BAB I
PENDAHULUAN
Reformasi dalam diri birokrasi mendesak dilakukan karena, sebagaimana
penjelasan Peters dan Nicholas Henry (Arif dan Putra, 2001) bahwa
birokrasi mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan (power of
decision) dan kekuasaan membuat kebijakan (policy-making power).
Hal itu diperkuat dengan
kenyataan bahwa kekuatan birokrasi adalah permanen, tetap bertahan hidup
(staying power), dan birokrasi itu tak pernah mati. Miftah Thoha
(2002:4) memberikan penjelasan menarik. Ujarnya, jika kita menginginkan
melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita yang memungkinkan
pertanggungjawaban publik bisa dijalankan, maka kondisi perubahan sistem
politik adalah syarat utama. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan
dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat mapun daerah ialah
diubahnya mindset para pemimpin politik kita, tegas Thoha, dari
mewarisi sikap dan perilaku Orde Baru yang single majority dan
otoritarian menjadi sikap demokratis yang multipartai.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana dalam
birokrasi memerlukan persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat,
sedangkan demokrasi mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak
orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh
perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat,
namun dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal
karena tidak tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi,
akuntabel dan responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya
sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang
membangun citra pelayanan publik berkualitas prima maupun yang
berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak terlepas dari keterkaitannya
dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap individu
birokrat. Keterbatasan birokrasi memaknai nilai-nilai budaya lokal
dengan baik setidaknya juga berdampak terhadap kualitas pelayanan
publik. Karena itulah, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengkaji keterkaitan nilai-nilai budaya lokal dengan perilaku birokrasi
yang akhirnya membentuk budaya birokrasi Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Denpasar dan untuk mengetahui implikasi dari keterkaitan
nilai budaya lokal dengan perilaku birokrasi tersebut terhadap kualitas
pelayanan publik.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
naturalistik kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode pengumpulan
datanya menggunakan, pengamatan langsung, wawancara mendalam dan
dokumentasi. Tehnik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data,
display data dan verifikasi data. Relevansi dari perilaku birokrasi
dalam pelayanan publik juga tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya
dengan nilai-nilai budaya lokal yang melingkupinya .Terjadinya interaksi
antara karakteristik individu dengan karakteristik organisasi sebagai
variabel pembentuk perilaku yang didasari oleh variasi dan
keanekaragaman nilai-nilai budaya yang akan mewarnai variasi pola
perilaku birokrasi.Tentu saja
hal ini membawa dampak yang luas terhadap birokrasi selaku penyelenggara
pelayanan publik. Sehubungan dengan itu, maka penelitian ini
menggunakan konsep nilai-nilai budaya lokal, konsep birokrasi, konsep
perilaku birokrasi, dan konsep prinsip-prinsip pelayanan publik yang
baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan keterkaitan nilai-nilai budaya lokal
dengan perilaku birokrasi yang membentuk budaya birokrasi yang pada
akhirnya turut memberi andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan
publik. Pemahaman aparat birokrasi terhadap nilai-nilai budaya lokal
masih rendah, sehingga berdampak ke dalam perilaku sehari-hari di dalam
memberikan pelayanan publik. Kenyataan yang terjadi adalah nilainilai
budaya lokal dikatakan sebagai penghambat penyelenggaraan pelayanan
publik. Nilai-nilai dharma yang ada dalam budaya Bali tidak
diaktualisasikan dengan cara dan bentuk nyata. Sehingga yang terjadi
muncul perilaku negatif dari aparat seperti kolusi, korupsi dan
nepotisme yang merupakan penyakit birokrasi (patologi birokrasi)
Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah semestinya aparat birokrasi
bisa mengambil nilai-nilai positif dari nilai-nilai budaya lokal, dan
individu birokrasi harus menyadari bahwa dalam menjalankan keimanan dan
kegiatan sosial kemasyarakatan tidak berarti harus mengorbankan orang
lain. Birokrasi harus berorientasi pada kepuasan masyarakat yang majemuk
dan mengubah pola pikir aparat untuk kembali kepada fungsinya sebagai
pelayan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar