BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
The Rule of Law adalah adanya
peran peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap
segala kasus hukum yang terjadi dalam suatu negara. Pada prinsipnya Indonesia
harus menyelesaikan segala persoalan hukum melalui proses hukum, termasuk
penegakan hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh UUD 1945.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam Anis Ibrahim, komunitas hukum Indonesia yang
diharapkan mampu memposisikan diri sebagai pencerah justru masih lamban dalam
menangkap dan menyelesaikan segala persoalan hukum yang begitu komplek, hal
tersebut berimplikasi terhadap lambannya penegakkan hukum.
Para penegak
hukum tidak bisa secara penuh dipersalahkan dalam keterpurukan hukum yang di
alami bangsa Indonesia , karena keterpurukan hukum saat ini sebagai akibat dari
tidak optimalnya berbagai komponen dalam sistem hukum (legal structure, legal
substance, legal culture) serta yang terpenting adalah masih rendahnya
kesadaran hukum dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Sebagai satu-satunya lembaga peradilan
yang memiliki fungsi untuk mengawal konstitusi, MK selayaknya berwenang untuk
memutus Constitutional Complaint (pengajuan
perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrumen
hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur
penyelesaian hukum/peradilan) yang diajukan perorangan (individu) warga negara
yang merasa hak-hak konstitusionalnya (constitutional
rights atau basic rights) dirugikan oleh keputusan suatu institusi negara,
baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal ini dimaksudkan bahwa hak
dasar atau hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara tidak bisa
dikurangi atau diganggu sedikitpun, baik oleh individu, kelompok, bahkan oleh
negara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa asas yang harus
dihormati dalam penyelidikan?
2.
Apa tujuan utama penyidikan?
3.
Setelah
tahap apa memeriksaan perkara pidana dipengadilan dilakukan?
4.
Sistem
pembuktian apa yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana?
C.
Manfaat dan Tujuan
Dari pembuatan
makalah ini, manfaat dan tujuan adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
mengetahui proses peradilan pidana,
2. Dapat mengetahui dasar-dasar
hukum pidana Indonesia,
3. Dapat mengetahui acara
persidangan pidana Indonesia,
4. Dapat mengetahui proses
pelaksanaan sanksi pidana,
5. Dapat mengetahui perkembangan hukum pidana yang ada di
Indonesia,
6. Dapat mengetahui sejarah hukum pidana yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kasus Penipuan (2005)
Terdakwa S adalah pengusaha kayu gergajian dari Jambi
tapi berdomisili di Kota B Jawa Timur. Dalam kasus ini, S telah menawarkan
kepada J seorang pengusaha kayu yang bergerak dibidang eksport hasil kayu
olahan (laminating) berkedudukan di Tanggerang. Sebelum kasus penipuan ini,
Terdakwa sudah sering melakukan kerja-sama dengan J. Maka ketika S menawarkan
kayu kepada J, serta merta J percaya kepada tawaran S. Yang ditawarkan adalah
kayu meranti berbagai ukuran sebanyak 200 m2.
Untuk keperluan itu, Terdakwa minta dikirimi uang sebanyak
125jt rupiah melalui rekening. Permintaan itu disetujui, dan uang dikirimkan.
Tapi sejak pengiriman uang itu, Terdakwa S tidak pernah lagi bisa dihubungi
oleh J, dicari ke kota Jambi juga tidak ditemukan. Akhirnya J melaporkan
kasusnya ke Polisi Resort Tanggerang. Perkara diproses sebagai tindak pidana
penipuan subsider penggelapan.
Sebagai Pengacara Terdakwa, saya sudah usahakan agar sebelum
kasus disidik, uang milik J dikembalikan. Tapi rupanya Terdakwa memang jatuh
bangkrut dan tidak bisa mengembalikan uangnya. Maka perkarapun berjalan terus,
sampai dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Tanggerang.
Perkara ini pembuktiannya lengkap berupa bukti transfer dari
Bank Mandiri, sehingga cukup merepotkan pembelaannya. Akhirnya Terdakwa
dijatuhi pidana Penjara selama 6 bulan. Saya sarankan agar Terdakwa menerima
putusan dan tidak perlu melakukan upaya Banding karena hanya akan memperpanjang
waktu penantian dan salah-salah Pengadilan Tinggi memperberat pidananya.
B.
Proses pemeriksaan perkara pidana
1. Tahap
Penyelidikan
Seorang penyidik dalam melaksanakan
tugasnya memiliki koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal
apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyelidikan.
Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan,
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan,
peluang-peluang untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk
tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua
ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila
etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas
-tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang
tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.
Penyelidikan yang dilakukan
penyelidik tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP.
Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan
hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum.
Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik.
Apabila didapati tertangkap tangan,
tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara melakukan
tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan
pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret
atau mengambil gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut.
Selain itu penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan oarang atau kelompok
tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa
melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik.
2. Tahap
Penyidikan
Pengertian penyidikan diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang
berbunyi sebagai berikut:
“Penyidik adalah Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidik.“.
Dari pengertian penyidik diatas,
dalam penjelasan undang-undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang
untuk melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
(POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal
pula penyidik pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I butir
3 KUHAP, yangmenyebutkan bahwa:
“Penyidik pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang
tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya mengenai pengertian
penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002,
yang menyatakan Bahwa:
“Penyidik Pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang
tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang”.
Mengenai Penyidik Negari Sipil
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa:
“Yang dimaksud dengan penyidik dalam
ayat ini adalah misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan
yang melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan
oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”
Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat
diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian
wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut Andi Hamzah, berpendapat
bahwa:
“Pemberian wewenang kepada penyidik
bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan
kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang
diberikan disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta
ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik.”
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik POLRI adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum,
tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang
besar, karena penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses
peradilan selanjutnya.
Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP
menjelaskan mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Andi Hamzah
dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal I
Butir 2 KUHAP, sebagai berikut:
Penyidikan (acara pidana) hanya
dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari
kata-kata…menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat
dibandingkan dengan Pasal 1 Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft
allen wet voorzien. (Hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan
Undang-undang).
Penyidikan merupakan aktivitas
yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati
(Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi.
Apa yang dikemukakan tentang
penyelidikan tersebut diatas Buchari Said menyebutkan sebagai aktivitas
yuridis, maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan
hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggung
jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu
peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum
acara pidana.
Tujuan utama penyidikan adalah untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat terang suatu
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal I butir 2 KUHAP
Dalam melaksanakan tugas penyidikan
untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang sebagimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7
ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia,
yang menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagi berikut:
1. Menerima Laporan atau pengaduan dari
seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat
di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka
dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan,
penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
5. Mengenai sidik jari dan memotret
seseorang;
6. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatang orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan tersebut
didahului dengan pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan terhadap
suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan
tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan
yang dirasa sangat menghambat adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut
kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.
Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut umum segera mengembalikan berkas
perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila
pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut
umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.
3. Tahap
Penuntutan
Dalam Undang-undang ditentukan bahwa
hak penututan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang
oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada
Pasal 1 butir 7 KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;
“Penuntutan adalah tindakan
penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Yang bertugas menurut atau penuntut
umum ditentukan di Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan
berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan
melaksanakan penetapan hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5
tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak
diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang
menyatakan bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh
kejaksaan. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik
Indonesia yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
1. Melakukan Penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan penyidik.
Mengenai kebijakan penuntutan,
penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah
lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal
ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum
suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah
perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat
membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP).
Mengenai wewenang penutut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti
tersebut dalam Pasal 140 (2) butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi
penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang
diatur dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh
Jaksa Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang
menjadi wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan
hasil penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau
perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang
dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,
sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di
keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon
praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila
kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
Nebis in Idem berarti tidak melakukan pemeriksaan
untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan
ini disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada akhir
dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap
suatu delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan pidana yang
sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua
putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari usaha
penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya
telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas
ini ialah agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga
menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam
masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak
dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan
(untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua
Pelaku yang didakwa (kedua kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang
pertamateri terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Belakangan dasar ne bis in
idem itu digantungkan kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu
juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan
vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama Penjatuhan Hukuman (veroordeling)
Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah
melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau
Kedua: Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag
van rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa
yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi
peritiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak
dapat di hukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu,
bahwa keslahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup
buktinya.
Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut hukum gugur (tidak
berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa
meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak
menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengutusan, maka pengusutan
itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh
pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan tentunya (Niet-ontvankelijk)
umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus
memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi :
Ayat (1) :” Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama
tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun denda dibayar dengan
kemauan sendiri dan demikian juga di bayar ongkos mereka, jika penilaian telah
dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam
tempo yang ditetapkannya”. Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya
denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir
oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”. Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu
tambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu
dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu
telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu’. Ayat
(4);”Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa ,yang
umumnya sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi
penuntut umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum
perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
4.
Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila
terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut
diajukan kepengadilan. Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa,
diadili dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang berjumlah 3
(Tiga) Orang.
Pada saat
majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang.
Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di
alat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila
tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari
serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud
disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Sistem
pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk).
Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Berdasarkan
pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti
yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat
bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan terdakwa.
Disamping
itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian
(minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun
pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan
berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti,
yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.
Tahap
memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan
pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model
Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public
prosecutor.
Pemeriksaan
dimuka sidang pengadilan diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang
pengadilan ynag dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP
pasal 154 telah memberikan batasan syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal
154 telah memberikan batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada
terdakwa, dengan ketentuan;
Surat
panggilan kepada terdakwa disampaikan di alat tempat tinggalnya atau apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.Apabila
terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan
melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat
kediaman terakhir dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan
disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
Penerimaan
surat panggilan terdakwa sendiri ataupun orang lain atau melalui orang lain,
dilakukan dengan tanda penerimaan apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di
gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Penindakan terhadap pelaku kejahatan yang memang membutuhkan
suatu keadilan juga harus dapat dilakukan. Bangsa Indonesia yang memang bangsa
yang besar ini sering sekali hanya terlihat baik didalam teori, namun buruk
sewaktu melakukan praktek dilapangan. Hal inilah yang mengakibatkan semakin
banyaknya kejahatan dan tidak tercapainya keadilan. Sistem Peradilan Pidana
Terpadu memang memiliki teori dan berbagai macam hal praktis yang dapat
dilakukan untuk menciptakan suatu keadilan. Namun tanpa adanya dukungan dari
masyarakat dan sinkronisasi antara sub sistem peradilan pidana, bahkan antar
lembaga penegak hukum, maka niscaya peradilan yang memang benar-benar adil
sebagaimana yang diidam – idamkan oleh masyarakat Indonesia tidak akan pernah
tercapai.
B. Saran
Untuk lebih terciptanya suatu cita –
cita luhur bangsa, yaitu tercapainya keadilan diberbagai bidang, maka
diperlukan suatu sinkronisasi yang benar-benar terjalin dan berjalan dengan
sebagaimana semestinya.
Demikianlah makalah ini dibuat. Yang sekiranya dapat
bermanfaat dan memberikan masukan terhadap berlakunya Sistem Peradilan Pidana
Terpadu, dan demi terciptanya keadilan ditengah – tengah masyarakat.
DARTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar