BAB I
PENDAHULUAN
Pengamalan atau praktek Pancasila
dalam berbagai kehidupan dewasa ini memang sudah sangat sulit untuk ditemukan.
Tidak terkecuali dikalangan intelek dan kaum elit politik bangsa Indonesia
tercinta ini. Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum serta hankam
merupakan ranah kerjanya Pancasila di dunia Indonesia yang sudah menjadi dasar
Negara dan membawa Negara ini merdeka hingga 66 tahun lebih. Secara hukum
Indonesia memang sudah merdeka selama itu, namun jika kita telaah secara
individu (minoritas) hal itu belum terbukti.
Masih banyak penyimpangan yang dilakukan para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia. Keadilan yang seharusnya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan politik pribadi.
Masih banyak penyimpangan yang dilakukan para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia. Keadilan yang seharusnya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan politik pribadi.
Proses kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak bisa dilepaskan dari dimensi kehidupan politik. Akan tetapi,
kehidupan politik di setiap negara tentu saja berbeda. Salah satu penyebabnya
adalah faktor perbedaan ideologi. Kehidupan politik orang hidup di negara yang
menganut paham liberal, tentu saja berbeda dengan yang hidup di negara sosialis
atau komunis. Begitu juga dengan kehidupan politik rakyat Indonesia, pasti
berbeda dengan rakyat bangsa lainnya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Hakikat pancasila
sebagai Etika Politik
1.2.2 Hakikat pancasila
sebagai Nilai
1.2.3 Hakikat pancasila
sebagai Norma
1.2.4 Hakikat pancasila
sebagai Moral
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1 Menanamkan rasa cinta
terhadap bangsa dan melestarikan nilai-nilai pancasila, yang dimana pancasila
memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal.
1.3.2 Dapat mendukung misi
termuat dalam SK Dirjen Dikti. No.43/DIKTI/KEP/2006.
1.4 Manfaat
Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Untuk memantapkan
kepribadian mahasiswa agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar
pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
1.4.2 Bagi Dosen
Penulisan makalah ini
dapat dijadikan tolak ukur pemahaman mahasiswa terhadap pancasila dan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pancasila sebagai Etika Politik
1.1 Pengertian Pancasila
Pancasila adalah dasar falsafah
Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena
itu, setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati,
dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan.
1.2 Etika Politik
Sebagai salah satu cabang etika,
khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang
langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada berbagai bidang etika khusus, seperti
etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika
pendidikan. Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia. Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma
untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan
demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia
sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum
yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam
masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan
serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif
dan argumentatif. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis.
Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat
dijalankan secara obyektif.
Hukum dan kekuasaan Negara
merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat
yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif
sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial).
Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik
yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya
cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan
HAM menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur kebudayaan masyarakat
masing-masing dan keadaan sosial.
1.3 Pancasila sebagai Nilai Dasar
Fundamental Bagi Bangsa dan Negara RI
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu
kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu
dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna
Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatuan yang tak bisa ditukarbalikan letak dan susunannya. Untuk memahami dan mendalami
nilai-nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima
sila Pancasila.
a. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. Yang Maha
Esa berarti Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Atas keyakinan demikianlah, maka Negara Indonesia berdasarkan
pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga
tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha
Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.
b. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan
memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia
menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan
sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab,
sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur,
berkesopanan, dan bersusila. Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945
alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam batang
tubuh UUD 1945.
c. Persatuan
Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah.
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka
ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan Indonesia ini mencakup persatuan
dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Hal ini
sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, “Kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya
lihat batang tubuh UUD 1945.
d. Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan
Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang
berdiam dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia
menganut sistem demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini
berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti
bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan
keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.
e. Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala
bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua
warga Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun yang di luar
negeri. Hakikat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam
alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan
Indonesia … Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Pola pikir untuk
membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai
dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik
harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia tanpa pandang bulu. Nilai-nilai Pancasila tersebut mutlak harus
dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini.
Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit
politik yang menjadi momok masyarakat.
1.4 Etika Politik dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Sesuai Tap MPR No. VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian dari etika kehidupan
berbangsa adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat
universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam pancasila sebagai
acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pembangunan moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan
kultur politik yang berdasarkan kepada iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa, menggalang suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia yang berbudi
luhur, yang mengindahkan kaidah musyawarah secara kekeluargaan yang bersih dan
jujur dan menjalin asa pemerataan keadilan. Pada hakikatnya etika politik tidak
diatur dalam hukum tertulis secara lengkap tetapi melalui moralitas yang
bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, dan rasa takut kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Etika Politik Bangsa Indonesia Di Era Reformasi
Sering sekali pada masa sekarang ini kita jumpai di berbagai media
kasus-kasus korupsi, mafia hukum atau tindakan negatif lainnya dilakukan oleh
para elit politik. Dengan mudahnya seorang tersangka kasus korupsi dapat bebas
keluar dari lembaga pemasyarakatan. Nominal-nominal dana yang muncul ke media
begitu besar membuat masyarakat Indonesia menyangsikan peran wakil rakyat pada
pemerintahan. Ironis sekali dengan banyaknya warga Indonesia yang masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Kesenjangan dan ketidakmerataan kesejahteraan begitu
mencolok. Akibatnya, tidak jarang massa berdemonstrasi guna menuntut perubahan.
Jika ketimpangan ini tidak segera diselesaikan, moral wakil rakyat yang sudah
jauh dari nilai-nilai Pancasila tidak segera dikembalikan, tak akan diragukan
lagi kejadian historik dan catatan gelap bangsa Indonesia akan terulang yakni
kerusuhan 1998. Tentunya kita tidak mengetahui dan tidak dapat menerka-nerka
masa depan. Akankah rakyat terus duduk diam mengamati wayang-wayang kekuasaan
menjalankan kekuasaannya dengan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Sebenarnya
tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum
badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat
digunakan untuk menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini
dengan melihat itu mana yang hadir terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila
sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu, dengan melihat kondisi saat ini,
berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa Pancasila tidak lagi relevan
adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila yang tetap terbuka
bagi semua golongan dan nilai-nilainya akan terus termutakhirkan sesuai dengan
perkembangan zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
“Pancasila adalah sebuah ideologi dan etika politik, maka itu berarti terbuka
lebar adanya kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian
secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Jadi memang
manusia-manusianya yang kepribadiannya tergerus.
Dan jika
kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang
perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak
dan pribadi bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan
kepribadian itu. Pokok permasalahannya apakah Pancasila ataukah
manusia-manusianya, masih menjadi pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti
dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja. Namun, juga dalam tataran
praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari ketakberdayaan kita
dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan
negatifnya.
- Etika Politik yang Berlandaskan Pancasila
Sebagai salah
satu cabang etika, etika politik merupakan salah satu bentuk filsafat praktis.
Secara sederhana etika politik dapat diartikan sebagai cabang etika yang
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam menjalankan
kehidupannya. Jadi, etika politik tidak hanya mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia sebagai warga negara saja, melainkan seluruh aktivitas
hidupnya. Hal ini dikarenakan ruang lingkup kehidupan politik yang mencakup bidang
kehidupan lainnya. Dengan kata lain, etika politik berkenaan dengan dimensi
plitis kehidupan manusia (Magnis-Suseno, 2001:17).
Secara
subtantif, etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek etika, yaitu
manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahasan
moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral selalu menunjuk
kepada manusia sebagai subjek etika. Walaupun kedudukan dan sifat manusia
selalu berkaitan dengan masayarakat, bangsa dan negara, etika politik tetap
meletakan dasar fundamental manusia sebagai manusia, bukan sebagai warga
masyarakat atau warga negara. Hal ini semakin menegaskan bahwa etika politik
mendasarkan suatu kebaikan kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang beradab
dan berbudaya (Magnis-Suseno, 2001:19).
4.
Hubungan
Nilai, Norma, dan Moral
Nilai berbeda dengan fakta, dimana faktea dapat dipahami,
difikiran,dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak
bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai
dapat bersifat subjektif maupun objektif. Dari kedua sifat inilah nilai perlu
lebih di kongkritkan lagi serta dipormulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit.
Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu
norma. Selanjutnya nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.
5.
Tujuan
Etika Politik
Tujuan
etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain,
dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi
yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa
korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur
yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain…; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain…; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya,
kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi
yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah
syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret
kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan
berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam
definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual
saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika
individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan
dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial,
untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara. pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara. pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Perantara
itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama,
demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya.
Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan
sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong
kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan
untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan
kekerasan.
Etika
politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan
simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
5.1.
Dimensi Politis Manusia
a. Manusia sebagai makhluk indivudu sosial
Manusia
sebagai makhluk yang berbudaya kebebasan sebagai individu dan kreatifitas dalam
hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini dikarenakan manusia
sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial.
b. Dimensi politis kehidupan manusia
Hukum
harus menunjukan bahwa tatanan adalah dari masyarakat bersama dan demi
kesejahteraan bersama, dan bukannya berasal dari kekuasaan. Demikian pula
dengan negara yang memiliki kekuasaan harus mendasarkan pada tatanan normatif
sebagai kehendak bersama semua warganya. Sehingga dengan demikian negara pada
hakikatnya mendapatkan legimitasi dari masyarakat yang menentukan tatanan hukum
tersebut.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sebagai salah satu cabang etika,
khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan. Etika politik yang berkenaan
dengan dimensi politis kehidupan manusia, yang berkaitan norma moral yaitu
untuk mengatur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Etika politik
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara
terhadap negara. Pancasila sebagai dasar filsafah bangsa dan negara yang
merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan dengan masing-masing
sila.
Sila pertama: Negara Indonesia berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali
tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti
keagamaan.
Sila
kedua: Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea
pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam batang tubuh
UUD 1945.
Sila
ketiga: Sila Persatuan Indonesia ini mencakup persatuan dalam
arti ideologis, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam. Hal ini sesuai
dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat
batang tubuh UUD 1945.
Sila
kempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam
pokok pasal-pasal UUD 1945.
Sila kelima: Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.Kumpulan
etika politik/Pancasila-Sebagai-Etika-Politik
http://www.Kumpulan
etika politik/PENDIDIKAN POLITIK Etika Politik « KORAN DEMOKRASI INDONESIA
Implementasi Nilai-Nilai Pancasila
sebagai Etika Politik dalam Pendidikan
Politik, Bambang
Yuniarto & Winarno Narmoatmodjo.
Kaelan.
2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar