BAB I
PENDAULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana
acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil
sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang
dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM)
menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas
dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengapa keputusan para hakim
dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari
lima alat bukti?
2.
Mengapa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan?
3.
Mengapa narapidana pria yang
ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain berdasarkan
kriminalitasnya?
4.
Mengapa setiap hari para
narapidana dapat keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari?
5.
Mengapa RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah banyak bermuatan
pendekatan restorative justice, harus dipercepat penggodokannya?
C.
Manfaat dan Tujuan
Dari
pembuatan makalah ini, manfaat dan tujuannya adalah sebagai berikut:
1.
Dapat mengetahui dasar-dasar
hukum pidana Indonesia,
2.
Dapat mengetahui acara
persidangan pidana Indonesia,
3.
Dapat mengetahui proses
pelaksanaan sanksi pidana,
4.
Dapat mengetahui perkembangan hukum pidana yang ada di
Indonesia,
5.
Dapat mengetahui sejarah hukum pidana yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM
PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
A. Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem,
undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah
menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana
Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil
sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat
menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum
pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut
belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah
diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat
disepakati apalagi disahkan.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan
prosedur-prosedur yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam
sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP
menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan
dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari
KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena
bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP
adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh
penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan
prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.
Langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah
perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang
mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan
menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima
oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat
kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan
jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan
kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan
diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan
cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka
pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada
pihak kehakiman dan pengadilan.
B. Acara Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri
proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan
oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara.
Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada
saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait
dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan,
dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan
beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah
perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari
kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa
didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua
belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara
pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca,
barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di
tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia
mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi
penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi
dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu. Jika, misalnya ada
tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk
di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki
oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada
saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama,
pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi
sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan
agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya
bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar dan
tidak lain daripada yang sebenarnya.
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat
sebuah Al Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas
kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil
bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah,
semua saksi bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi
akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di
bangku di depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang
persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini
juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di
Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal
hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya langsung kepada
saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai
dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses
interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan. Setelah hakim
selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk
memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing
masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan
tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan
keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua telah
mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia membeli
narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda
menerima uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu?
Benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju?”
Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan
tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk
turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan
telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan
untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang
sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan
keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya
jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari
jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa
atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut
umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran
terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus
mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari
lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam
musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan
dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan
jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para
hakim ada tiga alternatif:
1.
Perkara terbukti – terdakwa
dihukum
2.
Perkara tidak terbukti –
terdakwa dibebaskan
3.
Perbuatan terbukti tetapi tidak
perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara
negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan
hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai
berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Lima kategori alat bukti tersebut adalah:
a.
Keterangan saksi
b.
Keterangan ahli
c.
Surat
d.
Petunjuk
e.
Keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus
menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya
sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan
pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus
menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya
mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya
untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia
ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan
bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung
perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis
besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia
terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara, maka ia akan dibawa ke
Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.
C. Proses Pelaksanaan Sanksi
Pidana
Setelah
melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Mataram penulis dapat
melihat secara langsung keberadaan para napi di dalam penjara Indonesia, suatu
pengalaman yang sangat menarik. Ketika diwawancarai oleh penulis Kepala Lembaga
Permasyarakatan (Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa orang orang yang ditahan
dalam Lapas dipisah dalam dua kategori yaitu:
1.
Tahanan – dimana perkaranya
masih berlanjut pada tahap persidangan dan belum ada keputusan dari hakim
2.
Narapidana (Napi) – terpidana
yang sudah dijatuhkan keputusan dan hukuman penjara oleh pengadilan
Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram pada saat
diwawancarai ada 571 orang dalam penahanan. Sebagai berikut:
Pria Wanita Total
Tahanan 238 17 225
Narapidana 296 20 316
Total 534 37 571
Narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian
dipisahkan dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya; yaitu narapidana yang
dihukum untuk kejahatan narkotika, dan yang lain misalnya pencurian, lalu
lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto gelap’, judi) dan sebagainya.
Purwadi mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya untuk “memotong
jaringannya” penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi lain untuk
mencoba narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas tersebut
juga menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah narapidana
laki-laki.
Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari para
narapidana dapat keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari untuk berolahraga
di halaman tengah. Kemudian untuk para narapidana setiap Selasa, Kamis dan
Minggu, ada jam kunjungan untuk keluarga dari jam 09:00 s/d 13:30. Keluarga
para narapidana dapat memberikan makanan dan barang barang lain misalnya kue
kue, sikat gigi dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang geledah.
D.
Pasca kasus sandal jepit AAL
Kasus pencurian sandal oleh AAL (15 tahun)
telah berkembang sedemikian rupa. Secara hukum kasus tersebut telah diputus,
dengan dinyatakannya terdakwa bersalah tapi dihukum dengan dikembalikan kepada
keluarga. Namun demikian, melihat perjalanan kasusnya warna-warni kondisi
sosial masyarakat Indonesia saat ini pun menjadi ikut terkuak. Namun semuanya
itu haruslah dikembalikan kepada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak anak Indonesia.
Dari kasus tersebut paling tidak kita bisa
melihat sejumlah kondisi yang mencerminkan betapa sakitnya masyarakat kita saat
ini. Sebuah potret ketidakadilan dalam masyarakat yang justru ditunjukkan oleh
aparat penegak hokum sendiri. Masyarakat, tanpa perlu memahami terlebih dulu
isi KUHP, KUHAP atau UU Pengadilan Anak bisa merasakan adanya ketidakadilan
yang telah terjadi dalam kasus AAL tersebut. Apalagi rasa ketidakadilan itu
juga muncul dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dalam kasus AAL, di tingkat pengadilan,
meskipun putusan hakim bersifat independen, namun tak dipungkiri adanya
penilaian dari masyarakat bahwa putusan hakim diambil untuk memenuhi keinginan
public agar tersangka dibebaskan. Model pengambilan keputusan yang bersifat
forced by publik, seandainya betul, inilah yang tak bisa dibenarkan, kasus anak
berkonflik dengan hokum ribuan jumlahnya dan proses perkaranya tidak terpantau
publik, dan tidak ada jaminan bahwa proses penanganannya dilakukan berdasarkan
pada pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, seperti yang diamanatkan dalam
KHA dan UU Perlindungan Anak.
Penyelesaian kasus AAL secara hukum,
hendaknya tidak hanya berhenti dengan dibebaskannya AAL dari jeruji penjara.
Mencuatnya kasus tersebut harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan
jangka panjang dan kepentingan seluruh anak Indonesia. Saat ini pemerintah dan
DPR tengah menggodok RUU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan UU No.
3/1997 yang sudah tidak layak lagi dengan tuntutan kepentingan terbaik bagi
anak, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 tentang Perlindungan Anak serta
Konvensi Hak Anak.
RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah
banyak bermuatan pendekatan restorative justice, harus dipercepat
penggodokannya agar cepat bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi
kasus-kasus pidana dengan pelaku anak. Namun di sisi lain, dengan lebih
ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku anak diharapkan tidak
membuat anak semakin leluasa untuk melakukan tindak pidana. Perlu ada
upaya-upaya yang bersifat pencegahan, sehingga anak jauh-jauh hari bisa
dihindarkan dari perbuatan kriminal yang dicontohkan oleh orang dewasa.
Semoga.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Melihat perjalanan kasus warna-warni kondisi
sosial masyarakat Indonesia saat ini, seperti tindak kriminal anak usia dini. Semuanya
itu haruslah dikembalikan kepada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak anak Indonesia.
Dari kasus tersebut paling tidak kita bisa
melihat sejumlah kondisi yang mencerminkan betapa sakitnya masyarakat kita saat
ini. Sebuah potret ketidakadilan dalam masyarakat yang justru ditunjukkan oleh
aparat penegak hokum sendiri. Masyarakat, tanpa perlu memahami terlebih dulu
isi KUHP, KUHAP atau UU Pengadilan Anak bisa merasakan adanya ketidakadilan
yang telah terjadi dalam kasus AAL tersebut. Apalagi rasa ketidakadilan itu
juga muncul dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
B.
Saran
Penyelesaian
kasus secara hukum, hendaknya tidak hanya berhenti dengan dibebaskannya dan dijeruji
penjara. Mencuatnya kasus harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan
jangka panjang dan kepentingan seluruh anak Indonesia. Saat ini pemerintah dan
DPR tengah menggodok RUU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan UU No.
3/1997 yang sudah tidak layak lagi dengan tuntutan kepentingan terbaik bagi
anak, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 tentang Perlindungan Anak serta
Konvensi Hak Anak. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah banyak bermuatan
pendekatan restorative justice, harus dipercepat penggodokannya agar cepat bisa
dipergunakan sebagai dasar hukum bagi kasus-kasus pidana dengan pelaku anak.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT
Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi
Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar