Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang siswi Sekolah Dasar (SD) mengamati
kata-kata itu yang terpampang tegak di depan kantor Kementerian Pendidikan
Nasional, Kuningan, Jakarta. Cukup lama ia memandang kalimat besar itu, semakin
pusing pula kepala dibuatnya. Ketika otaknya hampir saja buntu, ia lalu menoleh
ke guru yang berada disampingnya “Bu Guru tahu artinya?” ujar sang siswi polos.
Sang guru bagai disambar petir
mendengar muridnya bertanya seperti itu. Ia bukan kaget karena anak sekecil itu
sudah bertanya tentang filosofi pendidikan. Ia pun juga bukan kaget karena
peserta didiknya memang terkenal kritis kepada hal-hal janggal yang
ditemukannya. Tapi ia kaget karena dirinya sendiri juga tidak tahu meski telah
20 tahun menjadi guru.
“E…ee….e… yang ibu tahu kalimat itu
sudah dari sananya, nak. Ibu cuma tahunya begitu.” Ujar sang guru sedikit
excuse, kalau tidak mau disebut malu. “Terus buat apa kalimat ini ditempelkan
di sini bu, (Kantor Kemendiknas, red)?” kejar siswi sambil memukul papan besar
itu.
Suasana menjadi rumit. Ia baru
sadar pertanyaan bocah SD lebih sulit ketimbang profesor sekalipun. Keringat
dingin sang guru mulai bercucuran. Ia mulai mencabik-cabil tisu yang ada di
tangannya. Tiba-tiba saja, pegawai Kemendiknas lewat di depan mereka berdua.
Guru anak tadi seperti mendapatkan jalan keluar.
“Pak..pak.. sebentar pak..” ucap
sang guru memberhentikannya dan menjelaskan maksud kenapa ia dipanggil.
“Bapak tahu artinya?” langsung saja
bocah SD itu bertanya.
Pegawai itu tersenyum melihat bocah
berseragam putih merah itu memberhentikannya. Namun, ia baru saja mengucapkan
istighfar sambil memegang dada ketika tahu jemari mungil sang anak mengarah ke
kalimat besar yang menjadi “sabda” di kantornya. Hasilnya apa? Lelaki itu hanya
menelan ludahnya persis ketika maling sandal tengah dipergoki warga.
Apa boleh buat, kedua orang dewasa
itu saling pandang dan tersenyum kecut menyadari pekerjaannya bisa saja hilang
akibat ulah sang bocah “usil” itu.
Theosofi, Ki Hadjar Dewantara, dan
Pendidkan Indonesia
Dialog diatas sejatinya hanyalah
representasi bahwa mental pendidikan bangsa ini adalah mental formil. Siapa
yang tahu jawaban bocah itu? Saya, anda, atau siapa? Mungkin kita akan sama
posisinya dengan guru dan pegawai itu jika pertanyaan bocah tersebut mampir ke
saya dan anda yang juga adalah seorang guru.
Sumpah pemuda yang menyatakan bahwa
Indonesia berbahasa satu yakni bahasa Indonesia sepertinya tidak terbukti.
Sederhananya, kenapa kita masih sering memakai istilah Jawa pada banyak hal,
termasuk motto yang sudah menjadi sabda di dalam dunia pendidikan itu.
Ini bukan berarti kita anti
terhadap hal berbau Jawa, melainkan dengan hal ini kita bisa mengukur dan
bertanya kembali kepada diri kita tentang berbagai motto yang mencekoki anak
didik kita dari kecil sampai dewasa, tanpa didudukkan makna dan sejarah
dibaliknya.
Kalimat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri adalah kalimat yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara
yang bermakna “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di
belakang memberi dorongan”. Namun konteks kalimat ini disini tidak jelas dalam
konteks apa. Maka ia menjadi netral agama. Padahal dalam konsep pendidikan
Islam, ta’dib atau tarbiyah selalu didasari pada tauhid kepada Allahuta’la. Ia
tidak bisa netral, objektif, dan tanpa sekat keyakinan agama.
Ki Hajar Dewantara memang terkenal
sebagai penganut theosofi. Seperti dikutip dari buku Bambang Dewantara, yang
berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar mengatakan bahwa semua agama
di dunia sama karena mengajarkan asas kasih sayang kepada semua manusia dan
mengajarkan perihal kedudukan manusia yang terhormat di hadapan tuhannya.
Ki Hadjar berkeyakinan bahwa sumber
gerak evolusi seluruh alam semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang
disebut dengan isitlah kodrat alam yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan
dari setiap benda-benda. Konteks inilah yang sekarang kita kenal dengan faham
musyrik modern, yakni pluralisme agama
Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa
pada tahun 1922 di Yigyakarta yang sangat berkiblat ke Barat. Ketika
menyinggung keberadaan Taman Siswa, Buya Hamka pernah menyatakan, “Taman Siswa
adalah gearakan abangan, klenik, dan primbon jawa. Yang menjalankan ritual
shalat Daim”
Dalam kepercayaan kebatinan, shalat
disini tidak seperti shalat umumnya umat Islam, tapi shalat daim dalam “mazhab”
Taman Siswa saat itu adalah shalat dalam perspektif kebatinan yakni menjalankan
kebaikan terus menerus. Doa iftitah dalam shalat daim pun, terlihat janggal dan
aneh.
“Aku berniat shalat daim untuk
selama hidupku. Berdirinya adalah hidup. Rukuknya adalah mataku. I’tidalnya
adalah kupingku, sujudnya adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku. Duduk
adalah tetapnya imanku, tahiyat adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah
makrifatnya. Islamku adalah kiblatnya, kiblatnya adalah menghadap fikiranku”
Niels Mulders, dalam karyanya
Mistisme Jawa seperti dikutip Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi”, juga
menyatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang theosofi yang mengamalkan
kebatinan. Ia lebih mementingkan “Hakikat” daripada “Syariat”.
Dalam kepercayaan Kejawen tahap
hakikat adalah perjumpaan dengan kebenaran. Orang yang mengamalkan hakikat
tidak lagi beribadah dengan berpatokan pada aturan syariat, tetapi menjalankan
ibadah dengan perilaku kebaikan sepanjang hari.
Kata berperilaku baik disitu adalah
tanda kutip bagi kita? Berperilaku baik seperti apa? Tidak lain dalam konteks
theosofi bahwa orang yang berperilaku baik tidak mesti beragama. Lebih baik
jadi menjadi orang humanis, daripada relijius tapi jahat. Karena kebenaran yang
tertinggi adalah kebenaran itu sendiri. Seperti sebuah harian cetak di
Indonesia: Kebenaran tidak pernah memihak!
Pertanyaannya sebetulnya sederhana,
kenapa kita yang katanya bermayoritas muslim, tidak memaki moto pendidikan yang
jelas saja seperti: Iman, Ilmu dan Amal. Atau Tauhid, Ilmu, dan Jihad. Islam
mengajarkan makna yang jelas dan terukur. Karena itu, konsep menjadi orang baik
dalam Islam tidak pernah dilepaskan dari sudut pandangan agama.
Kalau sudah begitu, hal ini lebih
cocok dan dekat dengan ketakwaan daripada motto yang jelas-jelas didirikan oleh
penganut theosofi dan kita sendiri tidak mengerti apa maknanya: Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. “Apa pak Menteri juga tahu
artinya?” Mungkin begitu kata bocah kecil tadi ketika sampai di kantor
Mendiknas.
KLIK
DOWNLOAD UNTUK MENGUNDUH FILENYA
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.