rakyat. Pada sisi lainnya, pengawasan yang
dilakukan oleh local council (DPRD) menjadi lemah karena kepala daerah tidak
bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala Daerah bertanggungjawab dan memegang
mandat langsung dan dan kepada rakyat. Bahkan di Indonesia, kepala daerah yang
dipilih langsung oleh rakyat bertanggungjawab kepada pemerintah pusat, bukan
kepada rakyat. Kepala daerah hanya memberikan informasi pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan kepada rakyat. Sedangkan kepada DPRD hanya
memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban. Karena kepala daerah tidak
akuntabel kepada DPRD, maka peran DPRD sebagai lembaga pengawas menjadi emah.
Dalam kasus Indonesia, DPRD dapat menjatuhkan kepala daerah hanya melalui cara
dan proses yang sangat sulit atas dasar pelanggaran hukum pidana, meluasnya
krisis kepercayaan masyarakat, tindakan makar, dan tidak terpenuhinya lagi
syarat-syarat administratif yang ditetapkan. Seorang kepala daerah tidak bisa
dijatuhkan atas dasar rendahnya kinerja dan tidaktercapainya program- program
pembangunan yang telah ditetapkan.
Masih
dalam konteks Indonesia, kelemahan praktek pemilihan langsung kepala daerah
terletak pada tertutupnya kemungkinan calon independen untuk mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, proses pencalonan kepala daerah harus
melalui partal politik.Tanpa partai politik, calon lokal yang populer dan
disukai masyarakat untuk menjadi kepala daerah tidak mungkin dapat mencalonkan
diri. Praktek buruknya adalah “penyewaan” partai politik tertentu sebagal
kendaraan bagi seorang calon independen untuk mencalonkan din. Harga kendaraan
partai politik juga bervariasi, tergantung dan tingkat suara yang dimiliki di
DPRD dan konfigurasi politik yang ada di daerah. Harga kendaraan politik dapat
benvariasi antar 3-20 Milyar rupiah untuk pencalonan sebagai gubernur atau 3-10
Milyar rupiah untuk Bupati/Walikota. Biaya mi akan semakin mahal jika partai
politik tersebut merupakan partai mayoritas di DPRD yang dapat melakukan
tekanan-tekanan politik dalam masa pemenintahan seorang kepata daerah, terutama
untuk persetujuan Rencana Anggaran dan Belanja Daerah. Meskipun praktek
pemilihan langsung kepala daerah di beberapa negara menunjukkan hasil yang
negatif, beberapa ahIi politik dan pemerintahan daerah masih menganggap
pentingnya pemilihan Iangsung kepala daerah. Ada beberapa argumen mengapa
pemilihan kepala daerah secara langsung dapat memperbaiki kualitas demokrasi
dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Hans, 2005:2). Pertama,
pemilihan langsung untuk memutus mata rantai oligarki partai yang mewarnai
partai-partai di DPRD saat ini. Oligarki partai ini seringkai dijadikan sebagai
alasan kepentingan sekelompok kecil orang mengatasnamakan masyarakat. Hal ini
yang menyebabkan politisasi kepentingan publik oleh partai-partai politik agar
kepentingannya dapat dipenuhi oleh kepala daerah terpilih. Kedua, pemilihan
langsung kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas
para elite politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Pemilihan secara tidak
angsung melalui DPRD cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala-kepla
daerah. Ketergantungan ini menyebabkan kepala daerah merasa lebih bertanggung
jawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Dampak lebih jauh adalah
terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta politik uang antara para
CaIon kepala daerah dan anggota DPRD dalam proses pemilihan dan
pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Itu sebabnya proses pemilihan dan
pertanggungjawaban kepala daerah secara tidak langsung seringkali disertai
dengan “konsesi” tertentu berupa p0- litik uang dan “proyek-proyek jatah”
(Indonesian Corruption Watch, 2005 dan Transparansi International Indonesia,
2005).
Alasan ketiga pemilihan langsung kepala daerah adalah stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Proses pemecatan yang sangat diwarnai oleh kepentingan politik seringkali menyebabkan Iayak menjadi pemimpinnya di tingkat lokal. Calon yang dikenal dan sudah diketahui kemampuan dan kredibilitasnya akan mendapatkan kesempatan untuk dipilih oleh masyarakat. Sebaliknya calon yang berasal dan pusat dan tidak dikenal oleh masyarakat tentu saja dapat berkompetisi dengan resiko kegagalan yang tinggi.
Alasan ketiga pemilihan langsung kepala daerah adalah stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Proses pemecatan yang sangat diwarnai oleh kepentingan politik seringkali menyebabkan Iayak menjadi pemimpinnya di tingkat lokal. Calon yang dikenal dan sudah diketahui kemampuan dan kredibilitasnya akan mendapatkan kesempatan untuk dipilih oleh masyarakat. Sebaliknya calon yang berasal dan pusat dan tidak dikenal oleh masyarakat tentu saja dapat berkompetisi dengan resiko kegagalan yang tinggi.
D. Problem Pilkada
Langsung yang diselenggarakan
Polemik
mengenai pemilihan Iangsung kepala daerah (Pilkada) muncul kembali. Jika pada
pembahasaan naskah akademik UU. 32 tahun 2004 polemik tersebut berkait dengan
pertanyaan apakah Pilkada Iangsung dapat meredam praktek politik uang yang
terjadi selama tahun 2001-2004, maka pada saat itu debat tersebut terarah pada
biaya pilkada yang sangat mahal. Pun hasil Pilkada jauh dari harapan kualitas
politik yang diharapkan. Ketua Umum NU, K.H. Hasyim Muzadi (Kompas, 26/01/07),
bahkan mengusulkan untuk menghapus Pilkada Iangsung. Beberapa waktu sebelumnya,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritisi mahalnya biaya demokrasi melalui Pilkada
selama lima tahun dan Pemilu 2009 yang akan mencapai 200 Trilyun. Haruskah kita
menghapus Pilkada? Pemilihan Iangsung kepala daerah adalah instrumen untuk
mening katkan participatory democracy. Melalui pilkada masyarakat memilih Iangsung
kepala daerahnya yang dianggap paling baik dan memenuhi semur unsur yang
diharapkan. Karena sesungguhnya demokrasi itu bersifat lokal, maka salah satu
tujuan pilkada adalah untuk memperkuat legitimasi demokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, dalam praktek di negara-negara lain, keberhasilan pilkada
langsung tidaklah berdiri sendiri tetapi juga ditentukan oleh kematangan dan
kesiapan partal politik dan aktor politik, budaya politik yang tumbuh di
masyarakat, serta kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada.
Kondisi politik lokal yang sangat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik
masyarakat yang rendah, serta jeleknya sistem pencatatan kependudukan dan
penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) seringkali menyebabkan
kegagalan tujuan pilkada langsung.
Hal ini pulalah yang membuat Manor dan Crook (1998), berdasarkan hasH penelitiannya, menyebutkan bahwa dalam banyak hat pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan yang tegas antara mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah karakter elit lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang yang rendah, serta tidak adanya pengawasan yang terus-menerus DPRD terhadap kepala daerah. Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dan data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi Pilkada telah menyebabkan praktek politik uang dalam Pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem Pilkada diperberat dengan kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan kepada kita betapa sulitnya menghasilkan pilkada yang berkualitas dan diterima semua pihak. Tuntutan untuk menghapus Pilkada langsung bukanlah tidak beralasan. Sangat sederhana memang alasan tersebut; biaya Pilkada terlalu mahal dengan kualitas hasil pilkada yang tidak maksimal. Hal ini merupakan problem klasik transfer suatu sistem dan negara maju dengan infrastruktur sosial politik yang sudah terbentuk, ke dalam negara-negara berkembang dengan sistern yang masih tradisional. Di negara-negara demokrasi modern yang merniliki tradisi pernilihan Iangsung, penyelenggaraan pernilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkrit, Pilkada langsung di negara-negara tersebut dilakukan oleh Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan yang memadai. Ada dua manfaat efisiensi yang bisa diperoleh dengan cara tersebut; pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar khusus hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi sangat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan mulai dan pendaftaran pemilih sampai penetapan pemenang. Kedua, Pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula, sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk menyelenggarakannya. Di Indonesia, biaya pilkada menjadi sangat mahal, karena Pilkada merupakan pesta akbar, dan harus dibiayai secara khusus pula. Mulai dan pendaftaran ulang yang seringkali tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan pencoblosan yang berulang setiap pemilihan, sampai pada kampanyejor-joran yang hanya dilakukan oleh parpol dan calon menjelang pilkada. Dengan kata lain, pilkada adalah “proyek besar” yang harus dibiayai dengan anggaran yang besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada semacam itu. Logika berpikir proyek dalam Pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran para penyelenggara Pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, sebuah pesta biasa, bukan pesta besar dengan anggaran besar. Dalam jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan sebagai penyeIenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik dan juga masyarakat pemilih.
Hal ini pulalah yang membuat Manor dan Crook (1998), berdasarkan hasH penelitiannya, menyebutkan bahwa dalam banyak hat pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan yang tegas antara mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah karakter elit lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang yang rendah, serta tidak adanya pengawasan yang terus-menerus DPRD terhadap kepala daerah. Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dan data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi Pilkada telah menyebabkan praktek politik uang dalam Pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem Pilkada diperberat dengan kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan kepada kita betapa sulitnya menghasilkan pilkada yang berkualitas dan diterima semua pihak. Tuntutan untuk menghapus Pilkada langsung bukanlah tidak beralasan. Sangat sederhana memang alasan tersebut; biaya Pilkada terlalu mahal dengan kualitas hasil pilkada yang tidak maksimal. Hal ini merupakan problem klasik transfer suatu sistem dan negara maju dengan infrastruktur sosial politik yang sudah terbentuk, ke dalam negara-negara berkembang dengan sistern yang masih tradisional. Di negara-negara demokrasi modern yang merniliki tradisi pernilihan Iangsung, penyelenggaraan pernilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkrit, Pilkada langsung di negara-negara tersebut dilakukan oleh Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan yang memadai. Ada dua manfaat efisiensi yang bisa diperoleh dengan cara tersebut; pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar khusus hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi sangat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan mulai dan pendaftaran pemilih sampai penetapan pemenang. Kedua, Pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula, sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk menyelenggarakannya. Di Indonesia, biaya pilkada menjadi sangat mahal, karena Pilkada merupakan pesta akbar, dan harus dibiayai secara khusus pula. Mulai dan pendaftaran ulang yang seringkali tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan pencoblosan yang berulang setiap pemilihan, sampai pada kampanyejor-joran yang hanya dilakukan oleh parpol dan calon menjelang pilkada. Dengan kata lain, pilkada adalah “proyek besar” yang harus dibiayai dengan anggaran yang besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada semacam itu. Logika berpikir proyek dalam Pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran para penyelenggara Pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, sebuah pesta biasa, bukan pesta besar dengan anggaran besar. Dalam jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan sebagai penyeIenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik dan juga masyarakat pemilih.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sejarah Sistem Politik Indonesia
bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi
diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam melakukan analisis sistem
bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian.
Kapabilitas sistem adalah kemampuan
sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai
keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar
politik.
Pemilihan Kepala Daerah Langsung sudah
menjadi konsensus politik nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil.
B.
Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan
yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan
buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA”.
Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai
sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufran, M. Kordi K, 2007. Ironi
Pembangunan (Beberapa Catatan Kritis dan Refleksi). Jakarta Timur: PT Perca.
Putra, N., 1993. Pemikiran Soedjatmoko
Tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Seodjatmoko,
Jakarta.
Geventa, John, dkk, 2008. Demokrasi
Deliberatif yang Mensejaterahkan (upaya Revitalisasi Demokrasi Lokal). Jakarta:
Panitia Nasional Kaukus 17++.
Duverger, Maurice, 2005. Sosiologi
Politik Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu social.
Windhu, I.M., 1992. Kekuasaan dan
Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar