Sabtu, 02 April 2011

MAKALAH DEGRADASI MORAL



BAB 1
PENDAHULUAN



Degradasi sering diartikan sebagai penurun suatu kualitas.Moral remaja dari tahun ketahun terus mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Dalam segala aspek moral, mulai dari tutur kata, cara berpakaian dll. Degradasi moral ini seakan luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.
Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak sadar, namun malah mengikutinya. Kita terus menuntut kemajuan di era global ini tanpa memandang aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidak seimbangan itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
Bangsa Indonesia mengalami degradasi moral dan akhlak. Ironisnya, kondisi ini juga mewabah di kalangan intelektual,elit politik,para pemegang kekuasaan dan anak remaja.Saat ini bangsa sedang mengalami degradasi moral dan akhlak,Sehingga perlu upaya membenahi keadaan ini sebelum semakin parah.
Munculnya degradasi moral karena pendidikan agama, budi pekerti, etika terabaikan selama ini.Padahal sebenarnya, itu mutlak diperlukan dalam pembentukan dan pembinaan karakter dan moral bangsa. 

Untuk memenuhi beberapa syarat-syarat dalam proses belajar mengajar  di perguruan tinggi Sebagai langkah lanjutan dalam mempelajari bidang study Ilmu Pengetahuan dan Teori Sosial Budaya,serta menggali pengetahuan dan wawasan agar pengetahuan menjadi luas.

  
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Adalah sebagai penurun suatu kualitas moral. Bangsa Indonesia mengalami degradasi moral dan akhlak. Ironisnya, kondisi ini juga mewabah di kalangan intelektual dan elit politik serta para pemegang kekuasaan. kaum terpelajar dan para elit ini harus segera diatasi.Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi,maupun lemahnya ketahanan budaya dan merosotnya kepribadian nasional di kalangan pemuda di Indonesia menjadi faktor pemicu degradasi moral. Sehingga memunculkan kebodohan yang akhirnya melahirkan kemiskinan dan pengangguran. 
Munculnya degradasi moral itu, karena pendidikan agama, budi pekerti, etika terabaikan selama ini,"katanya. Padahal sebenarnya, itu mutlak diperlukan dalam pembentukan dan pembinaan karakter dan moral bangsa.Pendidikan lanjutnya, harus ditempatkan sebagai proses pembentukan karakter dan peradaban serta meluhurkan kemanusiaan dengan cara memberinya prinsip-prinsip moral dan ilmu pengetahuan.
Sehingga perlu upaya membenahi keadaan ini sebelum semakin parah, Moral remaja dari tahun ketahun terus mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Dalam segala aspek moral, mulai dari tutur kata, cara berpakaian dll. Degradasi moral ini seakan luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. 
Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak sadar, namun malah mengikutinya. Kita terus menuntut kemajuan di era global ini tanpa memandang (lagi) aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidak seimbangan itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
Andai saja pemerintah tak sibuk (terus) mengurus tetek bengek masalah korupsi yang terjadi akhir-akhir ini. Mungkin mereka para petinggi Negara memiliki sedikit waktu untuk mengamati anak bangsanya yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Simbol kesantunan warga Indonesia-pun mulai terkikis pada generasi muda, yaitu remaja.
Globalisasi yang terus menuntut kita untuk bermetamorfosa kadang memang membawa banyak dampak baik. Tapi jangan salah, dampak buruk pun mengikutinya di belakang. Coba sejenak kita amati foto-foto remaja tempo dulu. Kita nilai mereka dari aspek berpakaian. Sebagian besar mereka kelebihan bahan (tertutup). Memang ada satu dua yang memilih pakaian terbuka di era lalu, namun perbandingannya lebih banyak yang mengenakan pakaian tertutup. Kontras dengan kenyataan di abad 20 ini. Kalau dulu yang berpakaian memancing kebanyakan para pelaku entertainer, kalau sekarang tak peduli entertainer atau bukan sama saja. 
Sebenarnya hati ini semakin miris melihatnya. Sebagai seorang remaja, saya sendiri berpikir mau jadi apa bangsa ini kedepannya. Degradasi moral sudah tak dihiraukan lagi. Masih mending jika yang mengalami degradasi mereka yang sudah dewasa. Sebab setidaknya usia produktif mereka akan segera habis. Namun bila remaja yang mengalami degradasi? Bagaimana nanti saat dia dewasa? Takutnya nanti malah semakin menjadi. Terus bagaimana jalan negeri ini bila dipimpin oleh mereka yang kurang bermoral ?
Perlu diingat, yang menyerang moral remaja bukan hanya dalam cara berpakaian, namun masih banyak lagi. Tapi, baru kita mengamati cara remaja kini berpenampilan saja sudah membuat kepala jadi pusing. Belum jika kita melihat tingkah polahnya. Dunia narkoba, seks bebas, dan lainnya belum kita singkap.Dunia narkoba dan seks bebas akhir-akhir ini memang sangat ngetren di kalangan remaja. Ini tandanya ada bukti lagi bahwa moral remaja masa kini memang sudah menurun. Kebudayaan timurnya sudah termakan oleh westernisasi jaman. Sangat memprihatinkan.
Kita tengok ke kejadian beberapa waktu lalu.saat masa kelulusan siswa SMA. Di TV maupun koran banyak sekali berita yang menginformasikan perayaan kelulusan yang tidak sewajarnya di lakukan di Indonesia. Mungkin kalau di Negara barat hal seperti itu wajar. Coba tebak dengan cara apa mereka anak ABG yang baru saja dinyatakan lulus memproklamirkan kelulusannya? Gembar-gembor sepeda motor? Sudah biasa, dari jaman orang tua saya sudah begitu. Lantas apa?? Inilah uniknya, merayakan kelulusan dengan melakukan sex party atau pesta sex, masih ditambah acara nyabu bareng atau mabok bareng. Apa ini cerminan generasi baik untuk masa depan?

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah ( dimensi ruang dan waktu ) . Menurut Edison A Jamli dalam buku Kewarganegaraannya, menyebut globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada satu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di dunia. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu semakin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia.
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh ini meliputi dua dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Globalisasi memang tidak hanya menawarkan kemajuan pembangunan dan menggeliatnya roda perekonomian karena sekat-sekat pasar yang ada dihapuskan hingga terbukalah peluang pasar tanpa batas. 
Ketangguhan bangsa kita diuji di era ini, tidak hanya melalui persaingan usaha yang bebas dan tak terbatas, namun bangsa kita juga diuji menghadapi teknologi maju ditengah keterbatasan berpikir dan kultur budaya dan agama yang sedikit demi sedikit mulai memudar. Salah satu dampak negatif juga terjadi di masyarakat, khususnya generasi muda.
Ancaman rusaknya satu generasi akibat globalisasi bisa saja terjadi ketika banyak anak muda kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia, hal ini ditunjukkan dari gejala yang muncul dari kehidupan sehari-hari anak muda. Mulai dari model pakaian yang dari waktu ke waktu semakin minim serta perubahan gaya hidup yang berkiblat ke dunia barat dan menyisihkan budaya luhur bangsa. 
Kemajuan teknologi selain memberikan manfaat ternyata juga dampak negatif, seperti internet dan handphone. Kedua barang hasil kemajuan teknologi ketika tidak dibarengi dengan kematangan wawasan berpikir penggunanya akan menjadikan bumerang bagi penggunanya, lantaran mereka tidak menggunakan untuk kegiatan yang bermanfaat namun cenderung digunakan untuk kegiatan yang merusak mental, seperti menonton film biru/BF. Keberadaan internet dan HP ( Handphone) ini secara tidak langsung melemahkan rasa sosial penggunanya kepada masyarakat sekitar, namun juga membuat lemah kontrol sosial (Social Control ) di sekelilingnya, lantaran penggunaan yang tanpa batas.
Kelompok anak dan remaja menjadi obyek sasaran yang paling rentan menjadi korban era globalisasi. Berkurangnya perhatian, pengawasan orang tua kepada anak semakin memperparah keadaan. Karena alasan ekonomi, orang tua secara tidak sengaja atau pun sengaja memposisikan anaknya menjadi korban globalisasi. 
Berbagai kasus asusila dan kriminalitas terjadi karena anak dan remaja terhimpit teknologi yang tanpa batas dan ekonomi keluarga yang kurang.Satu demi satu peristiwa kriminalitas yang berbau asusila hingga perdagangan manusia terjadi lantaran ketidakmampuan kita membendung masuknya budaya luar yang sangat kontradiktif dengan kearifan budaya lokal. 
Degradasi moral remaja merupakan salah satu masalah sosial yang sering terjadi di masyarakat. Terlalu sibuknya pemerintah dengan berbagai masalah politik dan ekonomi yang terjadi dalam negeri ini membuat pemerintah mengesampingkan masalah degradasi moral remaja yang hanya menjadi bagian kecil dari masalah sosial. Akibat kelalaian dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah degradasi moral remaja, sekarang moral remaja mengalami tingkat degradasi yang tinggi.
 Peningkatan tingkat degradasi moral remaja disebabkan berbagai faktor, seperti pergaulan bebas, proses sosialisasi yang kurang sempurna, pengaruh budaya barat, kurangnya pengawasan dan perhatian orang tua, dan tingkat pendidikan yang rendah.
Degradasi moral remaja merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam bagi suatu bangsa. Dimana tulang punggung bangsa rapuh karena termakan hancurnya moral. Sedangkan, moral adalah cerminan hidup bagi penegak bangsa. 
Pemuda adalah harapan bangsa, di pundak merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan. Jika pemudanya hancur, maka hancurlah bangsa tersebut. Sering kita terlena akan timbulnya hal-hal kecil yang dapat menyebabkan bangsa ini hancur. Keluar masuknya budaya asing pada suatu bangsa menjadikan budaya sebelumnya tergantikan, dan terabaikan, sehingga budaya baru itu membuat anak bangsa tidak mau lagi mengenal akan budaya lama dan menjadikan budaya baru sebagai pedoman hidupnya.

Di zaman yang serba modern ini, anak-anak semakin lupa terhadap apa yang harus dilakukan sebagai penerus bangsa, kewajiban seorang murid untuk belajar, patuh kepada guru terlebih lagi kepada kedua orang tua kurang diperhatikan.
 Para pemuda di zaman sekarang lebih mendahulukan berhura-hura daripada menjalankan kewajiban. Mereka tidak lagi mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelah apa yang mereka lakukan. Padahal, selain merugikan diri mereka sendiri juga dapat merugikan bangsa tempat dimana mereka tinggali. Hal inilah yang paling ditakuti, dimana moral bangsa terabaikan. Banyak orangtua kurang memperhatikan kehidupan buah hatinya. Mereka cenderung memenuhi kebutuhan fisik saja, sedangkan rohani mereka terabaikan.
Para orangtua sering sibuk dengan profesi mereka masing-masing. Sementara sang anak dipercayakan kepada orang yang kurang berwenang terhadap dirinya. Dan, itulah yang menyebabkan sang anak hidup dengan jalan mereka sendiri dengan tanpa arah. Mereka tidak menyadari yang mereka lakukan adalah awal dari mulai hancurnya bangsa ini. Yang mereka tahu hanyalah mencari kesenangan untuk menghibur hatinya dengan tidak mempedullikan halal haramnya. 
Sedangkan orangtua mereka tidak mengetahui sama sekali. Jika kebanyakan orangtua demikian, maka nasib bangsa menjadi taruhannya. Jika moral bnagsa telah tercemar maka tiadalah damai untuk ditempati sebagai sarana kelangsumgan hidup warganya. Dengan demikian, peranserta orang tua sangatlah penting dalam pengawasan pertumbuhan moral bangsa melalui generasinya. Lingkungan tempat hidup regenerasi juga sangat mempengaruhi berlangsungnya proses sosialisasi dan interaksi sesama hidup yang ke depannya menentukan.
Kondisi suatu bangsa dicerminkan oleh keadaan moral para pemudanya. Moral para pemuda yang hancur tidak mungkin dapat membangun bangsanya. Untuk itu,moral para pemuda sekarang sangatlah perlu untuk dibenahi dan diperbaiki.Terlalu sibuknya pemerintah dengan berbagai masalah Ekonomi,Politik dan Sosial,seperti kenaikan bbm,sembako,maraknya kasus korupsi,kecelakaan lalu lintas,dan bencana alam,membuat pemerintah mengesampingkan masalah mengenai degradasi moral remaja,sehingga moral para remaja mengalami tingkat degradasi yang tinggi. 
Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilakumenyimpang.Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. 
Tak dimungkiri pula, kehadiran teknologi yang serba digital dewasa ini banyak menjebak remaja kita untuk mengikuti perubahan ini. Hal ini perlu didukung dan disikapi positif mengingat kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan masa kini yang tidak bisa terelakkan. Namun, filterisasi atas merebaknya informasi dan teknologi super canggih melalui berbagai media komunikasi seringkali terlepas dari kontrol kita. Pola perilaku budaya luar (baca: pengaruh era global), sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan mendapat dukungan berarti di kalangan remaja.
 Kemajuan informasi dan teknologi telah membawa ke arah perubahan konsep hidup dan perilaku sosial. Pengenalan dan penerimaan informasi dan teknologi tumbuh pesat bahkan menjadi kebutuhan hidup.Kita mesti prihatin, sekaligus menaruh perhatian lebih bila mengamati dan menjumpai sebagian dari remaja kita makin gandrung menikmati dan menghabiskan masa remajanya dengan kegiatan yang kurang berfaedah bahkan sama sekali tak berguna demi masa depannya.
 Sungguh ironis, kala daya tarik pendidikan dan pengetahuan yang mestinya wajib didapatkan oleh para remaja, malah justru menjadi momok yang menakutkan dan memicu kebencian. 
Menurut James W.van der Zanden,penyimpangan sosial merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai suatu hal yang tercela dan di luar batas toleransi.penyimpangan sosial umumnya disebabkan oleh proses sosialisasi yang kurang sempurna. Retaknya sebuah rumah tangga menjadikan seorang anak tidak mengenal disiplin dan sopan santun.Hal ini di sebabkan karena orang tua sebagai agen sosialisasi tidak melakukan peran yang semestinya. 
Kota merupakan tempat pusat segala aktifitas,keluar masuknya budaya asing menjadikan munculnya budaya-budaya baru dan menghapus budaya- budaya lama merasuknya budaya-budaya asing dalam kehidupan suatu bangsa membawa banyak sekali perubahan walaupun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi budaya asing membawa dampak positif namun dalam bidang pergaulan budaya asing membawa dampak yang negatif masuknya budaya clubing,minum-minuman keras,juga juga narkotika sekarang menjadi budaya baru di kota-kota besar,tidak hanya remaja yang hidup dikota-kota besar yang mengalami tingkat degradasi moral yang tingi bahkan remaja yang tinggal di pedesaan yang mengenal adat istiadat yang kuat pun ikut terpengaruh budaya asing dan mengalami tingkat degradasi moral yang tinggi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya mendorong para laki-laki untuk terjun kedalamnya bahkan para perempuan pun merasa memili hak yang sama untuk ikut terjun kedalamnya sehingga dalam sebuah rumah tangga seorang anak kurang mendapat pengawasan dan perhatian dari orang tua mereka ,akibatnya banyakdari mereka mncari kebahagiaan yang salah,seperti clumbing,minum-minuman keras dan menghilangkan stres gengan obat-obatan.
Crow and crow menegaskan; learning is a modification of accompanying growth processes that are brougt about trought adjusment to sensions initieted though sensory stimulation(Laster D. crow.Alice D .crow 1956:215) artinya:“belajar adalah perubah tingkah laku yang menyertai proses pertumbuhan yang semua itu di sebabkan melalui penyesuaian terhadap keadaan yang diawali lewat rangsangan panca indra”.
Kurangnya pendidikan dan kemampuan diri dalam pergaulan dapat membuat seseorang keliru dalam mengambil jalan hidupnya,sehingga mereka mudah terpengaruh degan hal-hal baru seiring proses sosialisasi yang mereka alami.Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam proses sosialisasi,karena pendidikan menjadi landasan perilaku seseorang.Kurangnya pendidikan mengakibatkan proses sosialisasi kurang seimbang. 
Ada berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat,tingginya tingkat kemiskinan mengakibatkan berbagai masalah sosial,seperti meningkatnya jumlah kriminalitas,kurangnya pendidikan,dan banyaknya jumlah penduduk yang kelaparan serta kurang gizi.
Hal tersebut menarik sebagian besar perhatian pemerintah sehingga masalah mengenai degradasi moral remaja di kesampingkan.Kurangnya perhatian lembaga sosial terhadap moral remaja mengakibatkan tingkat degradasi moral yang tinggi.Penerapan –penerapan norma dan sanksi yang kurang mengikat dari lembaga sosial mengakibatkan para pemuda mengabaikan aturan-aturan tersebut.
Kemajuan IPTEK melahirkan berbagai macam media yang mutakhir seperti televisi,handpone, internet dan lain-lain.Banyaknya informasi yang bisa di peroleh dari media tersebut menyebabkan banyak para remaja menyalahgunakan media tersebut .Banyaknya tayangan-tayangan yang tidak seharusnya di tampilkan oleh media masa seperti adegan-adegan kekerasan dan romantis yang sering di tayangkan oleh media masa membuat para remaja meniru adegan-adegan tersebut.
Tayangan media masa yang sering mereka lihat dijadikan kebudayaan baru yang dianggap sesuai dengan kemajuan zaman.Rasa tidak ingin ketinggalan zaman dari orang lain membuat para remaja melakukan kebiasaan baru yang sudah menjadi kebudayaan atau sering mereka jumpai seperti tayangan televisi dan lingkungan sosialisasi. 
Yang pertama adalah Aspek pendidikan formal/lingkungan sekolah. Pendidikan yang lebih menekankan kepada bimbingan dan pembinaan perilaku konstruktif, mandiri dan kreatif menjadi faktor penting, karena melatih integritas mental dan moral remaja menuju terbentuknya pribadi yang memiliki daya ketahanan pribadi dan sosial dalam menghadapi benturan- benturan nilai-niai (clash of value) yang berlaku dalam lingkungan remaja itu sendiri berikut lingkungan sosialnya. 
Kedua, aspek lingkungan keluarga, jelas memberi andil yang signifikan terhadap berkembangnya pola perilaku menyimpang para remaja, karena proses penanaman nilai-nilai bermula dari dinamika kehidupan dalam keluarga itu sendiri dan akan terus berlangsung sampai remaja dapat menemukan identitas diri dan aktualisasi pribadinya secara utuh. Remaja akan menentukan perilaku sosialnya seiring dengan maraknya perilaku remaja seusianya yang notabene mendapat penerimaan secara utuh oleh kalangannya. Oleh karenanya, peranan orang tua termasuk sanak keluarga lebih dominan di dalam mendidik, membimbing, dan mengawasi serta memberikan perhatian lebih sedini mungkin terhadap perkembangan perilaku remajanya. 
Ketiga, aspek lingkungan pergaulan seringkali menuntut dan memaksa remaja harus dapat menerima pola perilaku yang dikembangkan remaja. Hal ini sebagai kompensasi pengakuan keberadaan remaja dalam kelompok. Maka, perlu diciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif, agar situasi dan kondisi pergaulan dan hubungan sosial yang saling memberi pengaruh dan nilai-nilai positif bagi aktifitas remaja dapat terwujud. 
Keempat, aspek penegakan hukum/sanksi. Ketegasan penerapan sanksi mungkin dapat menjadi shock teraphy (terapi kejut) bagi remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Dan ini dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kepolisian dan lembaga lainnya. 
Terakhir, aspek sosial kemasyarakat. Terciptanya relasi-relasi sosial yang baik dan serasi di antara warga masyarakat sekitar, akan memberi implikasi terhadap tumbuh dan berkembangnya kontak-kontak sosial yang dinamis, sehingga muncul sikap saling memahami, memperhatikan sekaligus mengawasi tindak perilaku warga terutama remaja di lingkungannya. Hal ini tentu sangat mendukung terjalinnya hubungan dan aktifitas remaja yang terkontrol.
Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu.
Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan – aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten.
 Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30) menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu:
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.
1). Orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
2). Orientasi instrumental – relative Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.
b. Tingkat konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma– norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
1). Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak.

2). Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini tingkah laku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem social yang mengatur tingkah laku individu.
c. Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:
1). Kontrak sosial
Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat.kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial.Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan sistem nilai.
2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan
Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak social yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak.Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alas an subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
Metode konvensioanal adalah metode atau cara dalam mendidik siswa/siswi di sekolah dengan menggunakan cara arif namun bersifat tradisional. Metode ini dipraktekkan pada era sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Metode konvensional ini telah banyak ditinggalkan seiring perkembangan zaman, dan adopsi pada sistem pendidikan ala barat.
 Padahal sifat dan tabiat orang timur sangat jauh berbeda dengan tabiat siswa-siswi di negara-negara barat. Akan lebih arif apabila Indonesia masih menggunakan sistem pendidikan yang sampai sekarang dipraktekkan di Cina, Jepang, India, Malaysia, dan Negara-negara di Timur tengah. Negara-negara tersebut, meskipun mereka mendidik siswanya dengan menggunakan metode disiplin yang cukup tinggi, dan masih menggunakan hukuman fisik dalam pengajaran, namun out put yang dikeluarkan sangat bagus. 
Hal ini membuktikan, budaya ketimuran hanya cocok menggunakan sistem pendidikan ala ketimuran juga.Berikut adalah cir-ciri pendidikan konvensional yang dahulu pernah diterapkan di Indonesia:

sudah mulai pudar dan tidak banyak lagi dipraktekkan di kelas. Padahal secara tidak langsung, cium tangan guru menandakan bakti dan rasa hormat kepada guru.SD, saat itu ada tugas untuk menghafal nama-nama mentri kabinet pembangunan di era Soeharto, ketika ada yang salah dalam menyebutkan menteri, maka guru akan memberikan hukuman cubit di perut. Tetapi, cubitan itu hanya sebatas mendidik tidak untuk menganiaya, hasilnya sampai sekarang saya masih mampu menyebutkan nama-nama menteri era Soeharto. Tetapi sekarang, saya yakin hanya segelintir siswa yang mampu menghapal nama-nama menteri.


No.
Jinis pelanggaran
2003-2004
2004-2005
2005-2006
1.
Alpa
63
145
80
2.
Bolos
16
85
49
3.
Merokok
9
12
4
4.
Berkelahi
10
38
5
5.
Berjudi
25
19
14
6.
Remidiasi
16
36
7
7.
Keluarga
4
6
3
8.
Ekonomi
9
12
15
9.
Kesulitan belajar
12
58
35
10.
Pribadi
8
27
16

Jumlah
172
438
228

Pendidikan di Indonesia sekarang bukanlah pendidikan dengan pendekatan budaya dan tradisi Indonesia, melainkan pendidikan dengan pendekatan model barat atau lebih kerennya Westernisasi. Kalau sudah seperti ini tidak ada gunanya memakai slogan pendidikan "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". 
Slogan pendidikan ini adalah cerminan bagaimana para founding Father Pendidikan Indonesia sangat mengutamakan pentingnya Etika dan Moral bagi para generasiHYPERLINK "http://zonainfosemua.blogspot.com/2010/10/degradasi-moral-generasi-muda-bangsa.html" HYPERLINK "http://zonainfosemua.blogspot.com/2010/10/degradasi-moral-generasi-muda-bangsa.html"muda sebagai pilar utama Pendidikan dan membangun Jati diri Bangsa.maka moral bangsa indonesia harus diperhatikan dan dibenahi,agar tidak terjadi lagi degradasi moral diindonesia ini.




BAB 11I
PEMBAHASAN

DEGRADASI MORAL WARGA KAMPUS

Kampus masih jadi harapan untuk memotret masa depan manusia Indonesia. Kampus dianggap oase di tengah iklim kering dan wajah kusam dunia pendidikan negeri ini.Bagaimana warga kampus memosisikan diri di tengah badai korupsi, arus konflik elite politik, degradasi moral, virus penjiplakan, hingga kesenjangan teori dan praktik yang selama ini dipelajari?
Di dunia pendidikan negeri ini, universitas jadi bagian dari deretan panjang lembaga pembelajaran yang mencetak insan profesional masa depan. Kampus setidaknya menjadi ruang produksi kreativitas, softskill, dan moral bagi jutaan manusia yang mewarnai langkah negeri ini pada masa depan. Harapan akan profesionalitas tak sebanding dengan nilai moral sebagai basis dasar tokoh di berbagai bidang.
Ribuan elite politik negeri ini kebanyakan merupakan hasil didikan kampus dengan segala sistem dan tradisinya. Jika hari ini kita melihat deretan kasus yang melibatkan elite politik dengan skandal rumit yang mencerminkan kerapuhan basis moral, tentu kita patut bertanya bagaimana pendidikan moral yang dipraktikkan.
Selama ini, sistem pembelajaran di kampus jarang sekali yang menyentuh sisi etika, norma, dan moral. Penguatan moralitas di kampus seolah diterjemahkan secara sempit: pengekangan hasrat dengan pendisiplinan dan kekerasan. Penyemaian nilai moral hanya dipandang dari keketatan sistem dan pengukuhan tradisi kekerasan untuk “meredam” mahasiswa. Pengekangan mahasiswa untuk meredam demonstrasi dengan segenap aturan hanya akan menimbun dendam dan menanam benih kekerasan.
Lalu, bagaimana mencipta basis moral yang kukuh di “ka-wah candradimuka” berupa kampus? Bagaimana mencetak manusia yang mandiri, cerdas, kreatif, profesional, tanpa kehilangan basis moral sebagai pengontrol sikap hidup? Tentu harus ada perubahan mendasar bila kita ingin melihat wajah Indonesia puluhan tahun mendatang tidak diwakili politikus, makelar kasus, hingga penegak hukum ber mental dan moral remuk.
Tradisi Kekerasan Dalam realitas kehidupan, budaya kekerasan makin mengimpit, seakan jadi kenyataan pahit peradaban bangsa. Berita kriminal yang disajikan media elektronik jadi santapan sehari-hari yang memengaruhi watak masyarakat. Wajah kehidupan negeri ini menampilkan potret suram, rakyat ke-cil makin terjerat krisis ekonomi dan tragedi kekerasan.
Pemerintah dan pejabat elite seakan sibuk dengan beragam lobi politik, pemberantasan korupsi tak kunjung menemukan titik cerah, dan kebijakan politik hanya menghasilkan resistensi antarelite. Kesucian nurani dan pikiran logis seakan terkikis, digantikan budaya kekerasan yang antihumanis.
Budaya kekerasan makin menggeliat dan muncul dengan wajah baru yang menyeramkan, meminggirkan kearifan yang selama ini jadi identitas warga negeri ini. Wajah-wajah manusia Indonesia yang sebelumnya ramah, tertutupi topeng korupsi dan topeng kekerasan. Dunia pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia cerdas, peka terhadap kondisi sosial dan bermoral positif, digempur budaya kekerasan dan antihumanisme yang membelenggu proses kreatif.
Budaya kekerasan yang terus tumbuh jadi tantangan kemajuan bangsa. Masa depan bangsa ini terancam dengan kekukuhan kekerasan. Tak ada lagi ruang kreatif yang melahirkan pemikiran jernih dan ide segar yang berguna bagi pembangunan bangsa. Justru yang muncul tindak kekerasan, yang menjadi kecenderungan perilaku sosial manusia.
Kekerasan seakan jadi satu-satunya pemecahan ketika masalah menghantui. Dalam analisis Sindhunata (2000), bangsa ini telah menjadi “bang-sa linglung”, yang bingung dengan orientasi hidup dan perencanaan masa depan. Masyarakat tak sadar dengan segala tindakan negatif yang dilakukan. Yang jadi hasrat hanyalah bagaimana mengekspresikan emosi yang meledak. Namun kekerasan lahir dari manusia, maka sejelek-jeleknya kekerasan, ia juga masih punya sisi kebaikan manusia.
Pendisiplinan Budaya kekerasan di dunia pendidikan tidak serta merta jadi bagian dari sistem pembelajaran. Pendisiplinan bukan jalan utama untuk mencipta generasi patuh dan bermoral, justru sebaliknya mengha-dirkan energi merusak. Jejak kekerasan muncul dari keinginan patuh dan aturan disiplin yang membelenggu. Demi tujuan kerapian, dikembangkan teknik pendisiplinan. Sasaran teknik itu adalah kepatuhan.
Dalam pandangan Foucault (1975), disiplin tubuh itu mengoreksi, tetapi tak mendidik: ia mencipta tragedi. Agar teknik pendisiplinan efektif, tubuh menjadi objek utama untuk diatur. Semua orang mau menghindari rasa sakit. Maka, sistem pembelajaran yang mendasarkan pada hukuman-imbalan bisa berjalan bila mengandalkan kepatuhan tubuh.
Kekerasan atau hukuman fisik untuk mendapat kepatuhan tubuh merupakan teknik pendisiplinan dan pedagogi paling kasar dan primitif. Dari perspektif hubungan kekuasa-an, budaya kekerasan fisik menunjukkan kekuasaan tidak efektif. Hukuman fisik atas kesalahan atau pelanggaran menjadi sama jahat, bahkan lebih jahat daripada pelanggaran itu sendiri. Padahal, ke-kuasaan yang efektif justru kian tak membutuhkan kehadiran fisik. Aktualitas pelaksanaannya kian tak diperlukan, tetapi efeknya terasakan.
Kekerasan lahir dari emosi yang meletup dan membutuhkan aktualisasi, pemuasan diri, dan hasrat destruktif. Meminjam bahasa Daniel B Calne (1999), emosi memberi motivasi karena emosi menimbulkan keperluan yang haus pemuasan. Nafsu pemuasan yang merusak itulah jadi pelecut kelahiran kekerasan.
Kedisiplinan sebaiknya bukan karena keterpaksaan, melainkan hendaknya lahir dari kesadaran diri dan suara hati yang menginginkan kepatuhan serta sistem pendidikan yang mengagungkan humanisme dan bermoral positif. Budaya kekerasan hendaknya disingkirkan dari sistem pembelajaran di negeri ini. Namun yang penting untuk diaktualisasikan dalam sistem belajar di kampus adalah penguatan basis moral.
Elite kampus bisa menengok, antara lain, ke bilik-bilik pesantren sebagai penyemaian moral. Bukan ke pesantren yang jadi sarang teroris, melainkan pesantren yang selama ini mengajarkan kitab berisi pranata moral dan sikap keteladanan versi kiai-santri. Pesantren tak sekadar mengajarkan ilmu tekstual (ilm al-maqaal), tetapi juga ilmu tentang sikap hidup (ilm al-mahaal).
Itulah yang tak dimiliki kampus. Mahasiswa susah mencerap ilmu sikap dari dosen, guru besar, atau dari rektor. Walau unggul di bidang moral, ada juga kekurangan pesantren. Tentu tidak pada tempatnya membandingkan pesantren dan kampus. Meski strategi penguatan moral di pesantren dapat diadopsi, dengan penyesuaian, di kampus.
Nilai-nilai moral perlu diaktualisaskan dan diintegrasikan lewat mata kuliah, diklat, dan asrama kampus. Aktualisasi nilai moral bukan untuk mencipta ceramah dan khotbah jumat di ruang kuliah, melainkan untuk mencipta manusia Indonesia yang cerdas dan kreatif serta punya basis moral dan keberanian untuk mendengarkan suara nurani. (53)



BAB 1V
PENUTUP

Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak sadar, namun malah mengikutinya. 
Kita terus menuntut kemajuan di era global ini tanpa memandang (lagi) aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidak seimbangan itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
Bangsa Indonesia mengalami degradasi moral dan akhlak.kondisi ini juga mewabah di kalangan intelektual,elit politik,para pemegang kekuasaan dan anak remaja.Saat ini bangsa sedang mengalami degradasi moral dan akhlak,Sehingga perlu upaya membenahi keadaan ini sebelum semakin parah.
Munculnya degradasi moral karena pendidikan agama, budi pekerti, etika terabaikan selama ini.Padahal sebenarnya, itu mutlak diperlukan dalam pembentukan dan pembinaan karakter dan moral bangsa.

Agar tidak terjadi degradasi moral kita harus mengevaluasi dari diri kita sendiri apakah moral dan akhlak kita sudah dinilai baik atau belum oleh banyak orang dan juga diperlukan dalam pembentukan dan pembinaan karakter dan moral bangsa agar tidak terjadi degradasi moral lagi dan kita jangan terpengaruh dengan globalisasi sekarang ini.



Daftar Pustaka

kurnia,http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/30/degradasi-moral-remaja-masa-kini/diakses tanggal 6 oktober 2010
Semarang: Aneka Ilmu
IKIP Semarang Press
Rosdakarya



KLIK SALAH SATU LINK UNTUK MENGUNDUH FILENYA 

3 komentar:

  1. terima kasih pada pemilik blog ini,, karena blog anda sudah membantu saya dalam mencari informasi untuk tugas praktik saya...
    kembangkan terus saja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ok sama2,maaf klu acak2kan tulisannya.hehe

      Hapus
  2. MAS DEGRADASI MORAL SUMBER BUKUNYA DARI MANA YA?

    BalasHapus