Senin, 25 November 2013

MAKALAH HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA



BAB I
PENDAULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti?
2.      Mengapa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan?
3.      Mengapa narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya?
4.      Mengapa setiap hari para narapidana dapat keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari?
5.      Mengapa RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah banyak bermuatan pendekatan restorative justice, harus dipercepat penggodokannya?

C.     Manfaat dan Tujuan
Dari pembuatan makalah ini, manfaat dan tujuannya adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui dasar-dasar hukum pidana Indonesia,
2.      Dapat mengetahui acara persidangan pidana Indonesia,
3.      Dapat mengetahui proses pelaksanaan sanksi pidana,
4.      Dapat mengetahui perkembangan hukum pidana yang ada di Indonesia,
5.      Dapat mengetahui sejarah hukum pidana yang ada di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
A.    Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan. 
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.       
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.
Langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.

B.     Acara Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu. Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan. Setelah hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua telah mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia membeli narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda menerima uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu? Benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju?”
Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para hakim ada tiga alternatif:
1.      Perkara terbukti – terdakwa dihukum
2.      Perkara tidak terbukti – terdakwa dibebaskan
3.      Perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Lima kategori alat bukti tersebut adalah:
a.       Keterangan saksi
b.      Keterangan ahli
c.       Surat
d.      Petunjuk
e.       Keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara, maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.

C.    Proses Pelaksanaan Sanksi Pidana
Setelah melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Mataram penulis dapat melihat secara langsung keberadaan para napi di dalam penjara Indonesia, suatu pengalaman yang sangat menarik. Ketika diwawancarai oleh penulis Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa orang orang yang ditahan dalam Lapas dipisah dalam dua kategori yaitu:
1.      Tahanan – dimana perkaranya masih berlanjut pada tahap persidangan dan belum ada keputusan dari hakim
2.      Narapidana (Napi) – terpidana yang sudah dijatuhkan keputusan dan hukuman penjara oleh pengadilan
Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram pada saat diwawancarai ada 571 orang dalam penahanan. Sebagai berikut:
                                    Pria                              Wanita             Total
Tahanan                       238                              17                    225
Narapidana                  296                              20                    316
Total                           534                              37                    571
Narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya; yaitu narapidana yang dihukum untuk kejahatan narkotika, dan yang lain misalnya pencurian, lalu lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto gelap’, judi) dan sebagainya. Purwadi mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya untuk “memotong jaringannya” penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi lain untuk mencoba narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas tersebut juga menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah narapidana laki-laki.
Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari para narapidana dapat keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari untuk berolahraga di halaman tengah. Kemudian untuk para narapidana setiap Selasa, Kamis dan Minggu, ada jam kunjungan untuk keluarga dari jam 09:00 s/d 13:30. Keluarga para narapidana dapat memberikan makanan dan barang barang lain misalnya kue kue, sikat gigi dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang geledah.
D.    Pasca kasus sandal jepit AAL
Kasus pencurian sandal oleh AAL (15 tahun) telah berkembang sedemikian rupa. Secara hukum kasus tersebut telah diputus, dengan dinyatakannya terdakwa bersalah tapi dihukum dengan dikembalikan kepada keluarga.  Namun demikian, melihat perjalanan kasusnya warna-warni kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini pun menjadi ikut terkuak. Namun semuanya itu haruslah dikembalikan kepada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak Indonesia.
Dari kasus tersebut paling tidak kita bisa melihat sejumlah kondisi yang mencerminkan betapa sakitnya masyarakat kita saat ini. Sebuah potret ketidakadilan dalam masyarakat yang justru ditunjukkan oleh aparat penegak hokum sendiri. Masyarakat, tanpa perlu memahami terlebih dulu isi KUHP, KUHAP atau UU Pengadilan Anak bisa merasakan adanya ketidakadilan yang telah terjadi dalam kasus AAL tersebut. Apalagi rasa ketidakadilan itu juga muncul dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dalam kasus AAL, di tingkat pengadilan, meskipun putusan hakim bersifat independen, namun tak dipungkiri adanya penilaian dari masyarakat bahwa putusan hakim diambil untuk memenuhi keinginan public agar tersangka dibebaskan. Model pengambilan keputusan yang bersifat forced by publik, seandainya betul, inilah yang tak bisa dibenarkan, kasus anak berkonflik dengan hokum ribuan jumlahnya dan proses perkaranya tidak terpantau publik, dan tidak ada jaminan bahwa proses penanganannya dilakukan berdasarkan pada pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, seperti yang diamanatkan dalam KHA dan UU Perlindungan Anak. 
Penyelesaian kasus AAL secara hukum, hendaknya tidak hanya berhenti dengan dibebaskannya AAL dari jeruji penjara. Mencuatnya kasus tersebut harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan jangka panjang dan kepentingan seluruh anak Indonesia. Saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok RUU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan UU No. 3/1997 yang sudah tidak layak lagi dengan tuntutan kepentingan terbaik bagi anak, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 tentang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak Anak. 
RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah banyak bermuatan pendekatan restorative justice, harus dipercepat penggodokannya agar cepat bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi kasus-kasus pidana dengan pelaku anak. Namun di sisi lain, dengan lebih ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku anak diharapkan  tidak membuat anak semakin leluasa untuk melakukan tindak pidana. Perlu ada upaya-upaya yang bersifat pencegahan, sehingga anak jauh-jauh hari bisa dihindarkan dari perbuatan kriminal yang dicontohkan oleh orang dewasa.  Semoga.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Melihat perjalanan kasus warna-warni kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, seperti tindak kriminal anak usia dini. Semuanya itu haruslah dikembalikan kepada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak Indonesia.
Dari kasus tersebut paling tidak kita bisa melihat sejumlah kondisi yang mencerminkan betapa sakitnya masyarakat kita saat ini. Sebuah potret ketidakadilan dalam masyarakat yang justru ditunjukkan oleh aparat penegak hokum sendiri. Masyarakat, tanpa perlu memahami terlebih dulu isi KUHP, KUHAP atau UU Pengadilan Anak bisa merasakan adanya ketidakadilan yang telah terjadi dalam kasus AAL tersebut. Apalagi rasa ketidakadilan itu juga muncul dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
B.     Saran
Penyelesaian kasus secara hukum, hendaknya tidak hanya berhenti dengan dibebaskannya dan dijeruji penjara. Mencuatnya kasus harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan jangka panjang dan kepentingan seluruh anak Indonesia. Saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok RUU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan UU No. 3/1997 yang sudah tidak layak lagi dengan tuntutan kepentingan terbaik bagi anak, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 tentang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak Anak. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah banyak bermuatan pendekatan restorative justice, harus dipercepat penggodokannya agar cepat bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi kasus-kasus pidana dengan pelaku anak.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar